Dua Pengusaha Divonis Penjara Seumur Hidup dalam Kasus Jiwasraya

Total keenam terdakwa menerima hukuman seumur hidup.
Rina Chadijah
2020.10.26
Jakarta
201026_ID_KPK_1000.jpg Mahasiswa, membawa berbagai simbul, berunjuk rasa mengecam korupsi dan revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) yang dinilai hanya melemahkan lembaga anti rasuah itu, di Jakarta, 1 Oktober 2019.
AFP

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Senin (26/10) menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap pengusaha Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat dalam kasus mega korupsi penggunaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,8 triliun.

Benny, Direktur Utama PT Hanson International Tbk, dan Heru, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera (Tram), terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, kata ketua majelis hakim Rosmina.

"Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," kata Rosmina.

Benny juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp6,07 triliun, sementara Heru juga dihukum membayar denda dengan Rp 10 triliun, dengan ancaman harta benda mereka disita jika tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap.

Sidang pembacaan putusan Benny dan Heru berlangsung lebih dari hampir sepuluh jam. Hakim membacakan berkas putusan secara bergantian secara maraton, sejak pukul 10.00 WIB.

Baik Benny maupun Heru tak hadir di ruang sidang pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka mengikuti jalannya pembacaan putusan dari melaului hubungan video dari Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung, ditemani tim kuasa hukumnya.

Dalam putusannya, hakim mengatakan Benny menyamarkan asal-usul harta yang dibeli dari hasil korupsi terkait pengelolaan investasi saham PT Jiwasraya.

Putusan majelis hakim terhadap Benny dan Heru sesuai dengan tuntutan Jaksa.

Hakim menyebut perbuatan Benny, Heru bersama dengan empat terdakwa lain telah merugikan keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun atas korupsi di tubuh PT AJS. Angka ini berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengelolaan keuangan dan dana investasi pada periode tahun 2008 sampai 2018.

Dalam pledoi atau nota pembelaan, Benny dan Heru membantah telah mengendalikan investasi Jiwasraya. Dia beralasan tidak mengenal menejemen investasi Jiwasraya. Namun majelis hakim menolak pembelaan mereka dalam berkas tuntan yang dibacakan.

Menurut majelis hakim, hal itu tidak menguatkan alibi bahwa Benny tidak turut serta dalam kasus korupsi dan memperkaya diri terkait investasi saham Jiwasraya ini.

Dalam kasus Jiwasraya, empat terdakwa lainnya juga telah telah dijatuhi vonis penjara seumur hidup. Keempatnya dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp 16,807 triliun dalam kasus Jiwasraya.

Mereka adalah mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim; mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo; mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya, Syahmirwan; serta Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.

Salah kelola investasi

Dugaan korupsi perusahaan asuransi milik negara ini bermula dari kecurigaan Direktur Utama Jiwasraya pengganti, yaitu Asmawi Syam pada Mei 2018. Ia kemudian melaporakan kejanggalan tersebut ke Kementerian BUMN.

Kejanggalan laporan ini diperkuat audit PricewaterhouseCoopers atas laporan keuangan 2017, yang mengoreksi laba perusahaan yang dilaporkan sebesar Rp2,8 triliun menjadi hanya Rp428 miliar. Pada November 2018, perusahaan juga mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah.

Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir kemudian memeriksa laporan keuangan perusahaan yang dianggap tidak transparan. Erick menduga perusahaan berinvestasi di “saham-saham gorengan” sehingga mengakibatkan gagal bayar.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah dua kali melakukan pemeriksaan atas Jiwasraya.  Pemeriksaan dengan tujuan tertentu dilakukan BPK pada tahun 2016. Sementara pada tahun 2018, BPK juga melakukan investigatif pendahuluan, setelah kasus Jiwasraya menyeruak ke publik.

Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna beberapa waktu lalu mengatakan, penyebab utama gagal bayarnya Jiwasraya adalah kesalahan mengelola investasi di dalam perusahaan. Jiwasraya kerap menaruh dana di saham-saham berkinerja buruk.

"Saham-saham yang berisiko ini mengakibatkan negative spread dan menimbulkan tekanan likuiditas pada PT Asuransi Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar," kata Agung dalam sebuah pertanyataannya Agustus lalu.

Berdasarkan catatan BPK, Jiwasraya telah membukukan laba semu sejak 2006. Alih-alih memperbaiki kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan saham berkualitas, Jiwasraya justru menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepak bola dunia, Manchester City, pada 2014.

Kemudian pada tahun 2015, Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan dengan bunga yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Sayangnya, dana tersebut kemudian diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah.

Pada 2017, BPK juga mengeluarkan opini tak wajar terhadap keuangan Jiwasraya, meski saat itu Jiwasraya mampu membukukan laba Rp 360,3 miliar. Opini tidak wajar itu diperoleh akibat adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun.

Pada tahun 2018, Jiwasraya akhirnya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp 15,3 triliun. Pada September 2019, kerugian menurun jadi Rp 13,7 triliun. Kemudian pada November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp 27,2 triliun. Kerugian itu terutama terjadi karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan bunga tinggi di atas bunga deposito dan obligasi.

‘Harusnya dihukum mati’

Mahlil, salah seorang Nasabah PT Asuransi Jiwasraya menilai seharusnya Benny dijatuhkan hukuman mati. Menurutnya hukuman mati setimpal dengan kerugian yang ditanggung negara yang diketahui nilainya mencapai Rp 16,8 triliun.

“Kalau dilihat dari kasusnya, ini adalah korupsi berjamaah," ujar Machril dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.

Korupsi dan pencucian uang yang dilakukan petinggi Jiwasraya telah mengakibatkan Mahlil dan ratusan nasabah perusahaan Asuransi milik pemerintah itu merugi dan belum dikembalikan.

"Kalau tidak salah, ada 60 orang nasabah yang sudah meninggal dunia, tapi uangnya belum kembali. Makanya, kita meminta mereka dihukum maksimal, dengan catatan mengembalikan uang kerugian negara itu, supaya bisa dikembalikan kepada pemegang polis yang jatuh tempo itu," katanya.

Machril juga meminta penegak hukum mencari manajeman lama Jiwasraya yang juga ikut terlibat dalam skandal korupsi ini. Ia menduga ada manajemen lama Jiwasraya yang ikut terlibat.

"Seperti misalnya pada waktu persidangan ada nama-nama pejabat pada masa itu. Tapi kok sampai sekarang belum ada pemanggilan di persidangan," tulisnya.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim sudah pantas. Namun Boyamin menyayangkan Hakim tak mencabut hak perdata Benny, yang harusnya dapat menjadi hukuman pemberat dari pada hukuman pokok yang dijalaninya.

"Dia kan businessman ini dicabut haknya untuk mendirikan perusahaan, memiliki saham perusahaan, atau pengurus perusahaan. Jadi selain penjara seumur hidup, dicabut hak pengurangan, dicabut hak keperdataan," ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.