Pengadilan militer vonis penjara seumur hidup anggota TNI pelaku mutilasi
2023.01.25
Jayapura dan Jakarta

Pengadilan Militer Tinggi Surabaya memvonis seorang mayor Angkatan Darat dengan pidana penjara seumur hidup atas perannya dalam pembunuhan berencana empat warga Papua yang mayatnya ditemukan pada Agustus tahun lalu, kata juru bicara Kodam Cendrawasih, Rabu (25/1).
Mayor Infantri Helmanto Fransiskus Dakhi merupakan salah satu dari enam anggota TNI yang ditangkap dalam kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil pada 22 Agustus tahun lalu di Nduga, Kabupaten Mimika, Papua, kata Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Kolonel Herman Taryaman kepada jurnalis.
"Bahwa sudah dilaksanakan sidang di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Selasa, dengan hasil Putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi Surabaya," kata Herman.
"Menyatakan terdakwa atas nama HFD (Helmanto Fransiskus Dakhi) bersalah dengan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana," kata Herman, mengutip putusan pengadilan. Sebagai hukuman tambahan, Helmanto juga dipecat dari TNI, tambahnya.
Empat tersangka lainnya yang merupakan anggota TNI– tiga prajurit satu dan satu prajurit kepala - akan diperiksa di pengadilan militer Jayapura pada Kamis.
Sementara itu, satu tersangka dari militer lainnya dengan pangkat kapten meninggal dunia di rumah sakit pada 24 Desember, kata Herman.
Polisi mengatakan 10 orang terlibat dalam kasus mutilasi itu; selain keenam anggota TNI tersebut terdapat juga empat warga sipil.
Menurut polisi, peristiwa ini bermula saat empat korban bertemu pelaku untuk membeli senjata jenis AK 47 dan FN di Timika dengan membawa uang tunai Rp250 juta.
Para pelaku ternyata tidak membawa senjata tersebut dan malah menembak korban demi mengambil uang korban, memutilasi tubuh mereka dan membuangnya ke sungai, kata kepolisian.
Helmanto atau Mayor Dakhi merupakan anggota TNI ketiga yang dihukum seumur hidup oleh pengadilan militer dalam kasus pembunuhan berencana sejak tahun lalu.
Pada bulan Juni 2022, Pengadilan Militer Jakarta menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Kolonel Priyanto karena membuang tubuh dua remaja ke sungai setelah mobilnya menabrak mereka di Jawa Barat akhir 2021.
Pada Desember, Pengadilan Militer Bandung menjatuhkan hukuman yang sama kepada prajurit bintara TNI AU Sersan Satu Agus Kustiawan yang terbukti membunuh seorang bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.
“Putusan yang baik”
Gustaf Kawer, kuasa hukum keluarga korban, mengatakan putusan hakim sudah tepat, sebab mempertimbangkan faktor sosiologis dan hak asasi manusia.
“Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya termasuk berani dalam memeriksa dan mengadili kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika,” kata Gustaf kepada BenarNews.
Gustaf menambahkan putusan tersebut patut menjadi contoh dalam peradilan umum maupun militer.
“Saya pikir kalau putusan baik tentu akan berpengaruh pada citra negara, TNI, dan rasa percaya masyarakat terhadap lembaga peradilan,” kata Gustaf.
Direktur LSM Aliansi Demokrasi untuk Papua, Anum Siregar, menyatakan hal senada.
“Bahwa meski terdakwa tidak ikut saat eksekusi tetapi terdakwa ikut pada dua pertemuan sebelumnya, ikut mengecek lokasi, menyiapkan fasilitas meminjamkan mobil. Terdakwa juga dilaporkan oleh terdakwa lainnya saat eksekusi dan menerima uang pembagian,” kata Anum kepada BenarNews.
Wakil keluarga korban, Aptoro Lokbere, menyatakan puas terhadap vonis yang dijatuhkan kepada Helmanto.
“Meskipun Mayor Dakhi tidak dijatuhi vonis pidana mati, saya nilai putusan itu sudah melihat berbagai aspek, seperti psikologis keluarga korban, dan lainnya,” kata dia kepada BenarNews.
“Atas nama keluarga korban, saya sampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim yang sudah memberikan hukuman sesuai dengan apa kami keluarga inginkan.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan putusan tersebut mencerminkan adanya pertimbangan hakim pada nilai-nilai hak asasi, serta kondisi sosiologis masyarakat Papua pada umumnya.
“Komnas HAM RI berpandangan bahwa putusan yang dibacakan di Pengadilan Milter III/19 Jayapura pada tanggal 24 Januari 2023 tersebut cukup memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban,” ujar Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangannya kepada BenarNews.
Komnas HAM, kata Atnike, juga mengapresiasi Panglima TNI yang memindahkan proses persidangan kepada para tersangka anggota militer lainnya yang semula direncanakan digelar di Makassar, namun pada akhirnya dilakukan di Jayapura.
“Putusan ini juga menunjukkan bahwa harapan publik akan tegaknya keadilan hukum di Tanah Papua semakin membaik. Kondisi penegakan hukum seperti ini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan militer,” ucap Atnike.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM menilai putusan terhadap Helmanto tersebut dapat menjadi acuan terhadap delapan terdakwa lainnya yang masih akan menjalani persidangan.
"Koalisi akan terus melakukan pengawalan terhadap seluruh rangkaian proses persidangan, agar keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya mendapatkan keadilan pada kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Timika, Papua," kata Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar kepada BenarNews.
KontraS: korban tak terlibat kelompok separatis
KontraS mengatakan bahwa hasil investigasi mereka pada September menunjukkan empat korban itu tidak terkait dengan kelompok separatis.
Hal ini berbeda dengan laporan polisi sebelumnya yang menyebut kemungkinan korban terkait kelompok separatis Papua dan pembunuhan itu berhubungan dengan jual beli senjata.
Rivanlee mengatakan salah satu korban, Arnold Lokbere, merupakan pengurus gereja, sementara korban lainnya Rian Nirigi merupakan pejabat aktif kepala Desa Kampung Yunat sekaligus pengurus gereja di Kenyam, Nduga.
Satu korban lagi Leman Nirigi bekerja sebagai sopir perahu yang menunggu pesanan antar-jemput dari Nduga-Jita-Timika dan terakhir Atis Tini merupakan seorang remaja yang menurut Kartu Keluarganya masih berusia 17 tahun, kata Rivanlee.
Rivanlee mengatakan tuduhan bahwa para korban terlibat dalam jual beli senjata masih minim bukti karena senjata api laras panjang rakitan yang disebut sebagai barang bukti tidak ada di tangan penyidik polisi maupun TNI.
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.