Kejaksaan Agung tetapkan 22 tersangka korupsi tata niaga timah Rp300 triliun

Kerugian tersebut lebih tinggi dari diprediksi semula sekitar Rp271 triliun.
Ami Afriatni dan Ari Firdaus
2024.05.29
Jakarta
Kejaksaan Agung tetapkan 22 tersangka korupsi tata niaga timah Rp300 triliun Foto udara yang diambil pada 2 Mei 2021 ini menunjukkan sebuah lokasi setelah dilakukan pertambangan timah secara besar-besaran, di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka dan Belitung.
Willy Kurniawan/Reuters

Kejaksaan Agung Indonesia telah menetapkan 22 tersangka, termasuk eks-pejabat kementerian energi dan sumber daya mineral, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah yang menyebabkan total kerugian negara Rp300 triliun.

Dugaan operasi ilegal di wilayah pertambangan PT Timah di Provinsi Bangka Belitung, mulai tahun 2015 hingga 2022, telah menyebabkan kerusakan ekologis yang signifikan, kata Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, pada Rabu (29/5).

Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), angka kerugian negara tersebut naik dari sebelumnya Rp271 triliun berdasarkan hasil auditnya yang diserahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Rabu.

BPKP mencatat tiga kelompok besar kerugian negara akibat korupsi ini, yakni sewa smelter senilai Rp2,28 triliun, penjualan bijih timah ilegal oleh PT Timah pada mitra senilai Rp26,64 triliun, dan kerusakan lingkungan senilai Rp271,06 triliun.

"Semula kita memperkirakan Rp271 triliun, ternyata setelah diaudit BPKP nilainya cukup fantastis sekitar Rp300,003 triliun," kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Rabu.

Menurut Febrie, kerusakan lingkungan mendominasi total kerugian negara tersebut, berjanji akan memasukkan angka tersebut dalam berkas dakwaan sidang yang akan digelar pekan depan.

“...Dan jaksa yakin bahwa ini adalah kerugian riil yang harus nanti jaksa tuntut sebagai kerugian negara,” ujar Febrie.

Febrie mengatakan jaksa akan mendakwa para terdakwa dengan kerugian negara dan bukan kerugian perekonomian negara, yang harus dipertanggungjawabkan PT Timah.

Pakar lingkungan dari Bogor University, Bambang Hero Saharjo, yang diminta Kejagung untuk menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan, mengatakan pihaknya menghitung kerugian dengan menggunakan citra satelit.

“Dari situlah kami menghitung berapa luas (kerusakan) yang dilakukan per tahun. Ada angka keluar Rp271 triliun. Tidak ada potential loss, itu adalah total loss,” ujar Bambang dalam jumpa pers.

Bambang mengungkapkan kerusakan terjadi tidak hanya di kawasan hutan produksi namun juga di kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional.

Diduga libatkan petinggi BUMN dan Kementerian

Awal mula kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 di Provinsi Bangka Belitung terkuak saat Kejagung menetapkan lima tersangka, termasuk eks dirut PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani. Kejagung lalu menetapkan lima tersangka lainnya, yakni dua pengusaha tambang dan tiga pejabat swasta. 

Kedua pengusaha tambang melakukan perjanjian kerja sama dengan PT Timah Tbk pada tahun 2018 untuk menyediakan alat peleburan timah dan menyuplai bijih maupun logam timah ke PT Timah.

Dalam praktiknya, kedua pengusaha membentuk perusahaan-perusahaan boneka yang bertujuan mengakomodir pengumpulan bijih timah ilegal dari PT Timah, memproduksi, hingga menjual kembali baik bijih maupun logam timahnya ke PT Timah. Kegiatan perusahaan-perusahaan ini pun dilegalkan oleh PT Timah.

Kejagung lalu menambah lagi jumlah tersangka, termasuk suami selebritis Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan Helena Lim, pengusaha yang kerap disebut crazy rich PIK.

Hingga Rabu (29/5), jumlah tersangka yang ditetapkan Kejagung mencapai 22 orang. Tersangka terbaru yakni mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono. Bambang menjadi pejabat eselon kedua di Kementerian ESDM yang terjerat korupsi.

Sebelumnya, Mantan Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin divonis 3 tahun 6 bulan penjara usai dinyatakan bersalah melakukan korupsi terkait pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Peneliti Direktorat Tambang dan Energi dari Auriga Nusantara, Bagus Hadi Kusuma, menilai keterlibatan pejabat dan aparat dalam korupsi tak hanya terjadi di pertambangan, namun juga perkebunan.

“Biasanya soal uang keamanan yang terjadi di kamar-kamar gelap. Jadi susah untuk dilacak keterlibatannya. Sejak Orde Baru hampir di setiap tambang ilegal, perkebunan ilegal, ada praktik seperti itu,” ujar Bagus kepada BenarNews.

Dugaan Jampidsus dikuntit Densus 88

Di tengah upaya Kejagung mengungkap gurita korupsi PT Timah, terjadi insiden yang melibatkan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri.

Dua anggota Densus 88 diduga menguntit Jampidsus Febrie saat hendak makan malam di kawasan Cipete, Jakarta, Minggu (19/5). Polisi militer yang ditugaskan mengawal Febrie mengetahui hal tersebut dan menangkap salah satunya.

"Bahwa memang benar ada isu - bukan isu lagi, fakta penguntitan di lapangan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dalam konferensi pers.

Pihak Jampidsus pun membawa anggota Densus tersebut ke Gedung Kejagung.

"Kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ternyata yang bersangkutan adalah anggota Polri," ujar Ketut, “setelah melakukan pemeriksaan terhadap yang menguntit ternyata di dalam HP yang bersangkutan ditemukan profiling Pak Jampidus.

Usai insiden, pimpinan kedua institusi negara itu justru terlihat mesra. Hadir di acara yang digelar di Istana Negara Jakarta, Senin (27/5) Jaksa Agung tampak menyambut jabat tangan dari Kapolri. Keduanya lalu bersalaman sambil saling tersenyum.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto, menyebut hubungan Kapolri dan Jaksa Agung baik-baik saja. Ia menjamin penyelidikan kasus penguntitan Jampidsus terus berjalan.

Namun Bambang Rukminto, dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengatakan bahwa Kapolri dan Kejagung perlu menjelaskan masalah penguntitan oleh Densus itu secara transparan.

“Kalau tidak ada klarifikasi informasi, ya, berpotensi kembali terulang di masa mendatang. Kalau itu terjadi, yang bersorak adalah koruptor karena mereka bisa mengadu dua institusi negara,” tegas Bambang.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.