Kaitkan LGBT dengan Gempa-Tsunami di Sulteng, Politisi Malaysia Dikecam
2018.10.24
Jakarta

Berbagai kalangan di Indonesia mengecam pernyataan mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, yang mengaitkan gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) sebagai akibat aktifitas kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
“Apa hubungannya aktivitas LGBT dikaitkan dengan bencana alam? Tentu tidak ya,” ujar Adrian Amarta, seorang warga Palu, kota yang paling parah terdampak akibat terjangan gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 28 September lalu.
Wali Kota Palu, Hidayat, menyatakan, tudingan politisi Malaysia itu tidak berdasar.
“Ini musibah untuk kami. Jika kemudian dikaitkan dengan komunitas LGBT, itu jauh dari akal sehat. Warga kami sekarang sudah kembali bangkit, tak ada pengaruhnya dengan hal-hal seperti itu,” imbuhnya.
Sehari sebelumnya pemimpin partai oposisi Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, menghubungkan bencana di Sulawesi Tengah yang menewaskan lebih dari 2.250 orang itu dengan isu LGBT ketika ia mengomentari sebuah program pemerintah Malaysia yang bertujuan untuk “mereformasi” kelompok gay dan “mengembalikan mereka ke jalan yang benar”.
“Jika kita lihat situasi di Malaysia, ini mengkhawatirkan, karena apa yang terjadi di Palu, Indonesia, ketika gempa dan tsunami terjadi. Dilaporkan terdapat sekitar 1000 orang di komunitas mereka yang terlibat dalam kegiatan LGBT. Dan ini berakibat pada kehancuran seluruh wilayah. Ini hukuman Tuhan,” ujar Ahmad Zahid.
Kepala Biro Humas Kementerian Agama, Mastuki, menepis pernyataan Ahmad Zahid tersebut .
“Kami tidak akan mengaitkan itu dengan dosa, apalagi LGBT, karena LGBT bisa ada di manapun. Kenapa kalau memang seperti itu, tempat lainnya tidak kena gempa?” ujar Mastuki.
Ia menyatakan memang ada pendapat yang mengaitkan gempa sebagai hukuman Allah dan ada dalilnya dalam Alquran.
Menurutnya, ketika gempa dan tsunami terjadi, itu tidak lepas dari hukum Allah yang ditetapkan untuk menguji manusia agar lebih optimis dan memiliki derajat lebih tinggi.
Sementara itu Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan setiap orang berhak memaknai bencana sesuai persepsi masing-masing.
Menurutnya, ahli geologi misalnya memaknai gempa dan tsunami di Palu sebagai pergerakan lempeng tektonik sesuai siklus sehingga energinya lepas menjadi gempa.
Bagi orang tata ruang, apa yang terjadi di Palu akibat dari tata ruang yang tidak mengindahkan mitigasi bencana. Sementara ahli manajemen bencana memaknai bertemunya bahaya dan kerentanan.
“Dan bagi sebagian orang agama memaknainya sebagai azab dan peringatan Allah agar manusia tidak melakukan dosa,” kata Sutopo dalam pernyataan tertulis.
Wali Kota Palu, Hidayat, juga membantah anggapan yang mengkaitkan bencana di Palu sebagai dampak dari Balia, sebuah ritual penduduk setempat, saat pelaksanaan Festival Palu Nomoni di Teluk Palu.
Balia merupakan ritual adat pengobatan yang dikenal masyarakat Suku Kaili (suku yang mendiami lembah Palu) ratusan tahun silam. Peserta ritual itu meminta petunjuk dari nenek moyang untuk menghilangkan penyakit yang menyerang tubuh.
“Tidak ada seperti itu. Namanya bencana siapa yang tahu,” tegasnya, seraya menyebut ritual Balia sebagai pertunjukan seni yang dipadu dengan kebudayaan setempat.
Komunitas LGBT
Sebelum bencana tersebut, kalangan Muslim konservatif di Palu menunjukkan kekhawatiran mereka atas apa yang mereka lihat sebagai berkembangnya komunitas LGBT di kota itu, dimana lebih dari 1.500 orang menjadi anggota Group Facebook Gay Kota Palu.
Rekaman dari televisi lokal, PaluTV, yang dipasang di YouTube memperlihatkan seorang mahasiswi Muslim mengatakan bahwa perilaku LGBT berkembang di Palu karena kota itu semakin menjadi sekuler.
Komunitas LGBT biasanya aktif di media sosial dan menggelar pertemuan tertutup, kata M. Fadli, seorang warga.
“Karena ada teman yang ikut, saya cari tahu. Ternyata memang ada, rata-rata mereka di dalam itu penyuka sesama jenis. Ada gay dan lesbi begitulah,” jelas Fadli.
Seorang komunitas LGBT Palu, Harlin Apik, yang dihubungi BeritaBenar menyatakan apa yang dikatakan mantan Wakil PM Malaysia itu tanpa mengetahui lebih dalam kondisi LGBT di Palu sehingga asal berkomentar.
“Saya seorang yatim, bisa sekolah saja tanpa biaya dari orang tua. Mama saya berharap saya baik-baik di Palu. Saya hidup dari perjuangan meski memang kami tergabung dalam komunitas LGBT,” terangnya.
“Kami hidup intinya dari doa Ibu, ridho Ibu adalah ridho Illahi.”
Harlin mengajak semua pihak tidak memandang sebelah mana LGBT di Palu, kelompok yang terdiskriminasi itu.
“Mohon hargai kami sebagai korban bencana. Mohon untuk tidak menambah trauma kami.”
Tria Dianti di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.