Nasib Media Cetak di Indonesia

Zahara Tiba
2015.12.31
Jakarta
media-620 Seorang perempuan sedang membaca The Jakarta Globe di Jakarta, 28 Desember 2015. Edisi cetak harian berbahasa Inggris dinyatakan tutup 15 Desember 2015 lalu dan fokus untuk mengembangkan portal beritanya.
BeritaBenar

“Kira-kira gimana nasib kita?”, ujar seorang pria di lobi kantor sebuah surat kabar nasional siang itu.

“Tidak usah khawatir, tetap akan makan esok hari. Rejeki tidak akan tertukar,” ucap rekannya menanggapi.

Percakapan itu terjadi menjelang peristiwa besar yang akan menimpa perusahaan tersebut, yakni Sinar Harapan.

Pada 25 November lalu, manajemen harian yang terbit setiap sore mengumumkan akhir koran tersebut. Sinar Harapan akan mengeluarkan edisi terakhir harian pada 31 Desember 2015 sebelum pamit mundur dari pemberitaan nasional.

Tak hanya surat kabar, manajemen juga memutuskan tak melanjutkan lagi portal berita media tersebut. Buntutnya, pemutusan hubungan kerja massal pun tak terelakkan.

Selain konflik internal, investor memutuskan untuk menutup media massa yang kembali terbit 2001 lalu setelah dibreidel tahun 1986. Alasan lain karena semakin langkanya bahan baku kertas. Hal ini dipicu harga kertas yang terus melonjak.

Kematian Sinar Harapan menyusul media-media cetak lain yang lebih dulu menemui ajal tahun ini, seperti Harian Bola dan harian berbahasa Inggris The Jakarta Globe. Hanya saja manajemen The Jakarta Globe memilih untuk melanjutkan tren sedang yang berkembang saat ini, yaitu digital.

Tahun lalu, beberapa media nasional juga gulung tikar, seperti Jurnal Nasional yang belum genap berusia satu dekade. Tahun 2009, Indonesian Business Today juga tutup setelah menjalankan bisnisnya kurang dari setahun. Kematian media cetak memang telah diprediksi seiring pesatnya perkembangan peralatan telekomunikasi dan akses internet.

“Akibat kelangkaan kertas, bahan baku makin mahal. Sejak awal 2000-an dunia mendukung kampanye green industry (industri hijau) Tidak disangka ini menggerus industri media, padahal media sendiri yang menggembar-gemborkan pertarungan ekonomi dan lingkungan,” jelas Rikando Somba, Pemimpin Redaksi Sinar Harapan.

Dia menambahkan industri surat kabar di Asia, termasuk Indonesia, baru merasakan dampaknya dalam dua tahun belakangan ini karena Asia sebagai pusat industri pulp and paper.

“Apa yang ditanam dan dituai tidak equivalent (setara). Harga kertas makin mahal dan tipenya semakin terbatas. Ada ide menggunakan recycled paper, tapi tak mampu mengimbangi. Akhirnya memaksa efisiensi,” ujarnya kepada BeritaBenar, Senin 28 Desember.

Gempuran media digital

Ekonomi dunia yang tengah terpuruk juga memaksa para pengiklan memangkas biaya promosi. Padahal, kata Rikando, hidup mati industri media, terutama surat kabar, sebagian besar pendapatannya bersumber dari iklan.

Kecanduan orang akan dunia maya, termasuk media digital, yang makin berkembang seiring dengan bervariasinya peralatan komunikasi elektronik dan akses internet juga mempengaruhi. Akhirnya orang mulai meninggalkan media cetak karena informasi bisa diakses dari genggaman.

“Saya pernah bertanya kepada seorang teman yang juga pemimpin redaksi sebuah portal berita dan saya terkejut. Biaya cetak kami yang sekitar Rp. 600 juta sebulan bisa untuk menghidupi media online sebulan. Sementara total pengeluaran kami mencapai Rp 1,8 hingga Rp 2,4 miliar perbulan,” ujar Rikando yang mengaku turut memperkenalkan media online di Indonesia pada akhir 90an.

Akibat gempuran media digital, Rikando memperkirakan oplah Sinar Harapan yang pernah mencapai 100 ribu perbulan sejak kembali terbit, turun menjadi maksimum 40 ribu saja.

Dia berharap ke depan investor bisa mempertimbangkan untuk menghidupkan lagi Sinar Harapan. Tentu saja dengan mengikuti tren dunia.

“Kami berharap Sinar Harapan berubah jadi media digital, sementara surat kabar jadi produk sekunder. Kalau kita terbit lagi, kita butuh reshaping dan reinventing. Saya optimisi ke depannya bisa, karena investor kami tidak kekurangan uang. Ini hanya overhaul,” jelasnya.

Jumlah pembaca turun

Naiknya tren media online yang berpengaruh terhadap penurunan jumlah pembaca media cetak juga diamini Ketua Bidang Pendidikan Serikat Perusahaan Pers, Toriq Hadad.

Menurut dia, kenaikan pembaca media online cukup signifikan, mulai dari 50 persen hingga lebih dari 100 persen setiap tahun.

Hanya saja, ujarnya, kenaikan jumlah pembaca belum tentu sejalan dengan kenaikan pendapatan iklan dan sirkulasi digital atau pembaca berbayar.

“Kenaikan pendapatan iklan media online di Indonesia belum tentu sepesat kenaikan jumlah pembacanya. Orang masih membaca secara gratis,” ujar Toriq yang juga menjabat Corporate Chief Editor PT. Tempo Inti Media, Tbk.

“Saat ini jika dibandingkan pendapatan media online dan cetak masih 1:10. Kami di Tempo menyadari kondisi demikian dan merasa wajib untuk mempertahankan kelangsungan hidup media cetak dengan segala cara, baik perbaikan konten, jalur distribusi dan sirkulasi, hubungan dengan agen, biro iklan dan klien. Pendapatan di media cetak masih besar untuk dibiarkan begitu saja,” tambahnya.

Bahkan, lanjut Toriq, saat ini beberapa media tanah air tengah menikmati oversupply kertas dunia yang memaksa harga kertas turun.

“Saya tidak tahu apakah ini dampak dari pengurangan oplah. Mungkin di Eropa sudah terjadi shifting pembaca yang cukup besar, dari platform cetak ke online. Memang ada penurunan, tapi di Asia justru malah naik terutama di India dan Cina. Yang jelas kami di Tempo saat ini sedang menikmati harga kertas menurun,” tutur Toriq kepada BeritaBenar.

Dalam lima tahun terakhir ini, tambahnya, Tempo terus menggenjot media online sehingga suatu saat nanti bisa menggantikan peran media cetak.

“Setiap jurnalis kami bertanggung jawab dalam mengisi konten koran atau majalah dan online,” jelasnya.

Toriq menegaskan pada akhirnya sepanjang sebuah media mampu menjaga kualitas konten berita dan kredibilitas, tentu akan menentukan nasib media itu, terlepas apapun bentuk platformnya.

“Media cetak tidak akan mati, karena tetap memiliki pasar sendiri,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.