Rencana KPU Larang Penzina Maju di Pilkada Jadi Polemik
2019.10.04
Jakarta
Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan larangan bagi penzina, pemabuk dan penjudi maju sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2020 menuai pro dan kontra.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini,mengatakan pada dasarnya setiap calon kepala daerah harus memiliki rekam jejak yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
“Niat KPU itu bagus dan menurut saya alangkah lebih baik kalau diatur lebih jauh dalam Undang-undang Pilkada agar lebih kuat. Kalau di PKPU, saya khawatir nanti akan mudah dipatahkan dan digugat,” katanya kepada BeritaBenar, Jumat, 4 Oktober 2019.
KPU sedang menyusun Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2020.
Pilkada serentak tersebut akan digelar di 270 daerah atau pada sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Tidak hanya soal zina, judi dan mabuk, dalam draf peratuan KPU itu, calon kepala daerah pernah dilaporkan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga akan dilarang mencalonkan diri.
Menurut Komisioner KPU, Evi Novida Ginting, pihaknya hanya memperjelas pasal mengenai larangan calon kepala daerah yang melakukan perbuatan tercela untuk maju di Pilkada, sebagaimana tertuang dalam pasal Pasal 7 huruf i dalam UU Nomor 1 Tahun 2015, tentang Pemilihan Kepala Daerah.
"Kami mengutip penjelasan aturan tersebut. Jadi bukan tafsir yang dibuat sendiri oleh KPU," kata Evi kepada wartawan.
Evi menyebut syarat itu harus dipenuhi pasangan calon kepala daerah, yang dibuktikan dengan penyerahan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
"Pasal ini oleh paslon akan disampaikan dalam pencalonan, dalam surat keterangan oleh kepolisian," katanya.
Menurut Titi, mempertegas perbuatan tercela dalam PKPU adalah suatu hal yang baru. Padahal penjelasan mengenai itu sebelumnya sudah dirinci dalam Undang-undang No 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Karena itu, menurutnya, KPU tidak terlalu mendesak untuk merinci lebih detil aturan tersebut.
Ia menyarankan KPU bekerjasama dengan Kepolisian, agar polisi lebih detil memeriksa rekam jejak calon kepala daerah yang akan mengurus SKCK.
Dengan begitu, kata dia, KPU tinggal mengawasi syarat dokumen yang dilampirkan calon kepala daerah.
“Jadi perlu didorong adanya lampiran lebih jelas dari kepolisian mengenai rekam jejak orang yang mencalonkan diri tersebut apakah pernah melakukan perbuatan tercela atau tidak, bukan hanya SKCK saja,” ujarnya.
Anggota Bawaslu Rahmad Badja mengingatkan, sebelum aturan itu dimasukan dalam PKPU, harus dibuat alat ukurnya terlebih dahulu.
“Dibuat dulu parameternya yang bisa diukur. Kalau ada yang bisa diukur tentu bisa menjadi syarat," katanya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, syarat menunjukkan SKCK sudah cukup sebagai pembuktian bahwa seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah bebas dari perbuatan tercela.
Menurutnya, KPU tidak perlu harus mengaturnya dalam PKPU.
“Saya kira tidak perlu karena sudah ada pembuktiaan di SKCK. Kalau diatur lagi nanti menjadi polemik dan banyak tafsir, saya kira dengan surat dari kepolisian sudah cukup,” katanya saat dihubungi.
Cegah mantan koruptor
Peraturan KPU tentang Pilkada 2020 juga berencana memuat larangan bagi calon kepala daerah yang terlibat korupsi untuk mencalonkan diri.
Larangan serupa pernah dituangkan dalam PKPU saat pemilu legislatif, kendati akhirnya dibatalkan menyusul putusan Mahkamah Agung setelah digugat sejumlah calon anggota legislatif.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, bukan hanya eks koruptor, mantan napi narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga akan dilarang untuk menjadi calon kepala daerah.
"Jadi substansinya hasil rapat pleno KPU, dalam rancangan aturan KPU kita tetap mencantumkan norma untuk melarang mantan napi korupsi, mantan napi narkoba, dan mantan napi pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi calon kepala daerah," ujarnya.
Pihaknya mendorong larangan eks napi koruptor juga dimasukkan ke Undang-Undang Pilkada. Namun, saat ini aturan itu akan lebih dulu dimasukkan dalam PKPU.
"Kita akan mendorong norma itu bisa dimasukkan dalam UU. Tapi kan (revisi) UU belum berproses, sekarang ini kan yang berproses penyusunan PKPU sehingga norma itu kita masukan dalam rancangan PKPU," ujarnya.
Agar tidak kembali digugat ke Mahkamah Agung seperti pengalaman di Pemilu legislatif, selain revisi Undang-undang Pilkada, Titi menyarankan adanya uji materi terhadap pasal Undang-Undang Pilkada untuk mempertegas larangan mantan koruptor maju di Pilkada.
“Jika menunggu revisi sepertinya pasti membutuhkan proses lama, sebaiknya ditempuh upaya judisical review ke Mahkamah Konstitusi agar nantinya keputusan MK dapat lebih tegas melarang napi koruptor mencalonkan diri,” ujarnya.
Arsul mengingatkan bahwa tak semua terpidana kasus korupsi dicabut hak politiknya oleh pengadilan. Ini yang menjadi perdebatan ada sebagian kalangan yang menolak KPU membatasinya.
“Memilih dan dipilih itu kan sebuah hak, kecuali sudah dicabut pengadilan. Memang masyarakat juga punya hak untuk mendapat pemimpin yang baik. Tapi selama tidak ada putusan yang mencabut hak politik orang itu, saya kira tidak sewajarnya dibatasi,” ujarnya.
Ketua MPR baru
Sementara itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah secara aklamasi menunjuk Bambang Soesatyo (Bamsoet) sebagai Ketua MPR periode 2019-2024, dalam rapat paripurna, Kamis.
Sebenarnya Bamsoet yang merupakan mantan ketua DPR RI memiliki rival yakni Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Tapi delapan fraksi dan DPD memberikan suaranya untuk Bambang sehingga akhirnya Ahmad Muzani mengundurkan diri dari bursa pencalonan dan kemudian menyatakan fraksinya memberikan dukungan kepada Bamsoet.
“Hasil konsultasi Bapak Prabowo Subianto dengan Ibu Megawati Soekarnoputri, maka Pak Prabowo dan Ibu Megawati bersepakat untuk kepentingan yang lebih besar untuk terus menjaga MPR dalam memutuskan kebijakan penting dalam membangun bangsa dan negara," kata ketua DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria.
Mengalahnya Gerinda untuk memperebutkan kursi Ketua MPR disebut-sebut karena partai besutan Prabowo itu berharap mendapatkan jatah tambahan kursi menteri dalam kabinet baru Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Bahkan Gerindra telah menyerahkan tiga kadernya untuk dipilih sebagai menteri Jokowi.
Namun Riza Patria menampik hal itu dengan menyatakan, “Tidak ada itu.”