Indonesia Tolak Ajakan Negosiasi Cina Soal Laut Cina Selatan

Pakar mengatakan keputusan Indonesia itu telah sesuai.
Tia Asmara
2020.06.05
Jakarta
200605_ID_SouthChinaSea_1000.jpg Presiden Joko “Jokowi” Widodo berbicara dengan para jurnalis dalam lawatannya ke markas besar militer di Kepulauan Natuna, di Provinsi Kepulauan Riau, yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, 8 Januari 2020.
Istana Kepresidenan RI/AFP

Pemerintah Indonesia menolak tawaran perundingan dari pemerintah Cina mengenai Laut Cina Selatan menyusul ajakan Beijing yang bersedia menyelesaikan klaim akan hak maritim melalui negosiasi dengan Indonesia.

Pemerintah Cina dalam surat kepada Sekjen PBB Antonio Gutterres tertanggal 2 Juni mengatakan bahwa walaupun Beijing mengakui tidak ada sengketa wilayah antara Indonesia dan Cina, namun kedua negara memiliki klaim tumpang tindih dalam hak dan kepentingan maritim di beberapa bagian Laut Cina Selatan.

Surat itu merupakan balasan terhadap nota diplomatik yang dikirim pemerintah Indonesia kepada Sekjen PBB pada 26 Mei 2020 yang menyatakan penolakan terhadap apa yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus (nine-dash line) atau klaim hak bersejarah Cina atas hampir semua wilayah Laut Cina Selatan.

“Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan RRT (Cina) sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim,”ujar Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Damos Dumoli Agusman, kepada BenarNews.

Dia merujuk pernyataan resmi Kemlu awal Januari lalu yang menegaskan bahwa Indonesia tidak punya sengketa dengan Cina di Laut Cina Selatan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS).

“Dalam statement tersebut kan menolak (negosiasi),”ujar Damos.

Cina dalam suratnya ke PBB mengatakan penolakannya atas isi nota yang dikirimkan Indonesia dan beralasan kalau Cina memiliki hak sejarah di Laut Cina Selatan dan klaim mereka sesuai dengan hukum internasional.

“Tidak ada sengketa wilayah antara Cina dan Indonesia di Laut Cina Selatan. Namun demikian, Cina dan Indonesia memiliki klaim tumpang tindih akan hak dan kepentingan maritim di beberapa bagian Laut Cina Selatan,” kata misi permanen Cina di PBB dalam suratnya.

“Cina bersedia untuk menyelesaikan klaim tumpang tindih melalui perundingan dan musyawarah dengan Indonesia, dan bekerja sama dengan Indonesia untuk memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan,” kata surat itu.

Indonesia juga menolak istilah“relevant waters” yang diklaim oleh Cina dengan alasan istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

“Klaim historis Cina atas Zona Ekslusif Ekonomi Indonesia (ZEEI) dengan alasan bahwa para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,”demikian bunyi statement pemerintah Indonesia Januari lalu.

Konsisten

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menyatakan posisi Indonesia akan tetap jelas dan konsisten yaitu

“Dalam nota diplomatik yang dikirimkan 26 Mei 2020 lalu, Indonesia menegaskan kembali posisi konsistennya dalam menanggapi alamat klaim Cina untuk PBB yang dapat mempengaruhi ZEE Indonesia dan juga menekankan kepatuhan penuh terhadap UNCLOS 1982,”ujar Retno dalam press conference, kemarin.

UNCLOS adalah dasar hukum laut internasional yang ditetapkan melalui hasil konferensi PBB yang berlangsung sejak 1973 sampai 1982. Saat ini, tak kurang dari 168 negara yang bergabung dengan konvensi tersebut, termasuk Cina.

Tidak logis

Peneliti Hukum Laut Internasional dari Universitas Gajah Mada (UGM), I Made Andi Arsana mengatakan ajakan Cina untuk berunding merupakan satu hal yang tidak logis.

“Tidak apple to apple. Situasi dengan Cina adalah kita mengklaim dengan hukum sementara Cina mengklaim dengan dasarnya sendiri sehingga tidak seimbang,”ujarnya kepada BenarNews.

Menurutnya, ketika mengklaim harus jelas dasar hukumnya dan jaraknya, misal sama-sama mengklaim 200 mile dari garis pantai.

“Jangan kemudian satunya 200 mile sementara satunya 500 mile. Ketika ada dua negara yang tidak menggunakan basis hukum yang sama kemudian tumpang tindih itu tidak fair secara hukum untuk kemudian mengajak berunding. Klaim di awal itu udah salah, tidak jelas,”ujar dia.

Oleh sebab itu, ia menilai langkah yang diambil Indonesia untuk terus menolak pernyataan Cina sudah tepat.

“Kita tidak akan berunding karena memang tidak mengakui, dan nanti kalau ada kapal ikan yang datang lagi akan terus diusir, itu sudah tepat,”ujar dia.

Menurut pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, pernyataan balasan Cina sudah bisa diprediksi karena memang tidak mungkin menerima keberatan dari Indonesia.

“Kalau Cina diam berarti dia mengakui apa yang dimaksud oleh Indonesia, tapi bagi Cina dia tidak mengakui putusan arbitrase, jadi jawabannya sudah bisa diprediksi seperti itu,”ujar dia kepada Benarnews.

Tindakan Indonesia, kata dia, sudah tepat dengan tidak menanggapi dan menolak ajakan negosiasi Cina.“Indonesia tidak usah terjebak, karena tidak pernah mengakui kok jadi ngapain negosiasi. Selama ini Indonesia konsisten menolak dan tidak akan pernah mau bernegosiasi dengan Cina,”ujar dia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.