Mengembalikan Karakter Komik Asli Indonesia

Heni Rahayu
2016.01.04
Malang
id-komik-1000 Sejumlah warga sedang menyaksikan pameran komik berjudul “Ngaji Komik Teguh” di gedung Dewan Kesenian Malang, 28 Agustus 2015.
BeritaBenar

Berambut gondrong dikuncir, memakai kacamata dan berjanggut tersenyum sembari membuka jaket di antara warna-warni dan kuas menempel di kaus. Itulah sampul komik "Teroris Visual" karya komikus Malang, Aji Prasetyo.

Wajah sampul komik mirip visual asli sang komikus.

Aji sengaja mengembangkan genre komik sendiri. Selain berisi gambar komik, dalam buku itu dilengkapi tulisan mengenai konteks cerita dalam komik. Teroris Visual terdiri dari enam bab. Setiap bab memiliki pesan berbeda.

Bab pertama misalnya, mengisahkan kegiatan orientasi mahasiswa baru yang dipenuhi unsur kekerasan sampai seorang calon mahasiswa tewas. Bab kedua, dibahas perempuan dalam perspektif agama, politik, feminisme, dan konteks perempuan di Indonesia.

Pada bagian pengantar, Aji menceritakan maraknya poster, baliho dan bilboard milik para calon legislator. Poster menjadi sampah visual, selanjutnya sejumlah masyarakat melakukan gerakan membersihkan poster dan spanduk tersebut.

Cerita dalam komik merupakan kisah nyata, pengalaman yang dialami Aji. Dia mengangkat beragam tema yang dikerjakan secara serius lewat riset mendalam dan kadang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Ia menggali sendiri genre komik sesuai kapasitas dan cirinya. Keaslian ide cerita ini pula yang mengantarkan Aji sebagai salah satu wakil Indonesia mengikuti Frankfurt Book Fair 2015.

"Komikus masa kini kehilangan karakter asli Indonesia karena mereka lebih berkiblat ke komik Jepang dan Amerika," katanya.

Keterbatasan literasi, menurut dia, menjadi penyebab utama komikus tak memiliki jati diri dan karakter. Sementara komik jaman dulu secara fisik terbatas, tapi tetap mengedepankan khas Indonesia.

"Ada mata rantai yang terputus antara komikus jaman dulu dan sekarang," ujar Aji kepada BeritaBenar, Sabtu 2 Januari.

Di era perkembangan teknologi sekarang, jelas Aji, komikus lebih memilih mempelajari karakter komik digital melalui internet. Sehingga, mereka terpengaruh dengan komik dari luar negeri.

Masalahnya, tak banyak karya maestro komik Indonesia yang telah dipindai berbentuk digital. Padahal, dulu sejumlah maestro komik berkarya dengan segala keterbatasan teknologi.

Ia memberi contoh komikus Teguh Santosa asal Kepanjen, Malang, yang mampu menghasilkan berbagai karya berkarakter. Teguh memulainya dengan riset visual dengan berkeliling museum.

"Seharusnya komikus sekarang malu, teknologi canggih tapi karya berkiblat ke luar negeri," ujar Aji.

Sementara Teguh mampu menghasilkan karya komik berkualitas. Hanya menggunakan pena dan spidol, Teguh membuat berbagai komik populer seperti Mahabharata, Bharatayudha, Dewaruci, Sang Garudha, Naga Taksasa, Banjaran Gatutkaca.

Belajar komik Teguh

Handoko adalah seorang komikus yang belajar pada Teguh. Handoko mengaku belajar banyak dari Teguh, mulai bentuk huruf untuk komik dan mencari karakter sendiri. Komik karya Teguh, katanya, sempat kehilangan karakter saat tulisan diganti mesin ketik.

"Pernah satu penerbit dengan Pak Teguh. Dia sosok guru dan panutan membuat komik," ujar Handoko.

