LGBT di Kota Pariaman Terancam Denda Rp1 Juta
2018.11.28
Pariaman
Seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pariaman di Sumatera Barat sepakat memasukkan sanksi berupa denda senilai Rp1 juta terhadap perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Sanksi itu disepakati dalam rapat paripurna DPRD setempat yang mengesahkan revisi atas Peraturan Daerah (Perda) Ketenteraman dan Ketertiban Umum di gedung DPRD Pariaman, Selasa, 27 November 2018.
"Dengan disahkan Perda ini, maka pelaku asusila dan seksual sesama jenis, LGBT dan waria akan dikenakan sanksi dan denda jika menganggu ketertiban umum," kata pimpinan DPRD Kota Pariaman, Fitri Nora saat menyerahkan Perda itu kepada Walikota Pariaman, Genius Umar.
Ada dua pasal dalam Perda tersebut yang mengatur tentang LGBT dan Waria, yakni Pasal 24 dan Pasal 25.
Pelanggaran terhadap kedua pasal itu akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp1 juta.
Pasal 24 mengatur tentang aktivitas setiap orang berperilaku sebagai waria dan melakukan kegiatan yang mengganggu ketenteraman umum.
Sementara pasal 25 mengatur larangan aktivitas setiap perempuan atau laki-laki melakukan perbuatan asusila sesama jenis.
Dalam Perda itu dijabarkan pengertian Waria sebagai laki-laki yang memiliki sifat, tingkat laku, penampilan dan kebiasaan layaknya seperti perempuan.
Sedangkan LBGT diartikan sebagai laki-laki dan atau perempuan yang melakukan hubungan seksual atau maksiat dengan sesama jenisnya.
"Kami menyetujui Ranperda tersebut disahkan menjadi Perda. Kesamaan dan kesetujuan tersebut disebabkan perlunya regulasi mengantisipasi berkembangnya LBGT dan penyakit masyarakat di Kota Pariaman," kata Nasril, juru bicara Fraksi Nurani Pembangunan.
"Keberadaan Perda ini diharapkan bisa mencegah berkembangnya perilaku-perilaku yang menyimpang di tengah masyarakat," tambah Hamdani dari Fraksi Gerindra.
Sanksi adat
Wakil Walikota Pariaman, Mardison Mahyudin, mengaku lega setelah DPRD mengesahkan Rancangan Perda menjadi Perda sehingga Pemerintah Kota memiliki payung hukum untuk menjaga ketertiban umum.
"Ini adalah jawaban atas keinginan kita semua," kata Mardison kepada BeritaBenar, Rabu, 28 November 2018.
Dia menambahkan Perda tersebut akan ditindaklanjuti dengan aturan-aturan tingkat Nagari atau desa.
“Jadi, selain sanksi sebagaimana tertulis dalam Perda, juga akan ada sanksi sosial. Termasuk sanksi adat. Aturan adat bermacam-macam dendanya, tergantung daerah masing-masing. Bisa denda bayar semen, bisa diusir atau yang lainnya,” jelas Mardison.
Menyangkut sanksi sosial diamini tokoh lembaga adat setempat.
Sekretaris LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Kota Pariaman, Priyaldi, mendorong agar diberlakukan sanksi sosial terhadap pelaku LBGT dan Waria di tingkat nagari.
“Bisa dalam bentuk Peraturan Nagari sebagai turunan dari Perda yang itu,” katanya.
Ia mencontohkan, sanksi sosial dapat diberlakukan dengan “mengusir” pelaku LGBT dan Waria dari desa tempat tinggal atau tidak diberikan fasilitasi atau izin acara bagi mereka-mereka yang berperilaku menyimpang tersebut.
“Tidak hanya itu, keluarga pelaku LBGT dan Waria juga dapat dikenakan sanksi sosial, bila melindungi pelaku LBGT,” ujarnya.
"Perlu ada regulasi Peraturan Desa yang memberikan sanksi sosial agar pencegahan dan penindakan terhadap LGBT dan Waria berjalan optimal."
Dikritisi
Namun, tak semua setuju dengan Perda yang memberikan sanksi terhadap LGBT.
Salah satunya adalah Direktur Women Crisis Centre (WCC) Nurani Perempuan, Yefri Heriani, yang mengkritisi keputusan DPRD Kota Pariaman.
“Para pengambil kebijakan yang mengeluarkan Perda itu apakah sudah benar-benar yakin akan bisa diimplementasikan?,” ujarnya mempertanyakan saat diminta tanggapannya.
“Kalau perilaku itu ada di anggota keluarga mereka masing-masing bagaimana? Apakah bisa diimplementasikan dengan sanksi-sanksinya atau tidak. Kalau saya, kurang bisa yakin,” kata Yefni.
Menurutnya, kemunculan Perda tersebut bisa dianggap sebagai sesuatu yang terburu-buru, karena seharusnya ada solusi lain yang bisa dilakukan.
“Apapun kebijakan yang diambil, harusnya refleksi dulu. Mungkin perlu solusi lain,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut bahwa munculnya sejumlah aturan di daerah yang dapat menjerat kelompok LBGT sebagai tanda bahaya bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM).
"Perlakuan sewenang-wenang oleh penegak hukum dipandang normal oleh beberapa orang," katanya dalam keterangan tertulis, awal bulan ini.
"Pemerintah pusat harus mengambil sikap dan memerintahkan pemerintah lokal untuk menganulir aturan-aturan yang diskriminatif. Kepolisian seharusnya diinstruksikan untuk melindungi kelompok LGBT."
Sedangkan, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Naia Rizqi Zakiah, menilai fenomena yang terjadi di beragam daerah sebagai wujud ketidakpahaman masalah LGBT yang telah dikategorikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan sebagai gangguan kesehatan dan kejiwaan.