ASEAN Tegaskan Pentingnya Wilayah Udara Bebas di Atas Laut Cina Selatan

Dalam KTT virtual, ASEAN juga sepakat untuk bekerja sama dalam pemulihan ekonomi akibat COVID-19.
Ahmad Syamsudin & Ronna NIrmala
2020.06.26
Jakarta
200626-SEA-asean-620.jpg Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc (tengah dan di layar) berpidato di hadapan para pemimpin regional dalam KTT ASEAN virtual dari Hanoi, 26 Juni 2020.
AFP

Para pemimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada Jumat (26/6) menyerukan untuk mempertahankan wilayah udara bebas di atas Laut Cina Selatan sebagai tanggapan terhadap laporan bahwa Beijing berencana membangun zona pertahanan udara sebagai bagian dari upaya ekspansi teritorialnya di wilayah perairan yang diperebutkan itu.

Dalam KTT virtual yang diselenggarakan secara virtual, para kepala pemerintahan dari 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) itu juga membahas upaya untuk memulihkan ekonomi regional yang terpuruk akibat pandemi coronavirus. Para pemimpin dari Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand merilis pernyataan di samping pernyataan visi ASEAN, yang menjabarkan kesediaan mereka untuk bekerja sama dalam upaya pemulihan COVID-19.

“Saat seluruh dunia sedang berperang melawan pandemi, tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang melanggar hukum internasional masih terjadi dan memengaruhi keamanan dan stabilitas di kawasan kami,” kata Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Xuan Phuc, yang menjabat sebagai ketua ASEAN 2020 dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)-36 itu.

Berkenaan dengan Laut Cina Selatan, ASEAN sepakat untuk "semakin menegaskan kembali pentingnya menjaga dan mempromosikan perdamaian, keamanan, stabilitas, keselamatan dan kebebasan navigasi dan penerbangan di atas Laut Cina Selatan."

Dalam pernyataan mereka di akhir KTT, para pemimpin ASEAN “menekankan pada pentingnya non-militerisasi dan pengendalian diri dalam melakukan kegiatan yang dapat memperumit atau meningkatkan persengketaan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas, serta menghindari tindakan yang dapat memperumit situasi."

Selain bersepakat untuk terus mendorong penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, para pemimpin ASEAN juga setuju untuk "bekerja secara aktif menuju implementasi penuh dan efektif dari Declaration on the Conduct 2002 " dan "penyelesaian dini dari Code of Conduct (COC) yang efektif dan substantif di Laut Cina Selatan".

Laut Cina Selatan dan ADIZ

Pada beberapa pekan terakhir, konflik perebutan klaim di Laut Cina Selatan kembali memanas saat Cina menyiagakan sejumlah kapal perangnya di dekat perbatasan yang diklaim menjadi wilayah perairannya. Sikap Cina tersebut ditanggapi oleh Amerika Serikat dengan turut menyiagakan perangkat militernya.

Pada Kamis (25/6) Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana berbicara menentang laporan rencana Cina untuk membangun Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification Zone/ADIZ) di atas jalur perairan yang disengketakan itu, di mana Beijing akan memantau semua pesawat di wilayah yang diklaimnya.

Wilayah maritim di Laut Cina Selatan diklaim seluruhnya atau sebagian oleh Cina, Taiwan dan empat negara ASEAN - Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam. Indonesia, walaupun bukan sebagai salah satu pengklaim, dengan tegas menolak klaim Cina yang berdasar pada sejarah masa lalu tersebut. Indonesia bahkan sudah dua kali mengirimkan nota diplomatik kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang memuat penegasan atas penolakan ajakan bernegosiasi dengan Cina atas klaim di Laut Natuna Utara, yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

“Negara-negara akan memperlakukan ADIZ sebagai sesuatu yang ilegal dan melanggar hukum internasional. Mereka akan terus menggunakan perairan dan wilayah udara itu, dan dengan demikian akan semakin meningkatkan ketegangan dan dapat mengakibatkan kecelakaan atau kesalahan perhitungan di laut dan di udara,” kata Lorenza kepada media Filipina.

