Penyintas gempa Palu bertahan lima tahun di hunian tak layak
2023.09.27
Palu, Sulawesi Tengah

Pohon kersen tumbuh subur di halaman sebuah hunian di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, yang selama lima tahun terakhir menjadi rumah sementara bagi sebagian warga penyintas bencana gempa Palu.
Di bawah naungan pohon kersen itu warga kerap berteduh dan berkumpul sambil membincangkan sesuatu.
“Sudah lima tahun kami bertahan di sini dan belum ada kejelasan kapan pindah ke hunian tetap,” ujar salah seorang penghuni, Abdul Naim, 37, kepada BenarNews, baru-baru ini.
“Tadi kembali ada pendataan penghuni hunian sementara dari pemerintah, makanya kami berkumpul. Biasalah, pendataan rutin tahunan,” kata Naim.
Pada 28 September 2018, gempa dan tsunami melanda Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong dan membuat ribuan orang kehilangan rumah.
Hunian sementara di Petobo berdiri sejak 2019 dan menjadi tempat tinggal bagi 600 keluarga yang bertahan hidup di dalam bilik sempit 12 meter persegi.
Warga harus menahan rasa sesak karena berbagi tempat dengan anggota keluarga lainnya.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebenarnya merencanakan warga menempati hunian sementara itu hanya selama 1-2 tahun, untuk kemudian berpindah ke hunian tetap.
Namun, rencana tinggal rencana. Kondisi hunian sementara sangat memprihatinkan, tetapi hunian tetap belum kunjung tersedia.
“Lihat sendiri kondisi kami di hunian sementara ini. Biliknya sempit, panas, dan kondisi materialnya sudah banyak yang rusak. Semua keluhan sudah kami sampaikan ke pemerintah, tapi tidak ada tanggapan,” kata Naim.
Hampir semua bilik hunian sementara lapuk dimakan usia. Bahkan, ada beberapa dinding yang pecah dan rusak. Selain itu, banyak lantai yang bocor dan perlu diganti.
Menurut Naim, satu toilet dipakai bersama hingga 12 keluarga karena septic tank di 82 unit semuanya rusak.
“Hunian sementara ini sudah tidak layak untuk ditinggali. Fasilitas air bersih dan listrik juga bermasalah. Kadang air tidak mengalir, listrik juga biasa padam tiba-tiba,” tegas Naim.
Kebanyakan warga penghuni bekerja serabutan demi biaya hidup. Dari bekerja sebagai buruh bangunan hingga memulung barang bekas di puing-puing bangunan yang rusak akibat likuefaksi.
Menurut Naim, warga yang masih punya lahan pertanian mengolah kembali lahannya. Warga yang masih memiliki hewan ternak pun melanjutkan peternakannya.
“Namun sebagian besar kami di sini, apa pun yang bisa menghasilkan demi menopang kehidupan sehari-hari keluarga, pasti kami kerjakan selagi halal,” tutupnya.
Bertahan karena janji
Mereka yang bertahan di hunian sementara Petobo tidak punya pilihan lain. Jika mereka meninggalkan lokasi hunian tersebut, maka tidak ada tempat lagi untuk bermukim.
“Rumah saya hancur. Selain karena gempa bumi juga karena likuefaksi. Kalau saya tinggalkan hunian sementara, mau di mana lagi saya bersama keluarga,” kata Mulyadi Hasan, 53, penghuni lainnya.

