Radikalisme di Indonesia (2): Problem yang Berlapis-lapis
2015.11.18
Jakarta
Ketika ISIS menyerukan kaum Muslim untuk datang ke apa yang mereka sebut sebagai Khilafah Islamiyah di Suriah dan Irak, ratusan warga Indonesia merespons panggilan tersebut.
Kini, Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang bangga menyandang motto Bhinneka Tunggal Ika dan dikenal dengan masyarakat Muslimnya yang moderat, berupaya untuk menangkal bangkitnya radikalisme,
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan bahwa disamping melalui pendekatan agama, ISIS juga menggunakan pendekatan ekonomi untuk merekrut pengikut mereka.
"Mereka diiming-imingi umrah dan gaji besar sampai Rp 50 juta," ujar Direktur Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal Hamidin, dalam dialog pencegahan paham ISIS dan terorisme di Universitas Brawijaya Malang 27 Oktober lalu.
Menurutnya mereka masuk melalui negara ketiga dengan modus umroh dan berlibur. Sekarang sejumlah negara ketiga seperti Turki dan Mesir juga ikut menangkalnya, sehingga menyulitkan WNI yang akan berangkat ke Irak dan Suriah.
Kepada BeritaBenar, Kepala BNPT, Saud Usman Nasution, mengakui bahwa penyebaran paham radikal di kalangan generasi muda akibat makna jihad yang diartikan sempit.
“Mereka menganggap jihad hanyalah dengan berperang melawan kaum kafir. Padahal itu kan hanya ada di zaman Rasulullah,” ujar Saud pekan lalu.
Berdasarkan riset, BNPT menggolongkan dua kelompok umur yang rentan terpengaruh paham radikal dan terorisme, yakni periode umur 21-30 tahun, dan umur 31-40 sebagai kelompok.
Saud menyatakan penyebaran paham radikal sudah sampai ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dunia maya bahkan penjara.
“Narapidana (kasus terorisme) yang menjalani hukuman di penjara tidak semuanya menjadi orang yang lebih baik, ketika keluar. Ada diantara mereka malah yang melakukan dakwah dan merekrut anggota baru di dalam penjara,” ujar Saud.
Tahun lalu dunia maya dihebohkan oleh beredarnya foto yang menampilkan terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Ba’asyir dan sejumlah narapidana lain dengan latar belakang bendera ISIS di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pasir Putih, Nusakambangan. Mereka dilaporkan berfoto setelah berbaiat kepada khalifah Abu Bakar al-Baghdadi.
Padahal Amir Jemaah Anshorud Tauhid (JAT) itu sedang menjalani vonis penjara 15 tahun karena dinyatakan terbukti antara lain mengumpulkan dana untuk digunakan mendanai pelatihan militer di Aceh. Dirjen Lapas pada saat itu kemudian mengakui bahwa ada pembaiatan terhadap 24 narapidana, termasuk Ba’asyir, di Nusakambangan karena lemahnya pengawasan.
Intoleransi “oksigen” tindak terorisme
Direktur Riset Yayasan Prasasti Perdamaian yang juga kandidat doktor di Universitas Monash di Melbourne, Australia, Noor Huda Ismail menilai jumlah WNI yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan gerakan radikal seperti ISIS tidak signifikan dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, namun ada masalah lebih besar yang harus segera ditangani.
“Radikal itu kan berlapis-lapis. Kalau yang ke terorisme ini jumlahnya relatif kecil di masyarakat. Tetapi untuk sampai ke terorisme itu ada ‘oksigen’ ya, supaya paham (radikal) itu bisa hidup. Nomor satu, yang paling mendasar, yaitu sikap intoleran. Dan di Indonesia, yang paling akut adalah sikap intoleran,” kata Noor Huda ketika dihubungi BeritaBenar lewat sambungan telepon 22 Oktober lalu.
Para santri di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah yang didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir sedang sholat, 2 September 2003. (AFP)
Dia memberi contoh adanya sebagian umat Islam sekarang ini yang “gerah” kepada kelompok Muslim lain, seperti Ahmadiyah dan Syiah.
“Kepada sesama Islam saja begitu (memusuhi) apalagi kepada non-Muslim, seperti kepada (Gubernur DKI) Ahok,” kata alumnus Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut, yang mengaku pernah ingin ke Afganistan untuk memerangi Uni Soviet di tahun 1980an itu.
Di sekolah bibit-bibit radikalisme mulai terlihat seperti terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) akhir bulan lalu di wilayah Jabodetabek. Menurut hasil survei FSGI yang diterima BeritaBenar, tersebut sikap intoleran tampak pada hampir 90 persen di sekolah umum, dan terutama di wilayah-wilayah perbatasan Jakarta seperti Depok dan Bekasi.
Beberapa tanda radikal yang sudah terlihat kebanyakan berawal dari siswa-siswi yang mengikuti kegiatan ekstra kurikuler keagamaan yang tidak mau bersalaman dengan guru yang berbeda jenis kelamin. Mereka juga menolak Pancasila dan menolak mengikuti upacara bendera di sekolah.
