Cita-cita Remaja Rohingya Hampir Kandas di Selat Malaka

Oleh Nurdin Hasan
2015.05.26
150526_ID_ROHINGYA_SIRAJ_620.jpg Muhammad Siraj, 15 tahun, sedang berbicara dengan abang kandungnya, Nurul Hakim, melalui telepon di tempat penampungan sementara Desa Birem Bayeun, Aceh Timur, Sabtu, 23 Mei 2015.
BeritaBenar

Remaja kurus 15 tahun berjalan gontai. Kaki kanannya sedikit bengkak. Ia mengucapkan salam kepada setiap warga yang ditemui di bekas pabrik kertas yang ditumbuhi pohon sawit dan semak belukar di Desa Birem, Kabupatan Aceh Timur. Sambil mencoba tersenyum, Muhammad Siraj menyapa, “I’m Moslem, Burma.”

Siraj adalah seorang muslim etnis Rohingya yang diselamatkan nelayan Aceh di Selat Malaka, 20 Mei lalu bersama 432 pengungsi Rohingya lainnya dan warga Bangladesh.

Saat diselamatkan nelayan Aceh, kondisi mereka sangat mengenaskan. Sebagian besar mereka menderita sakit akibat kelaparan dan dehidrasi.

Perahu yang mengangkut mereka sempat diusir Angkatan Laut Thailand dan Malaysia sehingga terombang-ambing antara perairan kedua negara selama sepekan sebelum terdampar di perairan Aceh.

Angkatan Laut Malaysia sempat mengarahkan senjata, mengancam akan meledakkan perahu mereka jika tidak segera meninggalkan perairan Malaysia.

Ketika dicegat kapal Angkatan Laut Thailand, mereka sempat memberikan makanan dan minuman, tetapi hanya cukup untuk sekali makan.

Tangisan dan jeritan migran laki-laki, perempuan dan anak-anak, termasuk sejumlah bayi, tidak membuat serdadu Angkatan Laut Thailand dan Malaysia tersentuh. Mereka tetap melarang perahu kayu mendarat.

Ingin menjadi jurnalis

Ketika meninggalkan tempat pengungsian Nayapara di Bangladesh yang berbatasan dengan Myanmar, awal Februari lalu, Siraj punya ambisi besar. Ia ingin melanjutkan sekolah di Malaysia. Dua kakak kandungnya bekerja sebagai buruh ilegal di Malaysia, sejak dua tahun lalu. Cita-cita Siraj ingin menjadi jurnalis.

“Saya akan menulis tentang penderitaan yang dialami Muslim etnis Rohingya. Dunia internasional harus tahu kekejaman yang dilakukan pemerintah Mynamar terhadap Muslim Rohingya,” tuturnya saat diwawancara BeritaBenar di tempat penampungan sementara di Bayeun, Aceh Timur, Sabtu, 23 Mei.

Tidak ada keluarga yang mendampingi perjalanan Siraj. Tiga saudara perempuan dan dua kakak laki-laki lain telah menikah dan bertahan di kamp pengungsian Nayapara.

Remaja dengan kaos biru dan kain sarung bantuan warga Aceh Timur, nekad mengarungi perjalanan laut sendiri.

Kedua orangtua Siraj telah tiada. Ibunya meninggal dunia tahun 2002 karena sakit TBC. Enam tahun kemudian ayahnya meninggal karena sakit. Keenam saudara kandungnya telah menikah. Siraj adalah anak bungsu dari keluarga miskin, potret lazim sekitar 800.000 suku minoritas Rohingya di Myanmar.

Di kamp pengungsian Nayapara, Siraj rajin belajar. Kendati terpaksa putus sekolah di kelas enam madrasah, dia termasuk remaja pintar. Siraj adalah seorang dari sedikit pengungsi Rohingya di Aceh yang dapat berbahasa Inggris meski hanya sepatah dua patah kata.

Empat bulan di laut

Siraj tidak pernah membayangkan perjalanan meraih mimpi hanya menambah penderitaannya. Empat bulan, dia dan ratusan pengungsi terkatung-katung di tengah laut. Sejauh mata memandang hanya hamparan air laut. Siang hari, matahari membakar mereka dan bertahan di malam dingin tanpa penghangat.