ADIZ adalah zona di mana semua pesawat sipil harus mengidentifikasi diri dan mengumumkan lokasi mereka, keharusan ini tidak berlaku bagi pesawat militer.

Sementara itu pada hari Rabu, komandan Angkatan Udara Amerika di Pasifik mengatakan bahwa langkah Cina untuk mengklaim ADIZ di Laut Cina Selatan dapat memiliki dampak negatif pada kemampuan negara-negara untuk terbang, berlayar, dan beroperasi di Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, “di manapun hukum internasional mengizinkan."

"Itu benar-benar bertentangan dengan peraturan tatanan internasional dan itu tidak hanya menyangkut PACAF (Pasukan Angkatan Udara Pasifik) dan Amerika Serikat, tetapi menurut saya menyangkut juga banyak negara di kawasan ini," kata Jenderal Charles Q. Brown Jr. kepada wartawan.

AS dan Cina

Dalam konferensi pers usai pertemuan, Nguyen menegaskan bahwa ASEAN tetap memandang Amerika Serikat dan Cina sebagai mitra bisnis penting, sehingga kawasan tidak akan memihak kepada salah satu sisi dalam konflik di Laut Cina Selatan.

“Cina, dan AS adalah mitra dagang yang penting bagi kawasan, sehingga kami sepakat untuk tidak memihak kepada salah satu sisi saja,” sebut Nguyen dalam telekonferensi tersebut.

Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, menegaskan kembali bahwa Malaysia tetap berada pada posisi yang jelas dan konsisten. “Menyadari kompleksitas dan sensitivitas dari masalah ini, semua pihak harus terus bekerja sama menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas di Laut Cina Selatan,” kata Yassin.

“Malaysia berpandangan bahwa Laut Cina Selatan harus tetap menjadi laut perdamaian dan perdagangan,” tambahnya.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengajak negara-negara di kawasan untuk memperkuat kerja sama dan persatuan sebagai mesin penggerak bagi stabilitas dan perdamaian di kawasan.

“ASEAN harus menjadi guardian agar kawasan kita tidak menjadi ajang power projection negara-negara besar. ASEAN harus menjadi subject dan bukan menjadi object dalam politik global,” kata Jokowi, dalam pernyataan yang dibagikan Sekretariat Presiden.

Sementara, Presiden Filipina Rodrigo Duterte meminta semua negara di kawasan untuk segera menemukan cara-cara inovatif dan fleksibel untuk mencapai tujuan bersama di Laut Cina Selatan.

“Kita tidak boleh lupa kepentingan strategis di Laut Cina Selatan…Kami tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan ASEAN dan Cina menuju kesepakatan yang efektif dan substantif,” kata Duterte.

Rencana pemulihan pandemi

Dalam pertemuan virtual tersebut, para kepala negara anggota ASEAN turut menyoroti masalah ekonomi dan pemulihannya sebagai akibat pandemi COVID-19.

“Melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk revitalisasi bertahap kegiatan ekonomi ASEAN dengan mengimplementasikan langkah-langkah fasilitatif demi mempercepat pemulihan ekonomi,” sebut pernyataan bersama Kepala Negara ASEAN, Jumat.

Mereka juga sepakat untuk memperkuat kapasitas regional untuk menangani masalah keamanan tradisional dan non-tradisional, "secara efektif dan tepat waktu, termasuk terorisme, ekstremisme dengan kekerasan, dan kejahatan lintas negara."

PM Vietnam, Nguyen Xuan Phuc, mengatakan pandemi COVID-19 telah merenggut seluruh pencapaian dan kerja keras umat manusia selama bertahun-tahun, dan bahkan pandemi ini kini mengancam jutaan nyawa di seluruh kawasan.

“COVID-19 telah merenggut korban baik dari ekonomi dan masyarakat negara anggota ASEAN. Kami berempati dengan kerusakan dan kesulitan yang dialami oleh ratusan ribu bisnis yang terganggu dan jutaan pekerja kehilangan mata pencaharian mereka, terutama yang berada di sektor pariwisata dan jasa,” kata Nguyen.

