Krisis Migran: Negara-Negara Di Kawasan Akan Menggelar Rapat Khusus di Bangkok
2015.05.28
Perwakilan dari 17 negara dijadwalkan akan berkumpul di Bangkok pada hari Jumat, 29 Mei dalam pertemuan satu hari tentang arus migrasi, yang belum pernah diadakan sebelumnya. Pejabat PBB mengatakan negara garis depan harus mengatasi permasalahan yang mendesak ini, bukan hanya berbicara.
Negara yang terkena dampak krisis migran harus menuntut adanya keterlibatan lingkaran perdagangan manusia. Mereka harus memprioritaskan untuk menyelamatkan dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada ribuan orang yang terdampar di berbagai negara, menurut pejabat PBB berbasis di Bangkok.
"Tidak ada yang tahu bagaimana hal ini akan berakhir ... tapi unsur pidana benar-benar perlu dianggap serius," Jeremy Douglas, wakil regional untuk Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), mengatakan kepada BeritaBenar.
"Perlindungan terhadap kehidupan manusia adalah yang terpenting" dalam krisis yang sedang berkembang di sekitar migrasi ilegal, katanya.
"Pasti ada tantangan, karena masalah ini belum menjadi prioritas oleh lembaga seperti kepolisian, atau tidak adanya perhatian dan adanya kemungkinan bahwa kepolisian mungkin sudah disusupi oleh penjahat yang terlibat kasus ini," kata Douglas.
"Semua penegak hukum harus bekerjasama untuk bergabung melawan kelompok yang terlibat dalam perdagangan manusia, karena sindikat mereka cukup kuat dan telah beroperasi begitu lama membawa ribuan orang dari satu negara ke negara-negara lainnya. Ini adalah sebuah perusahaan kriminal yang serius yang bisa melakukannya," tambahnya.
Perlu pendekatan komprehensif
Menindak kasus penyelundupan manusia, hanyalah salah satu hal saja dari permasalahan yang kompleks ini. Karena itu juga diperlukan tindakan dari dunia internasional yang terkoordinasi, kata Vivian Tan, juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Bangkok.
"Ini merupakan masalah regional yang memerlukan solusi regional. Karena itu baik bahwa negara-negara di kawasan akan bertemu dan membicarakan tantangan ini. Ini adalah awal yang baik," kata Tan kepada BeritaBenar.
Masalah ini tidak dapat diselesaikan kecuali negara-negara tersebut "mengatasi akar penyebab, karena jika kondisi di Myanmar dan Bangladesh tidak membaik, mereka akan terus meninggalkan negara asal dan mempertaruhkan hidup mereka di kapal penyelundup," tambah Tan.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), diperkirakan 4.000 imigran gelap masih berada di laut, dan 3.200 orang telah mendarat di Malaysia dan Indonesia sejak 4 Mei lalu.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno L.P Marsudi menghadiri KTT ke-42 Menteri Luar Negeri negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Kuwait tanggal 27 dan 28 Mei.
Dalam pertemuan tersebut Menlu berhasil mengajak negara-negara Islam untuk membantu kasus migrasi ini.
“Sejauh ini kita mendapatkan komitmen dari Qatar, Gambia, dan Arab Saudi,” menurut pernyataan singkat yang diterima BeritaBenar tanggal 28 Mei.
“Belum ada jumlah rinci yang kami terima dari negara-negara tersebut kecuali Qatar yang telah memastikan akan memberikan bantuan $50 juta untuk membantu pengungsi.”
Belum pernah terjadi sebelumnya
Pertemuan yang akan dilaksanakan pada hari Jumat adalah yang pertama kalinya melibatkan seluruh wilayah untuk membicarakan kasus perdagangan manusia dan migrasi ilegal.
Dinamakan "Rapat Khusus tentang Migrasi di Samudera Hindia," acara ini akan mempertemukan 17 negara, menurut Kementerian Luar Negeri Thailand. Termasuk dalam pertemuan ini adalah Thailand, Malaysia, Indonesia, Bangladesh, Myanmar, India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Kamboja, Laos, Vietnam, Afghanistan, Iran, Papua Nugini, Filipina, dan Sri Lanka.
Delegasi dari Amerika Serikat dan Swiss akan menghadiri pertemuan sebagai pengamat, dan UNHCR, UNODC dan IOM juga akan berpartisipasi.
"Pertemuan khusus ini mendesak agar wilayah ini secara komprehensif bekerja sama mengatasi arus migrasi yang terduga di Teluk Benggala dalam beberapa tahun terakhir," kata kementerian itu dalam sebuah pernyatan.
Thailand mengumumkan pertemuan ini sejak tanggal 12 Mei lalu, di tengah tindakan keras pemerintah atas perdagangan manusia yang menyebabkan kapal-kapal bermuatan imigran ilegal mendarat di beberapa wilayah dibagaian Selatan.
Delapan hari kemudian, pemerintah Indonesia dan Malaysia mengumumkan bahwa mereka menjatuhkan kebijakan mendorong kembali perahu, dan akan memberikan migran penampungan sementara untuk sampai satu tahun. Hanya Thailand yang waktu itu tidak setuju menampung lebih banyak migran.
Kamp di hutan
Malaysia dan Thailand menemukan kamp yang digunakan untuk penyelundupan dan kuburan para migran. Lokasi ini berada di pegunungan di dalam hutan lebat di sepanjang perbatasan kedua negara tersebut.
Thailand telah menangkap pejabat lokal yang dicurigai terlibat perdagangan manusia, termasuk walikota di provinsi Songkhla dan wakilnya.
Pada hari Rabu, Malaysia mengumumkan penangkapan belasan petugas polisi yang diduga memiliki hubungan dengan jaringan perdagangan manusia, tetapi mereka belum menentukan apakah tersangka terhubung dengan ke 28 kamp dan 139 kuburan yang ditemukan di utara negara bagian Perlis.
Warga di daerah terpencil di mana kamp ditemukan tidak terkejut, meskipun para pejabat Malaysia diklaim bahwa mereka terkejut dengan kejadian ini.
"Saya tinggal di sini selama 30 tahun dan saya melihat banyak etnis Rohingya, mereka selalu terlihat dalam kondisi mengenaskan," kata warga Perlis Sani Hashim (80) kepada Agence France-Presse.
Para migran yang terlihat kurus tersebut mendekati pemukiman pertanian untuk meminta bantuan makanan, air dan pakaian, katanya.
"Kami melakukan apa yang kita bisa. Dan jika mereka tidak mampu berdiri atau berjalan, kita memanggil petugas untuk membawa mereka pergi," katanya seperti dikutip AFP.
Uayporn Satitpanyapan , Hata Wahari dan Paramita Dewiyani memberikan kontribusi untuk laporan ini.