Negara-Negara Asia Tenggara Kewalahan Hadapi Sampah yang Ditolak China
2019.05.23
Negara-negara di Asia Tenggara harus menghadapi meningkatnya sampah yang dibuang dari negara-negara industri, dengan Malaysia dan Filipina mengancam akan mengirim sampah tersebut kembali ke negara asalnya.
Manila sudah memanggil pulang duta besarnya dan beberapa diplomat senior lain dari Kanada setelah Ottawa minggu lalu gagal memenuhi tenggat waktu untuk menyingkirkan sampah dalam jumlah besar yang dikirim ke Filipina enam tahun yang lalu.
Kawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini kebanjiran sampah plastik impor setelah tahun lalu China, dalam rangka mengurangi polusi udara, menghentikan impor sampah untuk didaurulang.
Sampah impor yang masuk ke negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia dan Vietnam di tahun 2018 kebanyakan datang dari Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Belgia dan Kanada.
“Kami tidak ingin disebut sebagai tempat sampah dunia,” ujar Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, Yeo Bee Yin saat jumpa pers, Jumat lalu, “kami akan kirim kembali sampah itu ke negara asalnya.”
Negara-negara industri yang mengirimkan limbah mereka ke bisnis daur ulang lokal yang saat itu berkembang pesat harus menanggung biaya memindahkan dan mengambil kembali sampah mereka, ujarnya.
Pernyataan Yeo diucapkan seminggu setelah 187 negara mengadopsi amandemen Konvensi Basel, sebuah perjanjian di tahun 1989 yang bertujuan untuk mengurangi perpindahan sampah plastik dan berbahaya melintasi perbatasan nasional.
Amandemen-amandemen tersebut, yang disetujui saat konferensi di Jenewa bulan ini, akan mulai berlaku pada 1 Januari 2021 dan mengharuskan negara-negara yang mengekspor limbah plastik untuk mendapatkan izin terlebih dahulu dari negara-negara yang menerima sampah.
Sebelum China tersebut membatasi impor limbah, negara tersebut mengumpulkan sekitar 45 persen dari sampah plastik bekas di dunia, menurut laporan yang diterbitkan tahun 2018 di Science Advances sebuah jurnal yang diterbitkan oleh American Association for Advancement of Science.
Namun ketika Beijing mengeluarkan kebijakan nasional untuk secara bertahap melarang impor kertas dan plastik yang dapat didaurulang di Januari 2018, hal itu menyebabkan harga kepingan sampah plastik menurun tajam dan menjadikan negara-negara Asia Tenggar menjadi importir utama sampah plastik.
“Limbah plastik dari negara-negara industri secara nyata menimbun masyarakat di Asia Tenggara, mengubah tempat-tempat yang dulunya bersih dan berkembang menjadi tempat pembuangan sampah beracun,” ujar Von Hernandez, koordinator global gerakan Break Free from Plastic, sebuah aliansi LSM, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan bulan lalu.
“Ini adalah puncak ketidakadilan, bahwa negara-negara dan masyarakat dengan kapasitas dan sumber daya yang lebih sedikit harus menangani polusi plastik, serta menjadi katup pembuangan untuk plastik sekali pakai yang dihasilkan oleh negara-negara industri,” katanya.
Setelah China memberlakukan larangannya, Malaysia menerima lebih banyak limbah impor daripada negara lain, sebanyak 750.000 metrik ton plastik pada 2018 dan bernilai lebih dari 483 juta ringgit (US $116 juta), menurut Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI), asosiasi perdagangan yang berbasis di Washington, DC.
Impor sampah China pun menurun, sebelumnya sebesar lebih dari 600.000 ton per bulan pada 2016, sekarang menjadi 30.000 ton per bulan sejak Januari 2018, kata ISRI.
"Akibat dari larangan limbah plastik yang diberlakukan oleh China, negara-negara lain menjadikan Malaysia sebagai lokasi utama mereka untuk mengekspor limbah plastik ilegal," kata menteri Yeo.
