Meningitis Babi Resahkan Warga Bali

Para pedagang babi serta Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bali mengampanyekan makan babi tetap aman selama diolah dengan baik.
Anton Muhajir
2017.03.22
Denpasar
170322_ID_Bali_1000.jpg I Ketut Jiwa menunjukkan babi yang dipeliharanya di Banjar Werdhi Sedana, Kabupaten Badung, Bali, 21 Maret 2017.
Anton Muhajir/BeritaBenar

Biasanya, menjelang hari raya di Bali akan mendatangkan banyak rezeki bagi I Ketut Jiwa. Tapi, tidak kali ini. Peternak di Banjar Werdhi Sedana, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, itu justru resah.

Selasa depan, 28 Maret 2017, Bali melaksanakan Nyepi, hari tahun baru umat Hindu Bali yang ditandai dengan terhentinya seluruh kegiatan di Pulau Dewata selama 24 jam. Setelah itu, pada 5 April 2017 ada Hari Raya Galungan. Sepuluh hari kemudian ada Kuningan, yang masih rangkaian Galungan.

Setiap perayaan hari raya, umat Hindu Bali tak bisa dilepaskan dari babi. Selain bagian dari upacara, daging babi juga menjadi menu keseharian warga Bali. Apalagi pada saat hari raya.

Namun, sejak pekan lalu muncul kasus penyakit Meningitis Streptococcus Suis (MSS) di Bali. Penyakit yang menular dari daging babi ke manusia, yang disebut meningitis babi ini, ditemukan pertama kali, hari Jumat, 10 Maret lalu. Belasan warga Desa Sibang Geda dan Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, Badung, masuk rumah sakit.

Setidaknya 19 warga mengalami demam dan pusing. Bahkan ada yang kejang-kejang. Mereka mengalaminya setelah makan olahan daging babi berupa lawar, kuah komoh, dan sate. Umumnya, olahan menggunakan daging babi setengah matang atau bahkan mentah.

Mereka dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mangunsada, Badung. Sampel darah dan cairan tulang belakang dibawa ke Laboratorium RSUP Sanglah di Denpasar.

Hasil pemeriksaan, petugas menemukan sampel itu positif mengandung bakteri MSS.

Kabar itu menyebar, termasuk kepada calon pembeli babi Ketut Jiwa.

“Dia membatalkan rencana membeli dua ekor babi saya. Katanya takut tertular penyakit meningitis babi,” kata Jiwa kepada BeritaBenar, Selasa, 21 Maret 2017.

Jiwa punya empat ekor babi. Umurnya antara 5-6 bulan, berarti sudah siap dijual. Harga babi dinilai dari beratnya, antara Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per kilogram. Seekor babi siap jual berkisar 120 kilogram seharga Rp3 juta.

Akibat munculnya kasus meningitis babi, bukan hanya Jiwa yang kehilangan pembeli. Menurutnya, para peternak lain di desanya juga mengalami hal serupa. Padahal, babi menjadi hewan ternak yang mereka budidayakan sebagai tambahan pendapatan.

“Dari 350 kepala keluarga, hampir 90 persen memelihara babi di rumahnya,” katanya.

Pembelian menurun

Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bali, I Putu Sumantra, tidak ada data pasti jumlah peternak babi di daerah itu. Namun, dia memperkirakan sekitar 60 persen keluarga di Bali pasti memelihara rata-rata dua ekor babi.

Sumantra menambahkan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan juga belum mendata jumlah kerugian. Namun, mereka sudah menerima banyak laporan dari berbagai daerah yang mengeluhkan menurunnya jumlah pembelian babi dan daging babi.

“Belum ada jumlah kerugian yang pasti, tapi kalau kondisi ini berlanjut pasti rugi,” katanya.

Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Denpasar, I Made Pung Rahman Adi mengatakan hal senada. Hingga kini, GUPBI belum mendata keseluruhan anggotanya yang mengalami kerugian.

Namun, lanjutnya, beberapa tempat pemotongan sudah melaporkan penurunan jumlah babi yang dipotong dari sebelumnya 10 ekor per hari menjadi 5 ekor.

“Pengaruh yang paling terasa ialah harga daging babi turun dari Rp25.000 per kilogram menjadi Rp23.000 per kilogram. Padahal, biasanya kalau mau hari raya justru naik,” katanya.

Cara penularan

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bali, I Ketut Suarjaya, menyatakan penyakit meningitis babi pernah ada di Bali sebelumnya. Berdasarkan catatan Dinkes Bali, dari 2014 sampai Desember 2016, ditemukan 21 kasus. Namun, kasus sekarang terlihat menonjol karena terjadi di satu lokasi dalam jumlah banyak.

Tahun ini, terdapat 39 kasus terduga terinfeksi MSS di Bali. Dari jumlah itu, empat orang positif mengalami MMS. Akibat penyakit ini, penderita bisa kejang-kejang, mengalami gangguan pendengaran, hingga vertigo. Tingkat kematiannya mencapai 26 persen dari jumlah kasus.

“Syukurnya sampai saat ini belum ada kasus kematian. Semoga tidak ada,” ujarnya.

Suarjaya menyatakan meningitis babi merupakan meningitis bakteri akut zoonosis yang menular dari babi ke manusia.

Caranya dari daging olahan yang mentah, seperti darah segar, usus, jeroan, dan daging terinfeksi. Bakteri juga bisa menular melalui luka lecet saat mengolah daging babi yang terinfeksi.

Bali menjadi provinsi rentan bagi penularan MSS karena tiga alasan. Pertama, banyak peternak babi rumahan. Kedua, warga terbiasa mengonsumsi babi. Ketiga, banyak jenis masakan menggunakan daging babi mentah.

Besarnya potensi penularan meningitis, para pihak terkait berusaha mengantisipasinya. Dinkes Bali, misalnya, mengadakan penyuluhan dan sosialisasi ke masyarakat melalui media dan datang langsung ke lokasi-lokasi rentan. Mereka juga mengampanyekan cara pencegahan penularan meningitis babi.

Adapun kalangan pedagang babi bersama Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bali mengampanyekan makan babi tetap aman selama diolah dengan baik. Rabu siang, 22 Maret 2017, ratusan orang ikut kampanye makan babi di depan kantor Gubernur Bali.

Para undangan menikmati empat ekor babi guling yang disediakan peternak babi dan pedagang babi guling.

“Mudah-mudahan setelah ini masyarakat Bali mau makan daging babi lagi seperti biasa agar peternak babi kembali menggeliat,” ujar Pung Rahman.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.