Komik Baratayudha dan Mahabharata cetakan terbaru juga kehilangan karakter setelah sampul dikerjakan Apriyadi Kusbiantoro yang sering mengerjakan komik Marvel.

"Hilang gaya Teguh. Tapi tak bisa menghindar dari tuntutan pasar," ujar Handoko.

Teguh, tambah Handoko, bangga mempertahankan gaya dan tradisi Indonesia. Dia tak meniru gaya yang menggambar produk luar negeri. Ada memoar komik Indonesia masa lalu yang layak diapresiasi, jelas Handoko.

Komikus Bambang Priyadi (Eroest BP) yang sempat membantu Teguh berkarya mengatakan komik Teguh punya kandungan mistis. Teguh dikenal sebagai “The King of Darkness” atau Raja Kegelapan karena coraknya blok berwarna gelap dan karya-karyanya bernuansa magis.

"Dalam komiknya, Teguh tak sungkan mengumpat khas Jawa Timuran," ujar Bambang kepada BeritaBenar, Jumat 1 Januari.

Seorang ilustrator yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Iwan Gunawan menjelaskan ciri komik Teguh cenderung gelap dan terang. Gambar gelap dan terang ada dalam tokohnya dan sangat tegas. Dari segi visual banyak komikus yang menirukan gaya Teguh.

Ciri gelap dan terang seperti tergambar dalam komik Mat Pelor. Wajah tokoh utama terbentuk bayangan hitam. Wajah seluruh tokoh utama komik Teguh serupa. Ia secara konsisten memiliki gaya khas sendiri.

Komik Teguh bertahan cukup panjang mulai dari 1965 hingga 1990 an. Padahal, saat itu komik Indonesia tengah terpuruk dari serbuan komik Eropa dan Amerika terjemahan.

"Komik Teguh menjadi simbol perlawanan bagi komik Amerika dan Eropa," tutur Iwan sambil menambahkan komik Teguh memiliki pasar sendiri dan tersimpan dalam memori kolektif.

Dipengaruhi ketoprak

Dhany Valiandra (kanan) dan komikus Admiranto Wijayadi foto bersama di sela-sela pameran komik di gedung Dewan Kesenian Malang, 28 Agustus 2015. (BeritaBenar)

Putra kedua Teguh, Dhany Valiandra menuturkan bahwa saat berkarya, bapaknya dipengaruhi ketoprak. Pembabakan, alur cerita dan setting khas kesenian ketoprak. Teguh juga melakukan riset mendalam, termasuk membaca berbagai literatur untuk memperkaya ciri khas komiknya.

Belakangan, Teguh cenderung mengadaptasi komik dari berbagai film seperti “Godfather” dan “James Bond”. Setelah menonton film sambil mendengarkan soundtrack, imajinasinya melayang jauh. Teguh menjadi seorang pendongeng dalam sebuah komik, struktur cerita terpola layaknya film yang ditonton.

Komik “Pendekar Pilihan Dewa” salah satu contoh penggabungan imajinasi film mandarin “To Liong To”. Film silat yang diambil dari novel karangan Jin Yong ini dikawinkan dengan film “Star Wars”. Imajinasi fantasi perang bintang, kemudian diolahnya dengan narasi kejadian lokal yang bersetting kerajaan Paganpura saat diperintah Narasinga.

Dhany berjanji untuk membangkitkan kembali komik Indonesia dengan menggelar pameran karya Teguh secara rutin. Tahun ini, katanya, bakal digelar pameran komik nasional dengan mendatangkan para komikus luar negeri.

"Pemerintah kurang peduli untuk mengarsipkan karya komik masa lalu," ujarnya.

Sejumlah koleksi Teguh dibongkar dan dilakukan remastering. Dengan berbekal menggadaikan sepeda motor, remastering dilakukan secara digital. Prosesnya perlu waktu selama 2,5 tahun.

“Wasiat bapak, komiknya harus dijaga dan suatu saat bisa menjadi ilmu yang bermanfaat,” tutur Dhany.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.