Tempo dan Tirto Laporkan Kasus Peretasan Situs Mereka ke Polisi

Menkominfo mengatakan akan tindaklanjuti laporan itu, dan meminta publik tidak membuat tuduhan tak berdasar.
Ronna Nirmala
2020.08.25
Jakarta
200825_ID_Media_1000.jpg Pemimpin redaksi Tirto.id Atmaji Sapto Anggoro dan Pemimpin Redaksi Tempo.co, Setri Yasra (masing-masing ketiga dan keempat dari kiri) usai melaporkan kasus peretasan ke Polda Metro Jaya, 25 Agustus 2020.
Dok. LBH Pers

Dua media daring berbasis di Jakarta, Tempo.co dan Tirto.id, Selasa (25/8), melaporkan kasus peretasan yang diduga terkait pemberitaan tentang cara pemerintah menangani pandemi COVID-19 kepada Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya dan meminta pihak berwajib untuk segera mengungkap pelaku, demikian pernyataan kuasa hukum kedua media.

Pada Jumat (21/8) dini hari, layar situs milik Tempo.co berubah menjadi hitam dan terdengar lagu Gugur Bunga selama 15 menit. Dalam layar tersebut juga termuat tulisan “Rakyat Indonesia, kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi Dewan Pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok."

Ketika tulisan itu diklik, maka layar langsung menuju ke laman milik akun anonim, @xdigeeembok.

Pada hari yang sama, enam artikel yang telah tayang di Tirto.id tiba-tiba lenyap, dua di antaranya berjudul “Soal Obat Corona: Kepentingan BIN & TNI Melangkahi Disiplin Sains” dan “Berbagai Kejanggalan Obat Corona dari UNAIR, BIN dan TNI AD”.

“Sebagai orang yang rumahnya dibobol, saya merasa Tirto.id, yang tercatat adalah milik saya, telah diobrak-abrik oleh maling,” kata Atmaji Sapto Anggoro, pemimpin redaksi Tirto.id kepada jurnalis, Selasa, seraya menambahkan, “sebagaimana warga negara yang baik, saya melaporkan ke kepolisian untuk segera mengusut dan menemukan siapa pelaku kriminal yang sudah masuk dan merusak artikel yang ada di dalamnya.”

Kuasa hukum kedua media, Ade Wahyudin, meminta kepolisian untuk bergerak cepat dalam melakukan penyelidikan, menelusuri bukti-bukti untuk menemukan dan sekaligus memproses hukum pelaku kriminal.

Ade, yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, mengatakan kepolisian perlu cepat merespons laporan ini, terlebih peretasan hanya menyasar pada hal-hal yang sifatnya mengkritik pemerintah.

“Kami ingin kepolisian serius menanggapi laporan klien kami untuk membuktikan bahwa Negara hadir melindungi hak-hak warganya,” kata Ade, melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Selasa.

“Ini adalah ancaman terhadap kebebasan pers yang serius dan bisa berdampak pada demokrasi kita,” tambah Ade.

International Federation of Journalists (IFJ), perserikatan jurnalis global, menyampaikan keprihatinannya atas serangan digital yang bertujuan membatasi kerja jurnalistik dan mendesak pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh.

“Serangan siber ini menghambat kebebasan pers dengan menciptakan iklim ketakutan yang dapat mengarah pada swasensor,” kata IFJ dalam pernyataan resminya, Selasa.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya ada dua media daring lain yang juga mengalami peretasan pada hari yang sama dengan penyerangan terhadap Tempo.co dan Tirto.id, namun pihaknya tidak bersedia untuk diungkap ke publik.

Setri Yasra, pemimpin redaksi Tempo.co, menduga peretasan terjadi bukan hanya karena pemberitaan terkait obat COVID-19 yang diracik Universitas Airlangga bersama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI Angkatan Darat saja.

Pihaknya turut menduga peretasan terjadi karena Koran Tempo, juga bagian dari Tempo Media Group, memberitakan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut negara menghabiskan sedikitnya Rp90,4 miliar untuk membayar pendengung alias buzzer untuk mempromosikan RUU Cipta Kerja yang masih menjadi kontroversi di masyarakat.

“Upaya peretasan sudah sering kami terima, tapi ini menjadi spesial karena adanya rangkaian peristiwa,” kata Setri dalam diskusi daring, Minggu.

“Akun yang sebetulnya mempersoalkan liputan Koran Tempo soal pesohor yang mengkampanyekan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, itu dia yang mengabarkan (peretasan),” sambungnya.

Kuasa hukum dan pelapor berharap pelaku dikenai hukuman penjara paling lama dua tahun atau denda Rp500 juta karena melanggar UU Pers, demikian merujuk berkas pelaporan polisi yang diterima BenarNews.

Kominfo janji beri bantuan

Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, mengatakan pihaknya akan memberi bantuan kepada Tempo.co dan Tirto.id dalam hal melakukan evaluasi sistem keamanan siber pada kedua situs tersebut bersama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

“Selama sudah dilaporkan ke kepolisian, maka kami bisa menindaklanjutinya. Peretasan Tempo.co merupakan tindakan kriminal siber karenanya harus dilakukan penegakan hukum,” kata Johnny, kepada BenarNews.

Juru bicara BSSN, Anton Setiawan, mengatakan pihaknya tidak bisa melakukan penyelidikan atas kasus ini karena menjadi ranahnya kepolisian. Kendati demikian, Anton meminta media untuk memperbaiki sistem keamanan pada situsnya sehingga tidak mudah menjadi korban peretasan pihak tak bertanggung jawab.

“BSSN tentunya menyesalkan hal ini,” kata Anton melalui pesan singkat, Selasa. “Media agar menjaga sistem informasi mereka dengan baik, mengikuti panduan yang sudah dikeluarkan oleh BSSN,” tambahnya.

Sementara itu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengatakan serangan digital yang berhubungan dengan kritik kepada pemerintahan saat menangani pandemi COVID-19 tak hanya dialami media saja.

Akun Twitter milik Pandu Riono, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, juga diserang oleh peretas pada Sabtu (22/8). Penyerangan terjadi usai Pandu mengkritik pengembangan obat COVID-19 yang dilakukan TNI AD dan BIN bersama Universitas Airlangga yang disebutnya tidak transparan dan menyalahi kaidah keilmuan.

Pandu mengaku tidak ingin mempersoalkan masalah peretasan tersebut lantaran dirinya kini telah membuat akun baru lagi.

“Apa gunanya meretas? Lebih baik berdiskusi dan berdialog. Saya selalu mengatakan bahwa musuh kita adalah COVID-19, bukan saya,” kata Pandu kepada BenarNews.

Amnesty International Indonesia mengatakan sejak Februari hingga 11 Agustus 2020, telah terjadi setidaknya 35 kasus dugaan intimidasi dan serangan digital terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.

“Kami memandang kasus peretasan ini sebagai pembungkaman kritik. Jika ini benar, maka jelas pelanggaran HAM telah terjadi,” kata Usman Hamid, pimpinan Amnesty International Indonesia dalam keterangan tertulisnya.

“Jika terbukti pelaku adalah bagian dari otoritas negara, maka tidak boleh ada impunitas hukum,” tambahnya.

Sementara itu, Menkominfo meminta publik tidak membuat tuduhan tak berdasar dengan menyebut peretasan sebagai upaya negara untuk membungkam kebebasan berpendapat.

“Kriminal siber ini terjadi di beragam platform digital; bisnis online, situs pemerintahan juga kena, tidak cuma media. Jangan membuat tuduhan yang berdasar pada asumsi,” tukas Johnny.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.