Pemerintah Akan Memblokir Media Yang Mempromosikan Terorisme
2015.03.11
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akan membentuk panel khusus untuk memblokir media yang memuat nilai-nilai radikal, sementara itu pemimpin ulama berkata bahwa setiap warga harus hati-hati dalam memberikan stigma radikal.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan bahwa panel yang akan dibentuk ini akan menjadi penentu situs radikal, acara TV dan radio yang perlu diblokir dalam rangka pencegahan radikalisme.
"Kita akan membicarakan masalah ini dengan sejumlah tokoh agama pada akhir bulan ini, dan kami berharap dalam pertemuan ini kita bisa mempunyai daftar situs atau siaran yang perlu diblokir pada pertengahan tahun," katanya kepada The Jakarta Post tanggal 11 Maret.
Rudiantara mengatakan bahwa tujuan pemblokiran ini adalah untuk mencegah maraknya kebencian, paham radikal serta aksi terorisme di Indonesia.
Di dalam panel tersebut diantaranya adalah tokoh Nadhlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Solah, adik dari “Bapak Pluralisme Indonesia” dan mantan Presiden, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ketua Muhammadiyah yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, juga akan menjadi anggota panel ini.
Sikap NU dan Muhammadiyah jelas mendukung sepenuhnya ide dari Kementerian.
Selain Gus Solah, tokoh NU lainnya, Slamet Effendy Yusuf, juga menyatakan dukungannya terhadap usaha pembatasan media ini karena mengingat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh arus informasi yang salah, terutama media yang menunjukkan simpati mereka terhadap the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
"Kami menemukan bahwa masih ada beberapa siaran radio, TV, dan situs internet yang bisa menyebabkan tumbuhnya rasa kebencian. Ada juga sejumlah media yang memberikan simpati kepada kelompok teroris ISIS," kata Slamet.
Aktivis Muhammadiyah Nadjamuddin Ramly memberikan komentar yang sama.
Dia memuji rencana dari Rudiantara, tetapi Nadjamuddin juga memperingatkan agar jangan membabi buta memblokir semua situs web yang dianggap "radikal."
"Karena itu sangat penting agar kita mempunyai pandangan yang sama tentang isi dan jenis berita apa yang harus diblokir," katanya seperti dikutip oleh The Jakarta Post.
Stigma “Radikal”
Sebelumnya dalam kesempatan yang berbeda Gus Soleh mengatakan agar semua pihak berhati-hati untuk memberikan stigma radikal.
Pernyataan Gus Soleh adalah sebagai respon terhadap hasil penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelejen Negara, dan Densus 88 yang mengatakan bahwa 30 pondok pesantren (ponpes) masuk dalam katagori radikal.
“Jadi yang dianggap radikalisme itu bagaimana? Apa jalan pikirannya, agamanya, hukumannya? Atau politiknya? Atau kebijakannya?” katanya seperti dikutip oleh Portal Tribuneislam.
Gus Solah, yang juga pimpinan Ponpes Tebuireng di Jombang, mengatakan bahwa dia tidak menemukan ponpes di Jombang yang termasuk dalam katagori radikal.
Pimpinan NU ini juga menambahkan bahwa kemungkinan observasi BNPT atau observasinya mungkin salah, tetapi dia menegaskan, “setahu saya tidak ada,” katanya kepada Republika tanggal 9 Maret lalu.