Jokowi: Eksekusi Mary Jane Tetap Sesuai Proses Hukum
2016.09.13
Jakarta

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan, ia tidak menyalahartikan ucapan Presiden Filipina Rodrigo Duterte terkait terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso, yang terlibat kasus penyelundupan narkoba ke Indonesia.
Penegasan itu dikatakannya menyusul bantahan dari Manila yang menyebutkan bahwa Duterte tidak pernah berkata kepada Jokowi untuk mempersilakan eksekusi mati Mary Jane, yang ditunda pada menit-menit terakhir menjelang eksekusi, 29 April 2015.
“Presiden Duterte kan menyampaikan bahwa silakan diproses sesuai hukum yang ada di Indonesia, iya kan? Ya sudah. Artinya kan sudah jelas seperti yang saya sampaikan kemarin,” ujar Jokowi usai meresmikan pengoperasian Terminal Petikemas Kalibaru Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa, 13 September 2016.
Sehari sebelumnya, Jokowi mengaku sudah berdiskusi dengan Duterte mengenai nasib Mary Jane dalam pertemuan mereka di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat pekan lalu.
“Saya sampaikan tentang Mary Jane dan saya bercerita bahwa Mary Jane itu membawa 2,6 kilogram heroin,” kata Jokowi seperti dikutip dari Setkab.go.id.
Jokowi juga bercerita pada Duterte soal penundaan eksekusi Mary Jane. Tapi, Duterte malah mempersilakan Pemerintah Indonesia untuk mengeksekusinya.
“Presiden Duterte saat itu menyampaikan silakan kalau mau dieksekusi,” kata Jokowi usai melaksanakan shalat Idul Adha di Serang, Banten.
Bantahan Menlu Filipina
Beberapa saat setelah pernyataan Jokowi, Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto R. Yasay dalam pernyataan tertulis mengatakan bahwa Duterte tak pernah memberikan lampu hijau untuk eksekusi Mary Jane.
Menurut Yasay, Duterte hanya mengatakan bahwa dia menghormati proses hukum di Indonesia dan akan menerima apapun hasil keputusannya. Yasay juga mengatakan eksekusi Mary Jane telah ditunda tanpa batas waktu.
Mary Jane tertangkap membawa 2,6 kilogram heroin di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, April 2010. Majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman memvonisnya dengan hukuman mati pada Oktober tahun yang sama.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Muhammad Rum, mengatakan eksekusi Mary Jane masih ditunda sambil menunggu proses hukum yang sedang berlangsung di Filipina selesai.
Keterangan Mary Jane dibutuhkan dalam proses hukum yang menjerat Maria Cristina Sergio yang diduga merekrutnya dan memasukkan heroin ke dalam koper Mary Jane.
“Kita terus berkoordinasi dengan pihak Filipina karena kasus di sana masih berjalan dan belum ada putusannya,” ujar Rum kepada BeritaBenar, Selasa, 13 September 2016.
Dia menambahkan bahwa Mary Jane sudah menggunakan semua hak hukumnya untuk mengupayakan eksekusinya dibatalkan.
“Apa yang kita laksanakan adalah sesuai aturan hukum. Kami berterima kasih kepada Filipina yang sudah menghormati hukum kita, sebagaimana kita juga menghormati hukum di sana,” ujar Rum.
Kontraproduktif
Aktivis buruh migran yang ikut memperjuangkan penundaan ekseksusi Mary Jane, Anis Hidayah menyayangkan “perang penyataan” antara kedua presiden karena menjadi kontraproduktif, apalagi menyangkut nyawa seseorang.
“Seharusnya Jokowi tidak usah memberikan pernyataan seperti itu. (Pihak keluarga) yang mendengarnya pasti sedih dan kaget,” ujar Anis kepada BeritaBenar.
Ketua kelompok advokasi buruh migran Migrant Care ini juga meragukan ada seorang presiden yang mempersilakan negara lain untuk mengeksekusi warganya, walaupun pemerintahan Duterte saat ini melakukan pembunuhan ekstra judisial dalam perang melawan narkoba yang telah merenggut hampir 3.000 nyawa dalam dua bulan terakhir.
Anis mendesak Jokowi untuk tidak mengeksekusi Mary Jane dan memberinya grasi. “Apalagi ada unsur lain terkait Mary Jane sebagai korban perdagangan manusia,” ujar Anis.
Sementara itu, Daniel Awigra, manajer program ASEAN di Human Rights Working Group (HRWG) menegaskan, pernyataan Jokowi dapat dikategorikan “penyiksaan psikologis” yang dilarang dalam Konvensi Anti Penyiksaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang sudah diratifikasi Indonesia.
Selain itu, perlindungan hak asasi korban perdagangan manusia dan tidak semata-mata melihat pelanggaran imigrasi atau hukum oleh korban perdagangan manusia, adalah dasar Konvensi ASEAN mengenai Perdagangan Manusia (ACTIP), ujar Daniel.
ACTIP sudah ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, akhir 2015 lalu. Indonesia dan Filipina belum meratifikasinya dan baru tiga negara ASEAN, yaitu Kamboja, Singapura, dan Thailand, yang meratifikasinya dalam semester pertama 2016.
“Walau Indonesia dan Filipina belum meratifikasi ACTIP, kondisi Mary Jane yang korban perdagangan manusia seharusnya menjadi pertimbangan. Mary Jane seharusnya dilindungi, tidak bisa dihukum apalagi dieksekusi,” ujar Daniel kepada BeritaBenar.
Dalam banyak kasus perdagangan manusia, lanjutnya, perempuan selalu menjadi kelompok yang paling rentan diperdaya sebagai kurir narkoba. Indonesia dan Filipina harus bekerja lebih kuat untuk membongkar kejahatan multinasional yang teroganisir ini.
“Mengeksekusi Mary Jane sama saja dengan membunuh pembawa pesan, tapi menutup mata terhadap rantai utama kejahatan. Hukuman mati tidak pernah menyasar bos besarnya namun selalu kena kurir yang diperdaya untuk membawa narkoba,” ujar Daniel.
“Penjahat pajak saja diampuni, mengapa korban perdagangan manusia tidak?” tambahnya, merujuk pada program pengampunan pajak bagi para konglomerat pengemplang pajak yang menimbun hartanya di luar negeri.