Menangkal Paham Radikalisme dalam Penjara

Pengamat terorisme mengatakan pencampuran narapidana terorisme dengan napi lain memudahkan pengkaderan dalam penjara.
Eko Widianto
2018.06.07
Malang
180607_ID_inmate_1000.jpg Abdurrahman Taib berceramah di hadapan narapidana di Lapas Lowokwaru Kota Malang, Jawa Timur, 6 Juni 2018.
Eko Widianto/BeritaBenar

Penjara berpotensi jadi tempat subur bagi penyebaran paham radikal karena narapidana terorisme (napiter) leluasa menyebarkan paham yang dianutnya ke narapidana (napi) lain, demikian pengakuan seorang mantan napi teroris.

Di depan ratusan napi pada pertengahan minggu ini, Abdurrahman Taib, mantan napiter itu mengaku menyebarkan paham yang diyakininya kepada napi lain saat ia meringkuk di Lapas Merah Mata, Palembang, Sumatera Selatan beberapa tahun lalu.

Ia merangkul mereka agar melakukan aksi teror saat mereka bebas, akunya.

“Kebanyakan napi teroris pasti akan memberi pengaruh kepada napi lain. Apalagi semangatnya berdakwah dan berjihad,” katanya di Lapas Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, Rabu, 6 Juni 2018.

Sebagian besar narapidana, menurutnya, tak memiliki pemahaman Islam memadai sehingga mudah didoktrin dengan ideologi jihad.

Tapi, usaha Taib tak berlangsung lama karena saat di penjara malah menjadi titik balik baginya.

Itu berawal ketika Kepala Lapas Merah Mata saat itu, Farid Junaedi mendekati dan menyentuh hatinya.

Farid belajar Alquran kepada Taib. Ternyata Farid mengamalkan ilmu yang diperolehnya dengan membaca sehari satu juz. Sementara Taib mengaku tak bisa mengamalkan, sehingga mengubah keyakinan dan pandangannya.

Sebelumnya banyak tokoh agama berusaha meluluhkan keyakinannya tapi selalu gagal.

“Napi terorisme semakin ditekan akan semakin militan. Pendekatan dari hati ke hati, dialog dan dimanusiakan,” ujarnya.

Taib mengaku piawai meracik bom setelah berguru pada Noordin M. Top – gembong teroris asal Malaysia yang tewas dalam penyergapan di Surakarta, Jawa Tengah, pada 17 September 2009.

Taib memproduksi 25 buah bom Tupperware dan bom pipa untuk meledakkan sebuah café di Bukittinggi, Sumatera Barat, yang dikendalikan dari jarak jauh.

Namun aksi itu dibatalkannya setelah ada perempuan berjilbab masuk ke café.

Lantas jaringan mereka terbongkar dan dia divonis hukuman 12 tahun penjara pada 2009.

Taib bebas bersyarat tiga tahun lalu, setelah menjalani hukuman selama tujuh tahun penjara.

Bersama 10 anggota jaringannya ia mengaku telah menjauhi dunia terorisme.

Kini, Taib berdagang makanan di Palembang dan terlibat dalam upaya menangkal pengaruh radikalisme, seperti yang dilakukan di hadapan 419 santri pesantren At-Taubah yang tak lain adalah penghuni Lapas Lowokwaru.

Memperdalam ilmu agama

Ratusan narapidana menyimak Taib, yang berkisah tentang terpapar paham radikalis lewat sebuah pengajian. Dia bertemu seorang teroris pelarian dari Singapura yang menghubungkan dengan Noordin M. Top.

Ia tak membantah ajaran yang diterima karena tidak memiliki bekal ilmu agama yang cukup.

“Pemahaman saya saat itu berjihad, mati sahid,” katanya.

Taib berharap kisah hidupnya menjadi pelajaran para napi yang jadi santri pesantren At-Taubah sehingga tak terperosok pemahaman jihad yang keliru.

Menurutnya, narapidana yang tengah mendalami ilmu agama rawan terpapar paham radikal. Untuk itu, perlu membentengi diri dengan ilmu agama memadai dari guru yang benar.

Pesantren At-Taubah menjadi tempat bagi narapidana mendalami ilmu agama. Setelah bebas, mereka diharapkan bisa mengamalkan agama kepada orang lain.

“Saat semangat menuntut ilmu belajar agama, jangan sampai ada yang memberi pemahaman salah,” kata Kepala Lapas Lowokwaru Malang, Farid Junaedi.

Di Lapas Lowokwaru dihuni dua narapidana terorisme, Eka Saputra dan Asmi Fuadi alias Anton.

Eka merupakan jaringan ISIS, sedangkan Asmi adalah anggota kelompok Ciputat, terlibat kasus ledakan bom Beji di Depok, Jawa Barat, tahun 2012.

“Pelan-pelan didekati dengan memberikan contoh dan perilaku yang baik,” ujar Farid seraya menyebutkan bahwa dirinya telah membekali diri dengan ilmu agama yang cukup.

Seorang napi, Rahmatullah, mengaku pernah mengalami seorang napiter berusaha mendoktrinnya dengan pandangan yang salah tentang jihad.

“Pertama saya didatangi napi teroris, saya minta menunjukkan bukti dan dalilnya ternyata tak bisa membaca Alquran,” katanya.

Narapidana yang menjadi santri Pesantren At-Taubah di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru Kota Malang, Jawa Timur, 6 Juni 2018. (Eko Widianto/BeritaBenar)
Narapidana yang menjadi santri Pesantren At-Taubah di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru Kota Malang, Jawa Timur, 6 Juni 2018. (Eko Widianto/BeritaBenar)

Penyebaran

Direktur Lingkar Perdamaian, Ali Fauzi Manzi, sependapat bahwa penjara jadi tempat penyebaran paham radikal. Bekas kombatan Moro, Filipina, ini menilai napiter yang dicampur memudahkan mereka melakukan pengkaderan dalam penjara.

"Lapas menjadi episentrum ekstrimisme, tak tepat menempatkan mereka bercampur dengan narapidana lain,” ujarnya.

Jika kasus terorisme menjadi kejahatan luar biasa seharusnya ditempatkan tersendiri dengan pengamanan lebih ketat. Jika dibiarkan semakin banyak napi terpapar radikalisme.

“Mereka melakukan pembinaan di dalam Lapas, transformasi ilmu kepada napi kasus pencurian dan sebagainya," ujarnya.

Napiter melakukan propaganda dalam penjara, sehingga sejumlah bekas narapidana bergabung jaringan terorisme.

“Napi dilatih di dalam penjara. Penjara menjadi tempat untuk menaikkan kasta,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.