Hasil penelitian ini, menurut FSGI, juga menunjukkan bahwa peran sekolah cukup besar, seperti menetapkan aturan-aturan yang mengarah pada agama mayoritas, seperti membaca ayat Al Quran setiap pagi dan siswa putri diminta mengenakan kerudung di sekolah negeri, yang seharusnya mengajarkan keberagaman dan tidak memberlakukan aturan agama tertentu.
Anak muda dan sekolah umum jadi sasaran
Saud Usman Nasution mengakui paham radikalisme kebanyakan masuk ke sekolah umum, karena pemahaman agama para guru dan siswa sekolah umum dianggap lebih minim dari pada sekolah-sekolah agama.
Karena itulah, menurut Saud, BNPT gencar melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi secara rutin di seluruh Indonesia untuk mencegah penyusupan paham-paham tersebut.
Dunia maya, juga menjadi sarana meluasnya paham ini, Muhammad Taufiqurrohman, peneliti senior di Pusat Kajian Radikalisme (PAKAR) dan Abdurrahman Wahid Centre-UI mengatakan saat ini, perekrutan ISIS di Indonesia justru semakin gencar dan banyak menyasar anak-anak muda. Mereka melakukan perekrutan melalui kegiatan-kegiatan tabligh akbar terbuka dan melalui grup chat whatsapp, BBM dan telegram.
“Animo anggota baru untuk dikirim ke Timur Tengah sangat tinggi, ini tidak terlepas dari propaganda yang disebarkan oleh para aktivis media ISIS, yang banyak melakukan propaganda melalui situs-situs www.azzammedia.net, www.manjanik.com, www.islamkini.com dan www.daulahislamiyyah.com, “ kata Taufiqurrohman.
Namun menurutnya hingga saat ini sosialisasi paham radikal yang paling berhasil adalah yang dilakukan dengan model terbuka seperti kegiatan tabligh akbar atau dauroh (semacam pelatihan) untuk memperkenalkan ISIS dan khilafah yang biasanya dilakukan di masjid-masjid.
Ada pula yang melakukan dengan model tertutup dan hanya melibatkan anggota-anggota mereka saja. Para pendukung model ini ada di Medan, Makassar, Poso, Bandung dan Bekasi.
Pendekatan disengagement
Taufik Andrie, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, mengatakan deradikalisasi harus juga diiringi dengan disengagement. Deradikalisasi lebih menekankan pada perubahan prinsip, sikap dan pendirian sedangkan disengagement lebih menekankan pada perubahan perilaku para bekas narapidana kasus terorisme.
“Disengagement lebih realistis, mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau tindakan-tindakan terorisme walau ideologi dan prinsip mereka belum berubah,” ujar Taufik.
Taufik mengatakan yayasannya aktif memberikan binaan dan memulihkan terpidana kasus terorisme agar tidak kembali melakukan tindak kekerasan. Urusan ideologi tidak mereka campuri.
Yayasan Prasasti Perdamaian aktif melakukan observasi sejak para napi masih berada di tahanan, mereka berdialog dan sambil menjajaki. Taufik Andrie mengatakan yang paling penting adalah kemauan dari sang napi, yayasan tidak pernah mendekati seorang napi untuk bergabung dengan program ini.
“Kami ingin inisiatif datang dari mereka sehingga mereka tidak merasa ada paksaan dan memudahkan kami bekerjasama dengan mereka,” ujar Taufik.
Para napi, jelasnya, ditanya rencana mereka. Jika mereka ingin membuka usaha, akan diberikan pembinaan dan pendampingan hingga bisa berjalan sendiri. Tujuan program ini adalah agar mereka bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada orang lain dan berkelanjutan.
Namun tidak semua pembinaan berjalan mulus, seorang binaan yayasan itu, Machmudi Hariono alias Yusuf Adirima yang membuka Dapoer Bistik di kawasan Simpang Lima, Semarang, pernah dibujuk oleh utusan Djoko Pitono alias Dulmatin, yang saat itu masih menjadi buron, untuk membantunya bergabung ke kamp pelatihan militer di Aceh saat sedang merintis usahanya pada tahun 2010.
Yusuf, yang merupakan veteran Front Pembebasan Islam Moro (MILF) menolak ajakan tersebut dan memilih tetap di Semarang.
Ada juga orang binaan yang sudah menjalankan tambak ikan dan udang di Jawa Tengah, kembali melakukan kegiatan terorisme hingga kembali dibui.
“Dari peristiwa ini kami menyadari, program yang cocok untuk para eks napi adalah sesuatu yang membuat mereka sibuk sehingga tidak ada waktu bagi mereka untuk kembali memikirkan ideologi radikal. Tambak adalah usaha yang tidak terlalu sibuk, waktunya (eks napi) lebih banyak lowong sehingga ia punya banyak waktu untuk kembali memikirkan hal-hal tersebut,” tutup Taufik.
Heny Rahayu ikut berkontribusi dalam laporan ini.