KPK Tangkap Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar
2017.01.26
Jakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Patrialis Akbar, seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu sekitar pukul 21.30 WIB, 25 Januari 2017.
Dalam penangkapan di pusat perbelanjaan Grand Indonesia di kawasan Jakarta Pusat itu, KPK menyita beberapa alat bukti berupa uang dan voucher.
"PAK (Patrialis Akbar) diduga menerima hadiah USD20 ribu dan SGD200 ribu," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di kantor KPK, Kamis malam, 26 Januari 2017.
Dijelaskan, suap kepada Patrialis diberikan seorang pengusaha impor daging berinisial BHR, untuk meloloskan uji materi Undang-Undang Nomor 41 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kini ditangani MK.
Namun, Basaria tak merincikan detail permintaan BHR, apakah berupa mengabulkan uji materi sepenuhnya atau sebagian. Yang jelas, Patrialis disebut menyanggupi permintaan BHR.
Patrialis (58) telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama rekannya berinisial KM. KM yang berperan sebagai perantara penyuap dengan Patrialis ditangkap KPK di lapangan Golf Rawamangun Jakarta Timur. Keduanya dijerat Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi.
Dua orang lain yang juga telah ditetapkan tersangka oleh KPK adalah pengusaha BHR dan sekretarisnya NJF. Mereka dijerat Pasal 6 dan Pasal
Selain Patrialis, KM, BHR, dan NJF, komisi anti-rasuah sejauh ini juga menangkap tujuh orang lain di beragam tempat. Menurut Basaria, ketujuhnya masih berstatus saksi.
Sebelum ditangkap, KPK menyatakan telah membuntuti Patrialis selama enam bulan. Dalam kurun waktu itu, jelas Basaria, Patrialis diketahui menerima uang dalam tiga periode. Ia ditangkap saat menerima uang periode ketiga.
"(USD) 20 ribu itu yang ketiga," tambah Basaria, tanpa merinci tanggal pemberian periode pertama dan kedua.
Terkait kemungkinan penambahan tersangka lain, Wakil Ketua KPK yang lain, Laode Muhammad Syarif mengatakan penyidik KPK akan menelusuri lebih jauh.
"Masih didalami," kata Laode dalam kesempatan sama.
Meminta Maaf
Mengomentari penangkapan sejawatnya, Ketua MK Arief Hidayat meminta maaf pada rakyat Indonesia dan mempersilakan KPK mengusut dugaan pidana yang dilakukan Patrialis.
"Saya tidak bisa menjaga MK. MK melakukan kesalahan lagi," ujarnya dalam jumpa pers di kantornya.
Patrialis bukan hakim MK pertama yang ditangkap KPK. Pada 2013, (mantan) Ketua MK Akil Mochtar dibekuk KPK usai menerima suap dalam penanganan sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Selatan.
Dalam persidangan kemudian terkuak bahwa Akil ternyata turut "bermain" dalam 15 gugatan Pilkada lain yang diurus MK.
Mengenai masa depan Patrialis, Arief menyerahkan kepada Dewan Etika MK. Andaikata terbukti melakukan pelanggaran berat, Arief mengatakan tak ragu-ragu memberhentikan Patrialis.
"MK akan meneruskan untuk pemberhentian tidak hormat kepada presiden," kata Arief.
Sering melanggar
Merujuk pada pernyataan Ketua Dewan Etik MK, Abdul Mukhtie Fajar, Patrialis ternyata hakim konstitusi paling “bandel”, dari total sembilan hakim konstitusi yang ada. Ia disebut Abdul, sering bolak-balik diperiksa Dewan Etik MK.
"Bermacam aduan, mulai aduan masyarakat hingga pemberitaan di media," kata Abdul. "Sudah ada peringatan juga, baik tertulis maupun teguran."
Keberadaan Patrialis di MK dibalut kontroversi sejak awal mengisi pos hakim pada 2013. Tak lama usai dilantik, Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi menggugatnya lantaran dianggap tidak transparan karena tak melalui uji seleksi di DPR.
Masuknya Patrialis sebagai hakim konstitusi tak lepas dari peranan mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia merupakan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Pemerintahan SBY.
Koalisi bahkan menggugat penunjukan Patrialis ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan menang. Hanya saja, putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan MA kemudian membatalkan putusan PTUN sehingga posisi Patrialis di MK aman.
Pengawasan lemah
Mengomentari penangkapan Patrialis, pengamat hukum tata negara Refli Harun menyebut sebagai bukti buruknya pengawasan internal MK selama ini. Pasalnya tak ada aturan tegas melarang seorang hakim konstitusi untuk bertemu pihak yang berperkara.
"Sistem pengawasan di MK seperti tidak mendapat pelajaran berharga dari kasus Akil Mochtar," kata Refli kepada BeritaBenar.
"Masak bisa ketemu orang? Bukan membatasi, demi martabat hakim."
Sedangkan, Ray Rangkuti, pengamat dari Lingkar Madani, menilai kejadian ini sebagai momentum perbaikan sistem peradilan agar tak lagi diisi orang-orang partai politik.
Menurut Ray, orang-orang partai yang masuk ke sistem peradilan sering kali terjebak dalam barter politik, semacam suap-menyuap.
"Harus kembali evaluasi apakah institusi independen semacam MK boleh dimasuki orang partai politik," kata Ray saat dihubungi.
Patrialis adalah mantan politikus Partai Amanat Nasional. Sedangkan Akil Mochtar yang sebelumnya ditangkap KPK merupakan mantan politikus Partai Golkar.
"Menurut saya, semakin jelas lah bahwa kekuasan parpol harus dibatas. Enggak boleh masuk ke semua sektor," ujarnya.
Adapun anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang mengurusi perkara hukum, Arsul Sani, hanya menjawab diplomatis dengan menyebut perkara Patrialis sebaiknya menjadi evaluasi semua lembaga negara, tak hanya yang terkait peradilan.
Merujuk data KPK, setidaknya 43 orang di lingkungan peradilan Indonesia telah terbukti terlibat tindak pidana korupsi, dengan 15 orang di antaranya berprofesi sebagai hakim.