KJRI Menentang Putusan Pengadilan Malaysia Bebaskan Terduga Pelaku Kekerasan atas TKW

Aktivis: pembebasan ini preseden buruk penegakan keadilan.
Nisha David
2020.09.22
Kuala Lumpur
200922-MY-ID-Maid1000.jpg Ambrosius Koa (kanan depan), anggota keluarga dari Adelina Sau, pembantu rumah tangga yang meninggal di Malaysia karena dianiaya majikannya, membantu staf bandara mengangkat peti mati Adelina setelah peti itu tiba di Bandara Kupang, Nusa Tenggara Timur,17 Februari 2018.
AFP

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Penang, Malaysia, Selasa (22/9), menyatakan ketidaksetujuannya atas keputusan Pengadilan Banding Malaysia yang menguatkan putusan pengadilan yang lebih rendah untuk pembebasan seorang majikan yang dituduh menyiksa pembantu rumah tangganya yang berasal dari Indonesia hingga meninggal pada 2018.

Insiden tersebut menyebabkan Adelina Lisao, atau juga dikenal sebagai Adelina Sau, seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Nusa Tenggara Timur meninggal di sebuah rumah sakit di Penang pada 10 Februari 2018, sehari setelah dia diselamatkan oleh polisi setempat menyusul laporan yang mereka terima tentang dugaan penyiksaan oleh majikannya. Ambika MA Shan (61) yang merupakan ibu dari majikan Adelina, kemudian didakwa melakukan pembunuhan tetapi dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Penang pada tahun 2019.

Perwakilan dari KJRI Penang, Esther Rajagukguk, dalam pernyataannya mengatakan tidak menyetujui keputusan tersebut yang dinilai tidak mencerminkan keadilan.

“KJRI Penang menghormati putusan Pengadilan Banding Malaysia, namun kami tidak senang dengan putusan tersebut, karena itu berarti keadilan belum terlaksana,” ujarnya kepada BenarNews.

KJRI mengatakan akan menunggu keputusan Majelis Kejaksaan Agung dalam waktu 10 hari, kerangka waktu yang diberikan oleh Pengadilan Banding.

“Kami yakin Majelis Kejaksaan Agung juga memiliki visi yang sama untuk mencari keadilan bagi almarhum Adelina Lisao," ujarnya dalam pernyataan kepada BenarNews.

Pemerintah Indonesia akan terus berupaya mencari keadilan bagi Adelina dan keluarganya, tambah Esther.

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga mengutuk keputusan tersebut.

Tenaganita, sebuah LSM yang memperjuangkan hak-hak bagi para migran dan pengungsi, dalam sebuah pernyataan menyatakan keterkejutan mereka atas keputusan Pengadilan Banding itu dan menyerukan kepada jaksa penuntut untuk menghukum Ambika dengan tuntutan pidana alternatif.

"Kami telah diberi tahu bahwa kejaksaan memiliki waktu 10 hari untuk menuntut pelaku dengan dakwaan lain, dan kami berharap dia dapat dituntut berdasarkan ayat 304A KUHP karena Adelina mendapatkan penyiksaan di badannya yang brutal dan kejam oleh majikannya sehingga meninggal dunia. Dia ditemukan dengan luka parah di kepala dan wajahnya, serta luka infeksi di tangan dan kakinya," kata direktur eksekutif Tenaganita, Glorene Das.

Glorene mengacu pada undang-undang yang mengatur tindakan kriminal yang menyebabkan kematian karena kelalaian, yang membawa hukuman penjara maksimum dua tahun, atau denda, atau keduanya.

Menurut organisasi tersebut, pembebasan Ambika akan mengirimkan pesan "sangat berbahaya" kepada penyalahgunaan dan eksploitasi manusia lain.

"Tenaganita sangat yakin bahwa satu-satunya cara yang efisien untuk menghilangkan penyiksaan dan eksploitasi terhadap siapa pun adalah dengan hukuman dan penjara untuk jangka waktu yang lama.

“Kita harus mengakhiri iklim impunitas yang diberikan kepada majikan dan kepada semua pelaku, yang menyalahgunakan, menipu, melakukan kekerasan dan bahkan melakukan tindakan yang menyebabkan kematian pekerja rumah tangga, dengan sedikit konsekuensi bagi mereka," tambah Glorene.

Dalam persidangan Pengadilan Banding pada hari Selasa, panel yang terdiri dari tiga hakim yang diketuai oleh Yaacob Md Sam memutuskan bahwa Akhtar Tahir, hakim Pengadilan Tinggi yang membebaskan Ambika berdasarkan Pasal 254 (3) dari Undang-Undang Acara Pidana tahun lalu, tidak melakukan kesalahan dalam keputusannya.

"Kami yakin hakim telah menjalankan kekuasaannya dengan benar. Dengan demikian, putusan Pengadilan Tinggi sudah benar dan adil," kata Yaacob dalam menyampaikan putusan yang mengesampingkan banding yang diajukan jaksa penuntut terhadap putusan Akhtar seperti dikutip dari lokal newsportal Free Malaysia Today.

Dua hakim lainnya dalam panel itu adalah Abu Bakar Jais dan Nordin Hassan.

Yaacob mengatakan, tidak ada catatan yang menunjukkan kejaksaan berniat melanjutkan persidangan setelah memanggil tiga saksi.

Ambika tidak hadir saat Pengadilan Banding menyampaikan putusannya.

Pada 19 April 2019, Pengadilan Tinggi di Penang membebaskan Ambika dari dakwaan pembunuhan Adelina, yang meninggal karena gagal organ.

Menurut laporan surat kabar lokal Berita Harian, perempuan Indonesia itu diduga dianiaya di rumah Ambika di Bukit Mertajam, Penang.

Laporan media menyebutkan bahwa seorang tetangga melihat Adelina tidur dengan seekor anjing di rumah Ambika, dan ada bekas luka bakar dan memar terlihat di tubuhnya.

Dalam putusannya saat itu, Akhtar mengatakan bahwa terdakwa dibebaskan di tengah persidangan karena kuasa hukum pemerintah tidak memberikan alasan yang sah untuk mendapatkan DNAA (discharge not amounting to an acquittal).

Dia menambahkan, Ambika hanya dibebaskan dari dakwaan pembunuhan, dan penuntut masih bisa mengajukan dakwaan terhadapnya atas pelanggaran lain.

LSM Migrant CARE, Alex Ong, menyebut pembebasan Ambika sebagai kegagalan dalam penegakan keadilan.

"Itu kegagalan menegakkan keadilan, hanya karena proses teknis dan prosedur yang terkait dengan masalah dalam penyidikan," ujarnya kepada BenerNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.