PM Malaysia Muhyiddin Yassin, mendesak para mitranya di ASEAN untuk bertindak cepat.

"Jika kita tidak melindungi ekonomi regional kita, kesenjangan pertumbuhan yang lebih luas di antara negara-negara ASEAN dapat membahayakan tujuan integrasi ekonomi yang lebih besar," katanya.

Sementara Prayuth Chan-o-cha, perdana menteri Thailand, mengusulkan tiga jalur bagi ASEAN untuk maju di era pasca-COVID-19, menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Thailand.

Langkah pertamanya menyerukan penerapan rencana induk tentang konektivitas di antara 10 negara. Dia juga menyerukan untuk berinvestasi dalam ekonomi digital dan membangun upaya untuk menciptakan kekebalan dari potensi pandemi di masa depan.

“ASEAN juga harus membangun kekuatannya pada keanekaragaman hayati dengan menggunakan teknologi dan inovasi untuk menghasilkan barang dan jasa bernilai tinggi yang ramah lingkungan,” kata Prayuth.

Hingga Jumat (26/6), kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di ASEAN telah melebihi 130 ribu dengan kematian hingga 4.046, demikian dikutip dari data Johns Hopkins University.

Sementara di Indonesia, Gugus Tugas Penanganan COVID-19 melaporkan kenaikan 1.240 kasus baru, sehingga total keseluruhannya menjadi 50.187. Adapun angka kematian baru yang dilaporkan dalam 24 jam terakhir sebanyak 63, sehingga totalnya menjadi 2.683.

Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan kasus positif dan kematian tertinggi COVID-19 di ASEAN.

Masalah Rohingya

Masalah Rohingya juga dibahas dalam pertemuan tersebut. Malaysia menyerukan kepada ASEAN untuk menemukan solusi bagi penderitaan para pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Malaysia, Thailand, dan negara-negara lain di kawasan itu telah dikritik dalam beberapa bulan terakhir karena menolak berlabuhnya perahu-perahu yang mengangkut para pengungsi Rohingya.

Sehari sebelumnya, sebanyak 99 pengungsi Rohingya diselamatkan oleh warga Aceh setelah kapal mereka karam di dekat perairan Aceh Utara dan ditampung sementara di sebuah bangunan kosong yang merupakan bekas kantor imigrasi Kota Lhokseumawe, Aceh.

Pada awal bulan ini, Malaysia menahan 269 pengungsi Rohingya yang ditemukan dalam sebuah perahu yang menurut informasi sengaja dirusakkan sehingga mereka tidak bisa dikirim kembali ke laut.

Menteri Pertahanan Malaysia telah memperingatkan bahwa Negara Jiran itu tidak akan menerima para pengungsi yang kini ditahan di sebuah kamp imigrasi di Pulau Langkawi, dan pemerintah berencana untuk mengusir mereka.

“Malaysia terus menanggung beban krisis yang berkepanjangan ini, yang tampaknya masih belum berakhir. Kita tidak bisa berbuat lebih karena sumber daya dan kapasitas kami sudah terbatas, apalagi ditambah pandemi COVID-19,” kata Muhyiddin.

“Namun, Malaysia secara tidak adil diharapkan untuk berbuat lebih banyak untuk mengakomodasi pengungsi yang masuk.”

Perahu-perahu dengan warga Rohingya berlayar dari Myanmar atau dari Bangladesh tenggara, di mana lebih dari 1 juta pengungsi dari negara bagian Rakhine Myanmar tinggal di kamp-kamp.

Walaupun Bangladesh dan Myanmar telah menandatangani perjanjian repatriasi pada November 2017, upaya untuk mengirim Rohingya kembali ke negara asal mereka gagal.

Jason Gutierrez di Manila, Hadi Azmi di Kuala Lumpur dan Pimuk Rakkanam di Bangkok turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.