Mulyadi merupakan warga asli Petobo. Selain rumah, dia juga sempat memiliki beberapa kendaraan bermotor. Namun saat musibah datang, semua asetnya sirna.
“Semuanya tidak ada yang tersisa. Saya dan keluarga yang selamat hanya punya pakaian di badan,” ujarnya.
Mulyadi ingat betul ketika gempa bumi 7,4 magnitudo mengguncang dan setelahnya, tanah yang dipijak berubah menjadi lumpur dan bergerak ke berbagai arah.
Rumah, kendaraan, dan tumbuhan yang ada di atas tanah hancur. Mulyadi melihat bagaimana tanah seolah menjelma seperti ombak di laut dan menggulung beberapa orang dan hewan ternak.
“Kami sekeluarga lari ke arah tanah yang keras. Sampai di tempat aman baru berhenti. Dari situ saya sudah tidak tahu orang-orang yang terkena likuefaksi itu selamat atau tidak,” katanya.
Saat ini, Mulyadi dan ratusan keluarga di hunian sementara Petobo telah didata untuk mendapatkan hunian tetap dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah.
“Sebenarnya warga bertahan karena janji pemerintah. Kata pemerintah kami segera pindah ke kawasan yang dibangun tidak jauh dari hunian sementara ini,” imbuhnya.
Ketua Rukun Warga Hunian Sementara Petobo Tengah Lukman Tenggo mengatakan pembangunan hunian tetap di Petobo tengah berlangsung.
Pemerintah hingga saat ini sudah membangun 648 unit hunian tetap dari 655 unit yang direncanakan. “Itu pun hunian tetap yang sudah ada belum seratus persen selesai. Makanya saya pesimistis tahun ini penyintas bisa semuanya pindah,” kata Lukman.
Lukman menyebutkan dari hasil pemantauan langsung di lokasi, ia memprediksi tahun depan (2024) warga baru bisa secara bertahap pindah ke hunian permanen.
“Pembangunan harus selesai semua baru dapat ditinggali. Seperti pemukimannya, jalannya, dan fasilitas umum lainnya. Sementara sekarang proses pembangunannya kemungkinan itu baru sekitar 70 persen. Bisa jadi tahun 2024 warga baru pindah,” paparnya.
Lukman juga menemukan kondisi kualitas bangunan yang kurang memadai sebagai rumah yang konstruksinya tahan gempa.
“Katanya rumah tahan gempa bumi. Tapi dicek kontruksinya goyang. Itu yang kami minta dikerjakan dengan baik, karena hunian tetap itu untuk ditinggali selamanya, jadi harus kuat,” katanya.
Berdasarkan data BPBD Sulawesi Tengah, ada sekitar 1.330 keluarga yang saat ini tinggal di hunian sementara dan belum mendapatkan hunian tetap.
Kepala Bidang Rehabilitasi Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah, Budi Yunus mengatakan bahwa ribuan jiwa penyintas itu tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala.
“Dari tiga wilayah itu, di Palu yang masih banyak ditemukan penyintas tinggal di hunian sementara. Jumlahnya sekitar 1.000-an keluarga,” ucapnya.

Budi menyebutkan, ribuan keluarga memilih masih bertahan di hunian sementara karena masih menunggu penyelesaian pembangunan yang masih berlangsung di beberapa titik. Seperti pembangunan hunian tetap kawasan di Kelurahan Petobo.
“Jadi ketika hunian tetap sudah selesai, semua keluarga harus pindah. Sekarang tinggal menunggu penyelesaian pembangunannya saja,” urainya.
Budi mengatakan pembebasan lahan menjadi faktor utama lambatnya pembangunan hunian tetap.
“Beberapa lahan itu baru dibebaskan tahun kemarin oleh pemerintah. Makanya pembangunannya baru berlangsung tahun ini. Jadi kendalanya itu soal lahan. Tapi sekarang semuanya sudah aman,” tandasnya.
Pemerintah Sulawesi Tengah mengalokasikan Rp10 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi untuk pengadaan tanah bagi pembangunan hunian tetap di Petobo.
“Dalam keputusan itu, dinyatakan untuk wilayah Kecamatan Palu Selatan pengadaan tanah pembangunan hunian tetap seluas 76,25 hektare di Kelurahan Petobo,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah, Nilam Sari Lawira.
Pemerintah, kata Nilam, menjanjikan bantuan dan hunian tetap bagi warga terdampak akan selesai dalam waktu kurang dari 2,5 tahun.
“Tentu sangat disayangkan, sampai sekarang masih ada warga yang tinggal di hunian sementara. Kita berharap, semua warga itu bisa segera dipindahkan ke hunian tetap,” katanya.
Nilam mengatakan sejak tahun 2021 ada bantuan hibah untuk pembebasan lahan di Palu, Sigi, dan Donggala sebesar Rp55 miliar.

“Dalam APBD Perubahan 2021, telah disepakati bantuan hibah itu. Makanya tidak ada alasan lagi soal pembebasan lahan. Karena pemerintah pusat langsung membangun ketika lahan sudah disediakan daerah,” pungkasnya.
Hingga tahun 2022, baru 3.463 unit hunian tetap yang sudah dibangun. Angka ini hanya 45 persen dari total kebutuhan sebanyak 7.682 unit, berdasarkan laporan BPBD Sulawesi Tengah.
BPBD Sulawesi Tengah mencatat bencana alam tahun 2018 di provinsi itu menelan 2.685 korban jiwa, dengan perincian 2.132 jiwa di Palu, 289 jiwa di Sigi, 249 jiwa di Donggala, dan 15 jiwa di Parigi Moutong.
Sementara itu, 1.373 dilaporkan hilang, 4.438 luka-luka, dan total 221.450 orang terpaksa mengungsi.
Pemerintah memperkirakan dampak kerugian bencana senilai Rp2,89 triliun sedangkan dampak kerusakan Rp15,58 triliun.