Aktivis: Tindakan Polisi Gerebek Pesta Gay Berlebihan
2017.10.09
Jakarta
Aktivis pegiat hak asasi manusia (HAM) menilai bahwa tindakan polisi menggerebek dan sempat menahan 51 pemuda terduga gay saat sedang berpesta di sebuah tempat sauna di Jakarta sebagai aksi berlebihan karena tak ada aturan hukum yang mereka langgar.
“Polisi terlalu berlebihan dan sangat diskriminatif karena orang-orang gay tak seleluasa orang hetero untuk mengekspresikan seksualitas mereka,” ujar peneliti senior Human Rights Watch (HRW) untuk Indonesia, Andreas Harsono, kepada BeritaBenar, Senin, 9 Oktober 2017.
Andreas mengomentari operasi yang dilancarkan polisi pada Jumat tengah malam lalu ketika menggerebek tempat sauna di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, karena diyakini menjadi tempat prostitusi khusus untuk pelaku homoseksual.
Menurut polisi, dalam operasi itu, polisi mendapati 51 pria – termasuk tujuh warga negara asing dari China, Thailand, Malaysia dan Singapura – di sejumlah ruangan yang sedang melakukan aktivitas seksual sesama jenis.
“Informasi adanya tempat ini kita dapatkan dari masyakat sekitar yang merasa resah dan curiga,” kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Tahan Marpaung, kepada BeritaBenar.
“Kedoknya tempat itu adalah tempat sauna, (tapi) ketika kita masuk ternyata sedang ada pesta gay.”
Selain menangkap puluhan pria, polisi juga menyita sejumlah barang bukti dari lokasi seperti alat kontrasepsi, alat bantu seksual, kondom, dan pelumas.
Tahan menyatakan bahwa dari keterangan pengelola tempat itu diketahui bahwa setiap pengunjung diharuskan membayar Rp165.000 untuk sekali masuk.
“Yang masuk ke situ langsung dapat kondom dan pelumas, kalau alat bantu seks sudah disediakan di situ,” katanya.
Enam tersangka
Polisi telah menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mereka adalah para pengelola dan pekerja tempat sauna tersebut, yang dijerat dengan Undang-undang Pornografi. Bila terbukti di pengadilan, mereka terancam hukuman enam tahun penjara.
Sementara para pemuda yang ikut dalam pesta itu, telah dibebaskan.
“Setelah 1x24 jam mereka memang harus kita lepaskan. Karena tidak ada aturannya juga kita menahan mereka,” jelas Tahan.
Kecuali di Aceh yang menerapkan Syariah Islam, secara hukum, homoseksualitas tidak dilarang di Indonesia. Namun dengan semakin kuatnya konservatisme di Indonesia, kaum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) semakin terdiskriminasi.
Dengan dibebaskan sebagian besar terduga gay itu, kata Andreas, membuktikan mereka tidak melakukan kesalahan apapun dan polisi terbawa dengan temperamen masyarakat yang menganggap aktivitas mereka salah.
“Dalam filsafat hukum itu ada prinsip jika tidak ada korban, berarti tidak ada kejahatan. Jadi sekarang korbannya siapa? Nggak ada kan? Jadi menurut saya itu salah,” ujarnya.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yunita Purnama menilai, polisi tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang ditangkap untuk mendapat bantuan hukum.
“Meskipun mereka telah dilepaskan, harusnya juga mendapatkan hak untuk didampingi penasihat hukum. Kita sudah coba tapi tetap dihalangi,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Selain tak ada aturan hukum yang dilanggar, kata Yunita, saat ini masih ada perdebatan mengenai batasan ruang publik dan privat yang digunakan kelompok minoritas seperti LGBT.
Menurutnya, dalam penggerebekan semacam itu, polisi seharusnya menggali lebih jauh apakah ada unsur ekpolitasi seksual atau tidak.
“Apakah di sana ada unsur ekspolitasi atau tidak? Selama ini stigma yang ditempatkan kepada mereka, sementara fakta-fakta itu tidak digali lebih lanjut,” ujarnya.
Sebelumnya pada 21 Mei lalu, polisi juga menggerebek pertunjukan striptis pria bertajuk The Wild One di rumah toko di kawasan Jakarta Utara, dan menangkap 141 orang. Tetapi, hanya 10 orang yang diproses hukum, dan sisanya dibebaskan.
‘Tak sesuai Pancasila’
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menilai kelompok LGBT bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan perilaku seksual mereka berbahaya bagi kohesi sosial masyarakat.
“LGBT sangat terang tak sesuai dengan nilai Pancasila, terutama sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, saya fikir perlu upaya masif terutama edukasi terhadap anak harus diperhatikan,” katanya kepada BeritaBenar.
“Praktik LGBT juga bertentangan dengan norma-norma agama yang dianut masyarakat Indonesia,” tambah Dahnil.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mendukung langkah polisi melakukan razia terhadap tempat-tempat prostitusi termasuk tempat prostitusi khusus LGBT karena “aktivitas mereka semakin meresahkan.”
“Aktivitas mereka makin terang-terangan dan harus ditindak, karena sangat berbahaya bagi generasi bangsa kita. Saya juga berharap pemerintah melakukan upaya lebih untuk membendung propaganda LGBT yang semakin masif sekarang,” ujarnya.
Menurut catatan HRW, Indonesia sempat menolak semua rekomendasi PBB tahun ini sehubungan dengan perlindungan terhadap LGBT dalam Universal Periodic Review - sebuah kajian penilaian PBB mengenai pelaksanaan HAM negara-negara anggota PBB setiap empat tahun sekali. Namun kemudian Pemerintahan Jokowi mengatakan akan mengambil langkah-langkah untuk melindungi para penegak HAM, termasuk para aktivis LGBT.