Dugaan korupsi Enembe picu akuntabilitas dana Otsus Papua, pengacaranya sebut itu hoaks

Analis sebut kasus korupsi di Papua tidak terlepas dari peran serta Jakarta.
Nazarudin Latif dan Victor Mambor
2022.09.26
Jakarta dan Jayapura
Dugaan korupsi Enembe picu akuntabilitas dana Otsus Papua, pengacaranya sebut itu hoaks Gubernur Papua Lukas Enembe berbicara dalam sebuah kegiatan di Jakarta 27 Mei 2022.
[Willy Kurniawan/Reuters]

Kasus dugaan korupsi yang melilit Gubernur Papua Lukas Enembe telah menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas pengelolaan dana otonomi khusus di provinsi itu, sementara pengacara sang gubernur pada Senin (26/9) menuduh adanya pembohongan publik dan kriminalisasi terhadap kliennya yang telah ditetapkan sebagai tersangka isu gratifikasi Rp1 miliar.

"Tidak ditemukan adanya proyek yang fiktif di masa pemerintahan Gubenur Lukas Enembe. Sehingga pernyataan pers Mahfud MD dan Ketua PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) di hadapan publik diduga telah mencemarkan nama baik Gubernur Lukas Enembe dan melakukan pembohongan publik (hoaks),” demikian siaran pers tim advokasi Lukas Enembe pada Senin (26/9) yang diterima BenarNews.

Dalam konferensi yang dilakukan bersama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK minggu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD mengatakan bahwa dugaan korupsi yang dilakukan oleh Enembe bukan hanya gratifikasi Rp1 miliar tapi bernilai ratusan miliar berdasarkan analisis dari PPATK.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana yang hadir saat itu menyebutkan transaksi mencurigakan pada rekening Enembe adalah setoran tunai di kasino judi senilai total US$55 juta (Rp560 miliar) dalam periode tertentu.

“Fakta lain, sampai dengan saat ini tidak ada temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terkait adanya penarikan uang secara tunai sebesar 560 miliar rupiah dari Kas Daerah Papua,” demikian respons pengacara Enembe, “PPATK tidak bisa membuktikan adanya aliran dana APBD Papua yang ditarik secara tunai untuk disetorkan secara tunai ke kasino di Singapura.”

Tim hukum Enembe juga mengatakan bahwa Pemprov Papua selama periode kepemimpinan gubernur yang berkuasa sejak 2013 itu selalu mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang berarti bahwa penyidik KPK kesulitan membuktikan unsur kerugian negara dalam proyek APBD.  

KPK sejauh ini belum merinci kasus korupsi apa yang melibatkan Enembe.

Mahfud mengatakan sejak otonomi khusus diberlakukan di Papua tahun 2001, pemerintah pusat telah memberikan dana hingga sebesar Rp1.000 triliun, mulai dari dana otsus, belanja kementerian lembaga, dana transfer daerah, alokasi dana desa, hingga pendapatan asli daerah.

Kata Mahfud, sebanyak Rp500 triliun disalurkan pada masa Enembe. 

Enembe pada Senin kembali tidak memenuhi panggilan investigasi dari KPK untuk kedua kalinya dengan alasan sakit.

Enembe menjadi tersangka bersama dengan kepala daerah di Papua yang lain, yaitu Bupati Mimika Eltinus Omaleng dan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak. 

Akuntabilitas pengelolaan Otsus

Sementara itu peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Riris Katharina mengatakan dugaan korupsi di Papua mulai marak sejak 2007, setelah gubernur mempunyai kewenangan membagi alokasi dana otonomi khusus pada kabupaten sesuai kehendak gubernur.

Namun inspektorat Pemprov Papua sebagai pengawas internal pemerintah daerah kesulitan melakukan audit faktual terhadap proyek.

“Inspektorat tidak bisa turun langsung untuk memastikan program fisik atau program yang sifatnya belanja modal lain yang bisa dilihat kebenaran pengadaannya, “ujar Riris pada BenarNews.

Pada 2011, DPR memanggil BPK untuk mempertanyakan validitas laporan keuangan Pemprov Papua yang selalu mendapat predikat wajar tanpa pengecualian, status yang menunjukkan tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan dalam laporan keuangan.

“Jadi ditengarai BPK tidak pernah turun langsung mengaudit objek pengawasannya, tapi hanya berdasarkan lembar dokumen. Sehingga sulit untuk membuktikan apakah terjadi tindak pidana korupsi atau tidak,” ujar Riris yang juga adalah penulis Menakar Capaian Otonomi Khusus Papua.  

“Jakarta” punya andil

Para analis melihat kasus korupsi di Papua tidak bisa dilepaskan dari peran serta “Jakarta” yang sekian lama terlihat seperti membiarkan penyelewengan dana di provinsi tersebut terjadi di depan mata.

Indonesia Corruption Watch (ICW), LSM pemerhati pemberantasan korupsi, mengatakan aliran dana tidak wajar di rekening Enembe sejak 2017 memicu pertanyaan tentang efektivitas pengawasan keuangan pemerintah daerah.

“Aliran dana ratusan miliar ini menandakan lima tahun belakangan peran inspektorat sebagai pengawas internal pemerintah Provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi sangat lemah,” ujar Kurnia Ramadhana, peneliti ICW dalam sebuah siaran pers.

Emir Chairullah, analis politik dari President University di Bekasi mengatakan ada peran pemerintah pusat pada persoalan penggunaan dana di Papua.

“Kalau mau bicara yang pengawasan, penyimpangan keuangan itu sudah mulai terjadi pada 10 tahun awal Otonomi Khusus, jadi 2001-2011 sudah terjadi. Tapi pemerintah pusat tidak pernah melakukan pengawasan apalagi penindakan,” ujarnya.

Karena itu jika pemerintah serius menangani korupsi di Papua seharusnya melakukan proses hukum dengan cepat, alih-alih berwacana di media massa.

“Jangan menjadikan isu korupsi di Papua sebagai wacana politik untuk mendiskreditkan bahwa orang Papua itu korup, dana Otsus tidak berdampak pada pemberantasan kemiskinan dan sebagainya,” tambahnya.

Profesor penelitian BRIN, Cahyo Pamungkas, mengatakan laporan pemeriksaan BPK yang selalu memberikan predikat WTP menunjukkan ada yang masalah dalam pengawasan penggunaan keuangan di Papua.

Namun sayangnya hal itu tidak menjadi perhatian pemerintah pusat, hingga tidak pernah ada upaya penegakan hukum yang serius. Kasus-kasus tersebut biasanya dimanipulasi untuk kepentingan elit baik lokal maupun Jakarta.

“Elit Papua itu membangun patronasi dengan Jakarta. Demikian juga Jakarta ingin mencari orang lokal. Jadi apa yang di Papua kadang dibiarkan, untuk memenuhi kepentingan politiknya,” ujarnya.

Cahyo mengkritik cara pandang pemerintah pusat terhadap dana Otsus yang menganggap bahwa dana tersebut adalah kebaikan hati pemerintah.

Dana tersebut, menurut dia diberikan agar masyarakat Papua bisa mengejar ketertinggalan dengan masyarakat lain akibat pelanggaran hak-hak asasi dan marginalisasi Papua.

“Uang itu bukan atas kebaikan Indonesia, rezim yang berkuasa sekarang itu ahistoris. Ini adalah kompromi. Mereka melihat hanya soal uang, ini yang jadi masalah,” tegasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.