Menlu Indonesia Kunjungi Brunei, Galang Dukungan ASEAN untuk Myanmar

Respons anggota ASEAN beragam terhadap kudeta di Myanmar.
Ronna Nirmala
2021.02.17
Jakarta
Menlu Indonesia Kunjungi Brunei, Galang Dukungan ASEAN untuk Myanmar Orang-orang melepas burung merpati dalam sebuah unjuk rasa mengecam kudeta militer di Myanmar, di luar kedutaan besar negara tersebut di Jakarta, 5 Februari 2021.
Reuters

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pada Rabu (17/2) memulai rangkaian kunjungannya ke beberapa negara Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN) dalam rangka menggalang kesatuan suara atas krisis politik yang terjadi di Myanmar.

Dalam pertemuan dengan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah dan Menlu Dato Erywan Pehin Yusof, Retno menekankan pentingnya kontribusi ASEAN atas solusi terbaik bagi rakyat Myanmar dan juga membantu transisi demokrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. 

“Menyampaikan keprihatinan adalah satu hal. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dapat dilakukan Indonesia, dan ASEAN terutama, untuk membantu Myanmar keluar dari situasi yang rumit ini,” kata Retno dalam konferensi pers, Rabu.

Brunei Darussalam yang dalam tahun ini mendapatkan giliran mengetuai ASEAN menjadi negara tujuan pertama Retno dalam upaya diplomasi untuk Myanmar, sebut keterangan Kementerian Luar Negeri.

Awal Februari, militer Myanmar mendeklarasikan situasi gawat darurat selama satu tahun untuk menindak apa yang mereka klaim sebagai dugaan kecurangan pemilihan umum yang diadakan pada November tahun lalu. Militer menangkap sejumlah pejabat pemerintah termasuk Aung San Suu Kyi, pimpinan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai yang menang telak dalam pemilihan tersebut mengalahkan partai yang berafiliasi dengan militer.

Namun kudeta militer kedua di negara itu memunculkan reaksi beragam dari negara-negara anggota ASEAN. Filipina, Vietnam dan Thailand menyatakan tidak akan mencampuri urusan Myanmar. Sementara Indonesia, Singapura, dan Malaysia menyampaikan keprihatinan mendalam dan meminta semua pihak menahan diri sambil berupaya mencari solusi damai. 

Retno mengatakan ASEAN adalah mekanisme paling tepat dalam membantu Myanmar keluar dari krisisnya, dengan turut mengutamakan pendekatan konstruktif serta mematuhi prinsip tidak turut campur yang tertera dalam Piagam ASEAN. 

“Artikel 1 ayat 7 dari Piagam ASEAN Charter mengatakan ‘memperkuat demokrasi, meningkatkan pemerintahan yang baik dan supremasi hukum, dan mempromosikan dan melindungan hak asasi manusia and kebebasan dasar’,” sebut Retno.

“Artikel inilah yang dirujuk dalam statement Indonesia dan Ketua ASEAN menanggapi perkembangan situasi di Myanmar,” lanjutnya, merujuk pada pernyataan Sultan Bolkiah yang mendorong adanya pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN untuk membahas apa yang bisa dilakukan perhimpunan untuk Myanmar. 

Pada 11 Februari, Ketua ASEAN juga telah melakukan pertemuan virtual dengan Myanmar untuk mendengar langsung perkembangan situasi di sana. 

“Ketua ASEAN tentunya akan terus melakukan komunikasi dan konsultasi dengan negara anggota ASEAN yang lain. Sekali lagi mengenai apa yang dapat dilakukan ASEAN untuk membantu Myanmar,” kata Retno. 

Dorongan untuk menggelar pertemuan antar-diplomat ASEAN juga disampaikan dalam pertemuan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, dua pekan silam.

“Sebagai satu keluarga kita meminta dua Menteri Luar Negeri berbicara dengan Ketua ASEAN (Brunei) untuk menjajaki dilakukan pertemuan khusus menlu Asean mengenai perkembangan Myanmar,” kata Jokowi usai pertemuan dengan Muhyiddin.

Muhyiddin merespons usulan tersebut dengan mengatakan bahwa Malaysia juga “memandang serius” akan keadaan politik saat ini di Myanmar yang disebutnya sebagai kemunduran dalam proses demokrasi. 

Usai melakukan pertemuan di Brunei, Retno langsung terbang menuju Singapura untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan. “Indonesia akan melanjutkan upaya untuk berkontribusi mencari solusi yang terbaik bagi rakyat Myanmar dan bagi upaya menjaga stabilitas, keamanan, dan perdamaian kawasan,” tukas Retno. 

Diplomasi lain

Indonesia juga menjalin komunikasi dengan beberapa negara Asia Pasifik, Eropa maupun perwakilan PBB terkait situasi terkini di Myanmar, sebut Kementerian Luar Negeri. 