Dalam perahu, ratusan pengungsi Rohingya dan Bangladesh berdesak-desakan. Mereka duduk dengan kaki ditekuk ke dada. Mereka tak boleh berselonjor kaki. Kiri dan kanan, depan dan belakang penuh deretan manusia. Mereka dilarang berdiri walau hanya sesaat untuk sekadar melenturkan rasa kaku.

“Kami tidur ke pangkuan orang di belakang atau bahu teman di samping. Kalau kami merebahkan tubuh atau menjulurkan kaki, kami dipukul dan ditendang. Bahkan anak buah kapal mengancam akan menembak kami,” kata Siraj dengan wajah menyiratkan ketakutan.

“Saya sempat dipukul dan ditendang beberapa kali. Kaki saya sakit karena diinjak dan dipukul dengan pentungan besi.”

Selama tiga bulan pertama, kapten dan empat anak buah kapal menjatah sedikit nasi dengan garam dan dua gelas kecil air minum sehari, pukul 10:00 dan pukul 17:00. Namun, dua minggu berikutnya mereka hanya diberi sepotong biskuit dan segelas air sehari.

Dua minggu sebelum diselamatkan nelayan Aceh, mereka tidak lagi dijatah makanan. Manusia perahu disuruh minum air laut. Mereka makin lemas, kelaparan dan dehidrasi.

Sepuluh orang tewas karena kelaparan. Mayat mereka dibuang ke laut.

“Bila ada yang minta makanan atau air, kapten dan anak buahnya langsung memukul kami dengan pentungan besi, parang dan mengancam dengan pistol,” kata Siraj yang mengaku mengantongi kartu status pengungsi dari UNHCR, tapi tak dibawanya.

Kapten melarikan diri

Saat kapal kayu yang ditumpangi sudah berada di perairan perbatasan Thailand dan Malaysia, 12 Mei, kapten memberitahu, mereka hampir tiba di Malaysia.

Kapten dan keempat anak buah perahu meninggalkan lalu lari dengan sebuah speedboat.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka mengancam akan menembak kami. Kami semua menangis karena tak ada seorangpun bisa mengemudi kapal,” kata Siraj.

Dua hari kemudian, perau kayu hijau kepergok kapal patroli Angkatan Laut Thailand. Mereka diberikan sedikit makanan.

Lalu disuruh pergi setelah mesin perahu diperbaiki. Sehari kemudian, bertemu kapal patroli Angkatan Malaysia yang segera menghalau mereka.

Kapal yang penuh manusia tersebut suda tiga kali diusir oleh Angkatan Laut Thailand dan dua kali oleh Angkatan Laut Malaysia.

Perahu yang kembali mati mesin karena kehabisan minyak masuk ke perairan Indonesia. Mereka bertemu nelayan Aceh yang sedang memancing ikan, saat itu bagian bawah perahu telah kemasukan air.

Mereka menjerit minta tolong, sambil melambaikan pakaian. Meski dilarang, para nelayan Aceh menolong manusia perahu dan membawa ke Kuala Geulumpang, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Rabu pagi 20 Mei. Lalu, pada petang hari, mereka dibawa ke Desa Birem, yang berjarak sekitar 55 kilometer dari Kuala Geulumpang.

“Saya sangat merindukan abang dan kakak saya. Mereka tak tahu saya sekarang di Aceh, Indonesia. Saya ingin berbicara dengan mereka untuk memberitahu kalau saya selamat di sini,” ujar Siraj sambil menitikkan air mata.

Berkat bantuan BeritaBenar, Siraj berhasil menelpon abangnya di kamp pengungsian Nayapara. Mereka berbicara sekitar 15 menit.

“Abang tanya dimana saya sekarang. Saya bilang saya ada di Aceh, Indonesia. Orang-orang di sini sangat baik. Mereka memberi makanan, minuman dan pakaian kepada saya dan warga Rohingya,” jelas Siraj usai berkomunikasi dengan abang sulungnya, Nurul Hakim.

Siraj tidak mau pulang ke kamp pengungsian Nayapara karena di sana tak ada masa depan dan hidup di bawah bayang-bayang ancaman. Dia sangat ingin tinggal di Aceh atau sebuah negara Muslim untuk mewujudkan cita-citanya, menjadi jurnalis.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.