Sepasang Mahasiswa Dicambuk 100 Kali di Aceh

Persidangan hanya berlangsung sekali dan sejak proses hukum dilakukan, pasangan mahasiswa itu tak didampingi pengacara.
Nurdin Hasan
2016.11.28
Banda Aceh
161128_ID_Aceh_1000.jpg Kesakitan, SWS mengangkat kedua tangannya setelah cambukan yang ketujuh, di Banda Aceh, 28 November 2016.
Nurdin Hasan/BeritaBenar

Sepasang mahasiswa berusia 19 tahun dicambuk masing-masing 100 kali di Banda Aceh, Senin, 28 November 2016, karena terbukti melakukan zina.

Eksekusi cambuk yang digelar di halaman Masjid Ar Rahman, pinggiran ibukota provinsi Aceh, disaksikan ratusan warga, termasuk perempuan dan anak-anak.

Saat mahasiswa berinisial ZZA dibawa ke panggung ukuran 4 x 4 meter, terdengar teriakan bernada ejekan dari kerumunan warga.

ZZA tampak tegar menjalani hukuman cambuk yang setiap 20 kali dilakukan pergantian algojo dan pemeriksaan kesehatan.

Saat ditanya dokter, ZAA menjawab masih sanggup melanjutkan hukuman cambuk. Ia pernah beberapa kali minum air di sela-sela menjalani hukuman cambuk.

Begitu juga dengan pasangannya, RFN yang tampak pasrah dicambuk. Ia hanya berdoa dengan mulut komat-kamit.

Sambil didudukkan di panggung, RFN mengaku siap melanjutkan hukuman cambuk saat ditanya dokter.

Ia tampak cukup kuat dan tegar. RFN hanya sekali minum air selama dicambuk 100 kali.

Sebelum eksekusi cambuk, seorang jaksa membaca putusan Mahkamah Syariah Banda Aceh yang menjatuhkan vonis hukuman 100 kali atas pasangan mahasiswa tersebut.

Mengakui

Cambuk 100 kali adalah hukuman hudud sesuai Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014, yang mulai diberlakukan di Aceh, 23 Oktober 2015.

Hudud maksudnya jenis hukuman yang bentuk dan besarannya telah ditentukan dalam qanun secara tegas. Tak ada pemotongan masa tahanan meski mereka telah ditahan dua bulan.

Ricky Febriandi, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, ketika ditanya BeritaBenar seusai eksekusi cambuk menyatakan pasangan itu mengakui telah berzina.

“Saat persidangan, hakim menanyakan perbuatannya. Mereka mengakui zina. Awalnya kita meyakini mereka (melakukan) ikhtilath,” katanya.

Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka.

Febriandi menambahkan setelah keduanya mengakui berzina, hakim bertanya apakah mereka bersedia disumpah.

“Mereka jawab, ‘bersedia disumpah telah melakukan zina.’ Lalu disumpah tiga kali,” ujar Febriandi.

“Makanya diputuskan zina,” katanya, yang menambahkan saat disidik polisi syariah dan penuntutan jaksa, mereka dijerat pasal ikhtilath yang ancaman hukuman maksimal 30 kali cambuk.

Dia mengakui persidangan hanya berlangsung sekali dan sejak proses hukum dilakukan, pasangan mahasiswa tak didampingi pengacara, sesuatu yang lazim berlaku bagi para pelaku pelanggaran qanun syariat Islam di Aceh.

Tak terima

ZAA dan RFN tidak bersedia berkomentar kepada wartawan. Tetapi, Halim, paman ZAA, menyatakan tak bisa menerima hukuman cambuk yang dijatuhkan atas keponakannya.

“Kenapa dia yang sudah jujur mengaku dihukum 100 cambuk, sementara yang jelas-jelas hamil hanya dihukum 25 kali cambuk,” katanya.

“Padahal mereka jelas, sudah hamil. Jadi tidak perlu pengakuan lagi, mereka melakukan zina. Kenapa tidak dicambuk 100 kali.”

Halim mengakui pihak keluarga tidak mencarikan pengacara karena tak punya uang dan ingin masalah cepat selesai sekaligus menjadi pembelajaran.

Yang dimaksud Halim dengan telah hamil adalah pasangan MA – seorang terpidana lain –  tetapi belum dicambuk karena masih menunggu putusan Mahkamah Syariah, Kamis depan.

Meski nanti divonis hukuman cambuk, tapi perempuan itu tidak dicambuk sampai setelah melahirkan.

Sedangkan, MA (18) dicambuk 22 dari vonis 25 kali cambuk karena melakukan ikhtilath dengan pasangannya. Hukuman MA dikurangi masa tahanan tiga kali atau sebanding dengan tiga bulan.

Saat bersamaan juga dicambuk ABA (32) dan pasangan perempuannya SWS (34), karena mereka melakukan khalwat, masing-masing tujuh kali dari vonis delapan kali cambuk.

Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara dua orang berlainan jenis kelamin yang bukan muhrim dan tanpa ikatan perkawinan.

SWS beberapa kali menjerit saat dicambuk, sementara ejekan terhadap terpidana cambuk terdengar dari arah kerumunan warga.

Setelah tiga kali dicambuk, dia mengangkat tangan sambil berujar, “Oh Ibu, sakit sekali!”

Eksekusi cambuk terus dilaksanakan di Aceh terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam meski ditentang keras para aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) karena dianggap diskriminatif.

Qanun Jinayat mengatur tentang minum minuman beralkohol, perbuatan zina, khalwat, perjudian, menuduh seseorang berzina, pelecehan seksual, pemerkosaan, bermesraan, dan homoseksual.

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat dalam pernyataan refleksi setahun penerapan Qanun Jinayat, Oktober lalu, meminta pemerintah mengkaji ulang aturan itu karena dianggap diskriminatif bagi perempuan dan melanggar HAM.

Menurut data Monitoring Institute for Criminal Justice Reform, Mahkamah Syariah di Aceh telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat dan sekitar 180 terpidana telah dicambuk sejak Januari hingga September 2016.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.