Rabu dini hari waktu Indonesia, Retno berbincang melalui sambungan telepon dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken yang di antaranya turut menyinggung kondisi di Myanmar.   

“Kedua pejabat menyampaikan kekhawatiran mendalam atas kudeta yang terjadi di Burma,” tulis Ned Price, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS dalam keterangan tertulisnya. 

Blinken juga menyepakati peran kunci ASEAN di kawasan Indo-Pasifik dan menggarisbawahi pentingnya melindungi serta menjaga Laut Cina Selatan sebagai perairan yang bebas dan terbuka, lanjut Price. 

Pada kesempatan itu, Indonesia menyampaikan apresiasi terhadap komitmen AS akan multilateralisme atas beragam isu di kawasan maupun global. “Kita juga melakukan tukar pikiran mengenai Palestina, Afghanistan dan perkembangan situasi di Myanmar. AS menghargai kepemimpinan Indonesia, baik untuk berbagai isu kawasan, maupun berbagai isu global,” kata Retno. 

Selain dengan AS, Retno juga menjalin komunikasi dengan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, Menlu India Subrahmanyam Jaishankar, Menlu Australia Marise Payne, dan Menlu Jepang Toshimitsu Motegi. 

Retno hanya menyebut para top diplomat dari negara-negara itu menyampaikan dukungan terhadap ASEAN atas upaya mencari solusi damai di Myanmar tanpa penjelasan lebih detail. 

Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden menandatangani perintah eksekutif untuk menjatuhkan sanksi kepada sepuluh pemimpin kudeta Myanmar berupa pembekuan aset keuangan maupun bisnis mereka dan keluarganya.

AS juga mengambil langkah dengan memblokir akses militer ke dana pemerintah Myanmar yang disimpan di AS senilai U.S.$1 miliar. Sanksi dijatuhkan pasca-insiden penembakan yang menewaskan seorang perempuan dalam aksi unjuk rasa menentang kudeta di Nay Pyi Taw. 

Menlu Inggris Dominic Raab, melalui akun Twitter miliknya, mengatakan pemerintahnya saat ini tengah meninjau langkah-langkah yang berkaitan dengan sanksi untuk Myanmar. 

Saat berbicara di hadapan Parlemen Singapura, Selasa, Menlu Singapura Vivian Balakrishnan mengungkapkan perkembangan yang mengkhawatirkan di Myanmar, namun tidak mendukung penerapan sanksi yang meluas terhadap negara itu karena hanya akan merugikan warga biasa.   

Balakrishnan mengatakan Singapura prihatin dengan terjadinya bentrokan dalam unjuk rasa, pemadaman jaringan internet, penangkapan pegawai sipil hingga penempatan pasukan dan kendaraan lapis baja di ruas jalan perkotaan.

Akan tetapi, pemberlakuan sanksi tidak tepat mengingat tingginya angka kemiskinan di sana. “Kita seharusnya tidak memulai sanksi yang meluas dan digeneralisasikan tanpa pandang bulu, karena orang yang paling menderita adalah rakyat biasa di Myanmar,” kata Balakrishnan, dikutip dari Reuters. 

Konsensus 

Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran di Bandung, Teuku Rezasyah, mengatakan langkah diplomasi yang dilakukan Menteri Luar Negeri saat ini sebagai upaya membangun konsesus dalam “melindungi” Myanmar dari tekanan yang begitu kencang dari negara-negara Barat dan juga menghindari semakin besarnya pengaruh Cina di negara itu. 

“Satu hal yang dikhawatirkan Indonesia adalah jika Myanmar yang saat ini sedang terpojok oleh Barat, memutuskan keluar dari ASEAN atau jatuh ke perahu Cina, karena negara-negara Asia Tenggara sepertinya tidak punya satu suara terkait situasi di sana,” kata Rezasyah saat dihubungi, Rabu. 

Rezasyah menyebut Indonesia adalah satu-satunya negara yang paling mengerti situasi yang terjadi di Myanmar, merujuk pada sejarah panjang kedua negara yang sama-sama pernah mengalami konflik militer dan sipil. 

“Hanya Indonesia yang bisa. Karena kita punya pengalaman tentang bagaimana berbicara dengan militer Myanmar. Kita tahu cara-cara pendekatan yang baik tanpa harus mempermalukan pihak-pihak di sana,” katanya.

Kendati ASEAN belum satu suara, Rezasyah berpandangan bahwa kesamaan sikap yang telah dijalin antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, cukup kuat untuk mendorong negara-negara anggota lainnya dalam menyusun draf konsensus terkait langkah apa yang akan diambil perhimpunan.

Indonesia juga bisa terus bergerak menjaring dukungan moral dari negara-negara di luar kawasan maupun perhimpunan seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan GNB (Gerakan Non-Blok) dengan turut menyinggung isu perlindungan etnis minoritas di Myanmar. 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.