Sementara saat mereka bersengketa dengan negara-negara industri untuk mengambil kembali limbah mereka, banyak negara-negara Asia Tenggara yang juga telah mengambil tindakan setelah mereka mulai memberlakukan pembatasan impor sekitar pertengahan 2018.
Malaysia mengeluarkan larangan permanen
Pada Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor untuk limbah plastik dan tiga bulan kemudian, pihak berwenang Malaysia mengeluarkan larangan permanen.
Pihak berwenang Malaysia juga melakukan penggerebekan terhadap pendaur ulang plastik tanpa izin. Pihak yang berwajib menangkap lusinan pekerja selama penggerebekan polisi di pabrik-pabrik gelap yang mencoba menghasilkan uang dari perdagangan global limbah plastik - bernilai lebih dari US $5 miliar per tahun.
Kuala Lumpur mulai bergerak untuk memerangi limbah plastik setelah sebelumnya para pejabat mengatakan bahwa 24 kontainer limbah plastik dari Spanyol telah diselundupkan ke Malaysia di Port Klang, Selangor, dengan menggunakan deklarasi bea cukai yang dipalsukan.
Sejak 2017, Malaysia telah membeli plastik bekas dari Inggris, Australia dan Amerika Serikat, mengalahkan puluhan pabrik ilegal dengan limbah yang tidak dapat didaur ulang, yang sering dibakar secara sembunyi-sembunyi dan melepaskan bahan kimia seperti dioksin, yang dapat membahayakan sistem saraf.
Pada bulan Februari, pemerintah Malaysia mengatakan pihaknya telah menutup 139 pabrik daur ulang plastik tanpa izin sejak Juli lalu.
Indonesia: pro kontra impor sampah plastik
Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, mengimpor 35.000 ton sampah plastik per bulan dari Jerman, Australia dan Amerika Serikat pada akhir 2018. Angka ini adalah peningkatan tajam dari 10.000 ton per bulan pada akhir 2017, menurut data dari Kementerian Perdagangan.
Ketiga negara itu adalah pengekspor utama sampah plastik di Asia Tenggara, yang menampung lebih dari 705 juta pon sampah plastik tahun lalu, menurut Rosa Vivien Ratnawati, direktur jenderal pengelolaan limbah di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Plastik yang diimpor adalah limbah tidak berbahaya dan tidak beracun dalam bentuk plastik bekas dan bersih," katanya kepada BeritaBenar.
Menurut peraturan Kementerian Perdagangan tahun 2016, bahan-bahan tersebut dapat diimpor dan dikategorikan sebagai sisa limbah untuk didaur ulang, katanya.
Ratnawati adalah salah satu pejabat Indonesia yang mendukung perdagangan global sampah plastik.
Pada bulan November tahun lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengirim surat ke Kementerian Lingkungan Hidup, dan mendesak mereka agar mencabut larangan impor yang ada, yang menurut sebagian besar aktivis lingkungan tidak dilaksanakan. Hartarto mengatakan Jakarta mendapat $40 juta surplus perdagangan dengan mengekspor plastik daur ulang.
Kelompok-kelompok advokasi lingkungan menyatakan keprihatinan mereka bahwa perusahaan-perusahaan lokal memanfaatkan sampah yang menggunung tersebut melalui impor ilegal. Mereka menuduh pabrik-pabrik gelap tersebut dengan tanpa pandang bulu sengaja membakar limbah plastik yang tidak dapat didaur ulang.
"Beberapa orang meraup untung dari impor tersebut tetapi sebenarnya mereka juga terkena dampak negatif karena, pada kenyataannya, limbah tersebut pada akhirnya akan mengancam kesehatan masyarakat," ujar Prigi Arisandi, pendiri Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), kepada BeritaBenar.
Ahli lingkungan Indonesia juga mengklaim bahwa kertas bekas dan limbah rumah tangga selama ini telah masuk bersama limbah plastik yang diimpor oleh pabrik.
