Amnesty International: HAM Dikalahkan oleh Tuntutan Kelompok Garis Keras
2017.02.22
Washington
Terbelenggunya kebebasan berekspresi, tidak terjaminnya hak kelompok marginal, dan pemerintah yang dilihat lebih mengakomodir tuntutan kelompok garis keras dibandingkan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), menjadi hal yang disorot Amnesty International (AI) dalam laporan tahunan penegakan HAM di Indonesia periode 2016/2017.
Laporan yang dirilis 22 Februari 2017 itu juga menegaskan meskipun ada komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, jutaan korban dan keluarga mereka masih tidak mendapatkan keadilan, terutama karena impunitas terhadap pelaku.
Kebebasan berekspresi
Pemberlakuan undang-undang dengan pasal-pasal yang tidak jelas menjadi alat untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul. AI mencontohkan seorang aktivis di Ternate didakwa melakukan makar karena memposting foto online baju kaos dengan karikatur palu arit.
Pemimpin kelompok yang sudah dibubarkan, Gafatar, ditangkap atas tuduhan "penistaan agama" berdasarkan Pasal 156a KUHP dan "makar" di bawah Pasal 107 dan 110 KUHP. Dalam laporannya AI mengatakan mereka dihukum walaupun mempraktekkan keyakinan secara damai.
Ketidakjelasan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memungkinkan interpretasi bebas atas definisi pencemaran nama baik, penghinaan, dan juga kriminalisasi atas kebebasan berekspresi. Haris Azhar, aktivis KontraS, diancam pasal pencemaran nama baik di bawah UU tersebut setelah postingannya di media sosial menyebutkan tentang keterlibatan aparat dalam perdagangan narkoba dan korupsi. Tuduhan itu kini ditangguhkan.
Setidaknya ada 11 aktivis yang dilaporkan dengan landasan UU ITE karena mengkritisi pemerintah.
Pada April – September 2016, sedikitnya 2.200 aktivis Papua ditangkap setelah berpartisipasi dalam demonstrasi damai di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat, Semarang, Makassar, dan Yogyakarta, menurut laporan AI. Walaupun sehari kemudian kebanyakan dari mereka dibebaskan tanpa tuduhan, AI menilai penangkapan itu menandai tindakan represif pemerintah pada aktivis politik di Papua.
Minoritas yang terpinggirkan
Tahun 2016 juga diwarnai dengan tingginya diskriminasi terhadap kelompok LGBTI (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex) terutama dengan pernyataan para pejabat yang menyesatkan yang semakin mendiskreditkan kelompok tersebut dengan alasan “membela moralitas dan keamanan publik”. Diskriminasi terhadap LGBTI juga dilakukan oleh kelompok agama.
Pembubaran sejumlah seminar LGBTI, pelarangan penayangan acara yang dianggap mempromosikan kegiatan LGBTI di TV dan radio oleh Komisi Penyiaran Indonesia, dan penutupan paksa pondok pesantren kaum waria Al Fatah di Yogyakarta oleh pemerintah setelah intimidasi dari kelompok Front Jihad Islam, adalah beberapa contoh yang dikemukakan AI.
Undang-undang yang diskriminatif juga digunakan untuk membatasi kegiatan anggota kelompok agama minoritas/kepercayaan di Indonesia.
AI melaporkan pada Januari 2016, rumah-rumah anggota gerakan Gafatar di Menpawah, Kalimantan Barat, dibakar massa dan setidaknya 2.000 orang anggota kelompok tersebut secara paksa dipindahkan ke Jawa tanpa konsultasi sebelumnya.
Sebulan kemudian pemerintah menetapkan Surat Keputusan Bersama No. 93/2016 yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, melarang faham dan keyakinan “Millah Abraham”, yang diyakini oleh mantan anggota Gafatar.
Anggota Ahmadiyah yang ajarannya dilabeli “sesat” oleh pemerintah juga menjadi sasaran intimidasi di Indonesia.
AI juga melihat terancamnya kebebasan beragama di Indonesia dari reaksi pemerintah yang mengakomodir tuntutan kelompok keagamaan garis keras untuk mempidanakan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama.
AI menilai kasus ini sebagai indikasi tunduknya pemerintah terhadap kelompok tertentu, dimana polisi seharusnya lebih mengutamakan perlindungan HAM.
"Dengan melanjutkan mengusutan investigasi kriminal dan menyatakan Ahok sebagai tersangka, otoritas telah menunjukkan bahwa mereka lebih risau terhadap kelompok keagamaan garis keras ketimbang menghormati perlindungan hak asasi manusia untuk semua," kata Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Rafendi Djamin.
Impunitas
Komitmen pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, ternyata tidak diikuti dengan penegakan hukum dan keadilan, karena impunitas pelaku, demikian laporan AI.
Pada April 2016, pemerintah menyelenggarakan simposium peristiwa pembunuhan masal pascatragedi 1965 dengan mempertemukan para korban, aktivis, pemerintah, dan militer sebagai langkah awal penyelesaian kasus tersebut. Pada bulan Oktober, pemerintah mengumumkan bahwa penyelesaikan kasus itu akan dilakukan dengan langkah non-yudisial untuk "keharmonisan dan persatuan nasional".
Hal yang sama juga terjadi pada kasus lainnya seperti kasus kematian pembela HAM, Munir Said Thalib. Pada September 2016, Presiden Jokowi berjanji menyelesaikan kasus Munir. Namun pemerintah mengajukan banding ketika putusan Komisi Informasi Publik menginginkan laporannya, yang diindikasikan melibatkan pejabat intelijen senior, dipublikasikan untuk umum.
Tidak manusiawi
Dalam laporannya, AI juga menyoroti hukuman yang dinilai tidak manusiawi, seperti pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh, satu-satunya provinsi yang memberlakukan hukum Syariah di Indonesia.
Setidaknya 100 orang dihukum cambuk sepanjang tahun 2016, termasuk penerapan untuk pertama kalinya pada warga non-Muslim atas seorang perempuan Kristen penjual alkohol.
Hukuman kebiri secara kimia sebagai hukuman tambahan bagi mereka yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, juga dinilai sebagai tidak manusiawi.
AI juga mengkritik penerapan hukuman mati yang dinilai tidak sejalan dengan komitmen Presiden Jokowi yang pada saat kampanye menjanjikan penghormatan terhadap HAM.
Pada Juli 2016 seorang warga Indonesia dan tiga warga asing dieksekusi, dimana tiga diantaranya sedang menunggu proses banding mereka.