Forensik AS Konfirm Johannes Marliem Bunuh Diri
2017.08.14
Jakarta

Kantor forensik dan autopsi Los Angeles, di Amerika Serikat (AS), wilayah dimana Johannes Marliem - seorang saksi skandal korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) ditemukan tewas, mengonfirmasi kematian laki-laki asal Indonesia tersebut sebagai bunuh diri.
“Dia meninggal karena luka tembakan yang ditimbulkan sendiri,” kata Brian Elias, kepala hubungan masyarakat kantor forensik dan autopsi Los Angeles kepada BeritaBenar, Senin, 14 Agustus 2017.
“Dia menggunakan pistol. Dia dinyatakan meninggal pada 10 Agustus pukul 00.45, namun dia telah dibarikade sejak malam sebelumnya, pada tanggal 9… Dia ditemukan terbaring di lantai dengan pistol di sisinya,” tambah Brian.
Ditanya apakah kematiannya berhubungan dengan investigasi kasus korupsi e-KTP di Indonesia, Brian mengaku tidak mengetahui pasti.
“Tampaknya memang ada investigasi yang sedang dilakukan oleh FBI (Biro Investigasi Amerika), tapi apakah itu berkaitan dengan kasus di Indonesia, saya tidak tahu. Kami tidak memiliki informasi yang mengatakan bahwa ini secara khusus memiliki hubungan dengan Indonesia.”
Pendapat senada juga disampaikan oleh juru bicara FBI Los Angeles, Laura Eimiller.
“Saya tidak tahu dari mana sumbernya (kaitan dengan penyelidikan atas kasus di Indonesia. Saya tidak bisa mengonfirmasi atau menyangkal informasi itu,” kata Laura, “saya hanya mengonfirmasi bahwa FBI mengeluarkan peringatan penyelidikan (kepada Marliem) sehari sebelumnya.”
Tak ada kendala
Sementara itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan penyidikan kasus korupsi e-KTP tidak akan terkendala dengan tewasnya Marliem.
"Tak ada kendala. Penyidikan akan terus berjalan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, kepada BeritaBenar, Senin.
Menurut Febri, penyidik KPK tak semata-mata mengandalkan keterangan Marliem dalam membongkar dugaan korupsi proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
Namun, ia tak memungkiri Marliem memang mengetahui beberapa informasi terkait skandal korupsi yang diduga melibatkan sejumlah politisi dan mantan pejabat negara.
Marliem sebelumnya ramai disebut sebagai saksi kunci dalam kasus yang diperkirakan merugikan negara Rp2,3 triliun itu.
Semua bermula dari pernyataannya dalam wawancara dengan Tempo yang mengaku ia memiliki 500 gigabita data rekaman percakapan suara pertemuan sejumlah tokoh, termasuk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 17 Juli lalu.
Data rekaman tersebut dikumpulkan Marliem sepanjang periode pembahasan proyek yang berlangsung selama empat tahun.
“Tujuannya cuma satu: keeping everybody in honest," kata Marliem dalam wawancara tersebut.
Ditanya apakah penyidik KPK telah memiliki data rekaman 500 gigabita yang disebut Marliem, Febri enggan merinci lebih lanjut. Ia pun menolak pelabelan saksi kunci yang disematkan kepada Marliem.
“Tak ada istilah kami saksi kunci. Saat menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka, itu juga tak semata-mata mengandalkan keterangan Marliem,” jelas Febri.
"Saksi sangat banyak. Di persidangan (dengan terdakwa Irman dan Sugiharto) saja ada 110 orang.”
Selain Novanto, KPK telah menetapkan kompatriotnya di Partai Golkar, Markus Nari, sebagai tersangka korupsi kasus e-KTP. Markus sebelumnya juga ditetapkan sebagai tersangka penghalang penyidikan perkara korupsi usai menekan rekannya di DPR, Miryam Haryani.
Miryam telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi keterangan palsu, saat menjadi saksi di persidangan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman dan Sugiharto.
Dua nama terakhir telah divonis masing-masing tujuh dan lima tahun penjara atas keterlibatan dalam korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 20 Juli 2017.
Adapun satu tersangka lain yaitu pengusaha rekanan Kemendagri, Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, Senin.
Banyak peran
Nama Marliem menyeruak setelah berulang kali disebut dalam persidangan Irman dan Sugiharto, sebagai salah satu pihak yang disebut merekayasa proyek e-KTP.
Marliem ialah Direktur Biomorf Lone LLC, yang dalam proyek e-KTP kebagian mengurus Automated Finger Print Identification System (AFIS).
Marliem disebut aktif menghadiri beberapa kali pertemuan pembahasan proyek sejak awal.
Ia juga disebut pernah menyaksikan pemberian uang sebesar USD200 ribu dari Andi Agustinus kepada Sekretaris Kemendagri, Diah Anggraini.
Soal peran ini, jaksa KPK sempat berniat mendatangkan Marliem sebagai saksi dalam persidangan Irman dan Sugiharto, tapi dia tak pernah datang.
Sisakan kejanggalan
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar, kepada wartawan, Minggu, menilai kematian Marliem sebagai perihal yang tak wajar sekaligus bentuk hadangan pengusutuan perkara korupsi e-KTP.
"Wafatnya seseorang memang tak bisa diprediksi. Tapi jika dilihat dari momennya, ada semacam kejanggalan," kata Aradila.
Makanya, ICW pun meminta KPK bisa turut serta terlibat dalam pengusutan kematian Marliem. Agar semua terang benderang.
Soal desakan ICW agar KPK ikut terlibat, Febri hanya memberi jawaban, "Penyelidikan (kematian Marliem) itu domain otoritas hukum di sana (AS).”
Hal sama disampaikan juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Rikwanto. Ia menyebut penyidikan kematian sepenuhnya berada di tangan otoritas keamanan Amerika.
"Kecuali otoritas di sana meminta bantuan kami, baru kami bisa masuk," katanya kepada BeritaBenar.
Status kewarganegaraan Johannes Marliem sendiri kini masih abu-abu. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Sabtu pekan lalu di laman Kumparan sempat mengatakan bahwa Marliem telah beralih menjadi warga negara Amerika Serikat sejak Oktober 2014.
Namun juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir lewat keterangan tertulis yang diterima BeritaBenar, Senin, mengatakan sebaliknya. Menurutnya, kementerian sampai saat ini masih mendalami status kewarganegaraan Marliem.
Roni Toldanes di Washington DC turut berkontribusi dalam artikel ini.