Kemlu: Surat untuk PBB Bentuk Penegasan Indonesia atas Klaim Laut Cina Selatan
2020.05.29
Jakarta
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, Jumat (29/5), mengonfirmasi kabar pengiriman nota diplomatik kepada Sekretaris Jenderal PBB awal minggu ini sebagai bentuk penegasan kembali posisi Indonesia atas klaim Cina di Laut Cina Selatan, demikian juru bicara kementerian kepada BenarNews.
Juru Bicara Kemlu, Teuku Faizasyah mengatakan, nota diplomatik dikirim karena pemerintah mengindikasikan adanya klaim Cina terhadap wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan sembilan garis putus-putus.
“Kita kan tidak pernah tahu apa maksud Cina menetapkan nine-dash line berpotensi menimbulkan kondisi yang kemudian mengganggu apa yang menjadi ketetapan Indonesia,” kata Faizasyah, melalui sambungan telepon.
“Oleh sebab itu, hal tersebut perlu kita pagari dengan menyampaikan posisi kita secara terbuka kepada internasional,” tambahnya.
Namun Faizasyah menolak menyatakan bahwa surat tersebut dikirimkan karena kehadiran kapal-kapal Cina di Laut Cina Selatan dalam beberapa waktu terakhir.
“Sebenarnya tidak perlu juga dikaitkan dengan negara manapun untuk menegaskan posisi kita,” katanya, seraya menambahkan bahwa ini adalah prosedur biasa yang juga pasti diketahui oleh Cina, “Cina juga tahu kalau itu bagian dari upaya penegasan kembali mengenai posisi Indonesia.”
Surat dikirimkan melalui Misi Permanen Indonesia kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada 26 Mei lalu, kata Faizasyah.
Dalam surat yang difoto dan dibagikan seorang jurnalis berita media WION, Sidhant Sibal, di akun Twitternya, dijelaskan bahwa dalam surat itu Indonesia menyatakan dukungannya terhadap putusan Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag tahun 2016 yang berpihak pada Filipina dalam perkara klaim Laut Cina Selatan melawan Cina.
“Indonesia menegaskan bahwa peta ‘sembilan garis putus-putus’ yang menyiratkan klaim hak atas sejarah itu tidak memiliki dasar hukum internasional dan sama saja dengan menyalahi UNCLOS 1982,” demikian petikan nota yang dikirimkan Indonesia.
UNCLOS adalah dasar hukum laut internasional yang ditetapkan melalui hasil konferensi PBB yang berlangsung sejak 1973 sampai 1982. Saat ini, tak kurang dari 168 negara yang bergabung dengan konvensi tersebut, termasuk Cina.
Faizasyah menyebut nota diplomatik ini bukan langkah yang ‘langka’ bagi Indonesia, “Tidak juga, sebelumnya tahun 2009 dan tahun 2010 kita juga pernah menyatakan nota yang sama ke UN Commission on the Limits of the Continental Shelf,” tegasnya.
Pemerintah Indonesia berharap melalui penegasan ini tidak ada lagi pihak yang secara sepihak menggugat atau mengklaim wilayah ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan, kata Faizasyah.
“Kalau ada pihak lain yang menggugat atau mengklaim maka kita sudah ada penegasan kembali dan sudah kita daftarkan lebih dulu ke PBB,” tukasnya.
Kerawanan tinggi
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Yudo Margono, menyatakan pemantauan wilayah Laut Natuna Utara menjadi tugas wajib jajarannya yang bertugas di Mako Kogabwilhan I di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, lantaran wilayah tersebut memiliki kerawanan tinggi terjadinya pelanggaran hukum.
Pejabat yang baru dilantik dua minggu lalu ini mengatakan, operasi penegakan kedaulatan dan hukum utamanya dilakukan untuk mengantisipasi kehadiran kapal-kapal militer asing di Laut Natuna dengan berbagai kepentingan.
“Saya tegaskan bahwa Mako Kogabwilhan I yang berada di Tanjung Pinang harus terus memantau perkembangan pelanggaran wilayah yang terjadi di perbatasan Laut Natuna,” kata Yudo saat dikonfirmasi, Jumat.
Dalam patroli keamanan laut, TNI AL menerjunkan satu unit pesawat militer, satu unit Boeing, dan empat kapal RI (KRI).
“Kalau bicara AL, tentu kita bicara SSAT (Sistem Senjata Armada Terpadu). Mulai dari KRI, Marinir, pangkalan maupun pesawat AL. Sehingga SSAT bisa bersatu menegakkan kedaulatan dan hukum di laut,” kata Yudo dalam kesempatan berbeda di Istana Negara, Jakarta, pekan lalu.
Juli 2017, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memutuskan untuk mengubah nama sebagian Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara sebagai bentuk peringatan kepada Cina atas klaim Indonesia di laut yang kaya akan sumber daya alam tersebut.
Daerah yang diubah namanya tersebut berada dekat dengan kepulauan Natuna, sebuah kumpulan dari 272 pulau dan karang dan memang dekat dengan sembilan garis putus-putus yang diklaim Cina sebagai bagian dari teritorinya.
Cina ketika itu menolak mengakui perubahan nama tersebut seraya menyebut “sama sekali tidak ada artinya”, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina saat itu, Geng Shuang.
Perubahan nama ini dilakukan Indonesia menyusul langkah serupa yang sudah dilakukan lebih dulu negara tetangga ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Filipina.
Teguran untuk Cina
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan nota diplomatik tersebut mengartikan Indonesia secara eksplisit bertanya keras kepada Cina terkait apa yang dimaksud dari sembilan garis putus tersebut.
“Selama ini kan belum ada jawaban dari pemerintah China baik formal maupun informal. Selama ini selalu dijawab jangan khawatir, Cina hormati kedaulatan Indonesia tapi masalahnya bukan soal kedaulatan tapi hak berdaulat,” ujar dia kepada Benarnews.
Menurutnya, strategi yang dilakukan Indonesia sangat bagus untuk menyampaikan ini ke PBB meskipun belum tentu mendapatkan tanggapan yang berarti dari Cina. “Tapi tidak apa, karena Cina belakangan ini mulai agresif hadir lagi di Laut Natuna Utara dan tentunya tidak ingin konflik lagi jadi daripada repot dicoba sampaikan ke PBB,” ujar dia.
Hal senada disampaikan Peneliti Hukum Laut Internasional dari Universitas Gajah Mada (UGM), I Made Andi Arsana.
“Sikap Indonesia dari dulu sampai sekarang konsisten tegas tidak setuju terhadap Cina soal Laut Cina Selatan, sekarang menyatakannya secara eksplisit ke PBB,” ujar dia.
Dengan pengiriman nota ini, ujar dia, posisi Indonesia menjadi lebih tegas dan mewakili banyak pihak dimana beberapa negara juga bermasalah soal istilah nine-dash line yang digagas Cina.