“Ada 55 perusahaan kertas di Indonesia, 22 diantaranya ada di Jawa Timur dan kami menemukan bahwa mereka mengimpor kertas bekas dan yang dikhawatirkan adalah adanya sampah plastik di antara bahan-bahan yang diimpor,” ujar Prigi.
“Kami menemukan bahwa negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Selandia Baru membuang sampah rumah tangga mereka dengan mengekspornya di antara kertas-kertas bekas,” ujarnya.
Ecoton memperkirakan bahwa ada 70 persen kertas yang masuk untuk didaurulang sudah terkontaminasi dengan sampah plastik.
Thailand mengurangi kuota impor
Otoritas di Thailand telah mengupayakan penanggulangan sampah impor dengan mengurangi kuota “dari beberapa ratus ribu ton ke 70.000 ton dan hanya mengijinkan plastik yang bagus dan dapat didaurulang [untuk diimpor],” ujar Pralong Damrongthai, direktur jenderla Departemen Pengendali Polusi, kepada BeritaBenar.
Impor Thailand melonjak menjadi 75.000 ton per bulan pada awal 2018 dengan sampah plastik yang berasal dari eksportir utama seperti Jepang, Amerika Serikat dan Hong Kong, menurut Laporan Mitos Daur Ulang 2018 yang dikeluarkan oleh Greenpeace.
Ketika dampak buruk bagi lingkungan akibat sampah impor ini telah merasuk daerah pedesaan Thailand, pemerintah junta militer melakukan penyergapan kepada pabrik daur ulang plastik.
Pada pertengahan 2018, Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Thailand untuk sementara waktu melarang impor limbah plastik dan mengumumkan rencana untuk melarang sepenuhnya impor plastik yang dapat didaur ulang pada tahun 2020.
“Kami akan melarang 422 jenis limbah dalam waktu dua tahun,” kata Pralong.
Sengketa sampah Filipina-Kanada
Sampah yang tidak diinginkan, termasuk kantong plastik kotor, juga telah membebani hubungan diplomatik antara Filipina dan Kanada.
Manila mempertanyakan reputasi pro-lingkungan Ottawa setelah Kanada melewatkan tenggat waktu 15 Mei lalu untuk mengambil kembali ribuan ton sampah dalam wadah berlabel plastik yang dikirim ke Filipina untuk didaur ulang oleh sebuah perusahaan Kanada pada 2013.
Dalam sengketa sampah ini, Presiden Rodrigo Duterte bahkan telah mengancam untuk berlayar ke Kanada dan membuang sampah secara langsung di pantai-pantai negara tersebut.
Konflik ini pun terus memanas dan berkepanjangan ketika Manila menarik pulang duta besar dan diplomat-diplomatnya di Kanada pada Kamis lalu.
Filipina akan "mempertahankan kondisi kehadiran diplomatiknya yang berkurang” di Kanada sampai Ottawa mengambil kembali sampah yang tidak diinginkan itu, ujar Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin Jr dalam sebuah pesan yang disampaikan melalui akun di media sosial Twitter pekan lalu.
Pada 16 Mei, juru bicara kepresidenan Salvador Panelo Jr. mengatakan bahwa penarikan para diplomat tersebut bertujuan untuk menekan Ottawa agar mempercepat pengambilan sampah.
"Ini fakta bahwa dengan Menteri Luar Negeri Locsin telah menarik kembali diplomat kami di sana (Kanada), kami menunjukkan bahwa kami serius dan kami juga memperingatkan mereka bahwa kami akan memutuskan hubungan diplomatik dengan mereka," ujar Panelo kepada wartawan.
Tia Asmara, Ami Afriatni, dan Ahmad Syamsudin di Jakarta, Muzliza Mustafa dan Hadi Azmi di Kuala Lumpur, serta Pimuk Rakkanam dan Nontarat Phaicharoen di Bangkok, turut berkontribusi dalam laporan ini.