Aktivis Menyerukan Agar Pemerintah Melindungi Minoritas Syiah dan Ahmadiyah
2015.06.22
Setara Institute aktivis Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa pemerintah harus memperhatikan kaum minoritas yang masih berada di tempat pengungsian selama bertahun-tahun.
“Mereka membutuhkan kepastian hukum dan pengamanan agar bisa kembali pulang ke kampung halaman,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 22 Juni sambil mengatakan beberapa kelompok minoritas Muslim termasuk Syiah dan Ahmadiyah telah hidup ditempat pengungsian hampir satu dekade.
“Masih adanya tekanan yang kuat dari kelompok intoleran kepada kepala daerah setempat yang menyebabkan pemerintah daerah seakan tidak mau mengambil risiko,” katanya lanjut.
Dia mencontohkan bahwa kelompok intoleran mendesak pemerintah daerah Jawa Timur maupun Sampang agar tidak memulangkan warga Syiah ke kampung halaman mereka.
Karena itu, ia menyerukan pemerintah pusat untuk memberikan sinyal yang jelas kepada kelompok intoleran bahwa tindakan mereka melanggar konstitusi dan menindak tegas Pemerintah Daerah yang tidak mencari penyelesaian tentang masalah ini.
"Sanksi kepada daerah bisa dilakukan melalui sangsi kebijakan anggaran,” lanjut Bonar sambil mengatakan selama ini Pemerintah Pusat hanya memberikan imbauan tapi tidak ada penyelesaian.
Ramadan di Pengungsian
Sekitar 30 keluarga pengungsi Ahmadiyah sudah sembilan tahun tinggal di tempat penampungan Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Mereka mengungsi dari tempat asal di Ketapang, Lombok Barat karena diusir oleh penduduk setempat serta diintimidasi dengan kekerasan tangal 4 Febuari 2016.
“Kami menjalankan aliran Islam yang berbeda dari Sunni, yang dipeluk kebanyakan orang Indonesia. Itu yang menjadi sebab pengusiran,” kata Muhammad Sanusi kepada BeritaBenar hari Senin, tanggal 22 Juni.
Sejak saat itu kami hidup tanpa tentu, banyak hambatan sosial dan ekonomi.
Di tempat pengungsian, Wisma Transito, ruangan hanya dibatasi kain bekas spanduk, kardus atau karung sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain.
Sementara itu para pengungsi Syiah dari Sampang, Madura, juga masih berada di Sidoarjo, Jawa Timur.
Konflik berdarah di Sampang tanggal 26 Agustus 2012 lalu dan menyebabkan dua orang warga Syiah tewas dan puluhan luka-luka.
“Penyebabnya adalah karena tidak adanya toleransi. Tetapi kami sudah berada di tempat pengungsian sekian lama, dan kami ingin pulang,” kata Tajul Muluk, pemimpin Syiah kepada BeritaBenar sambil mengatakan bahwa tanpa bantuan pemerintah ia takut intimidasi akan berlanjut.
Tajul Muluk divonis 2 tahun penjara karena tuduhan penghujatan terhadap agama.
Bonar mengaku telah berbicara kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan menyerukan agar Kementrian Agama segera mengambil tindakan nyata.
Langkah tersebut adalah ujian nyata dan terukur untuk menilai kinerja pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada perlindungan beragama dan berkeyakinan .
"Kita mendesak pemerintah agar memperhatikan hak-hak mereka agar mereka bisa menikmati ibadah apalagi sekarang bulan Ramadan," ujarnya.
Menag mengatakan saat ini pemerintah sedang berusaha menyelesaikan permasalahan warga Syiah, Sampang dan juga Ahmadiyah di Lombok yang masih tinggal di pengungsian.
"Saya juga masih harus bertemu dengan banyak pihak," ujarnya sambil mengatakan bahwa situasi ini akan menjadi prioritas utamanya.
“Toleransi adalah landasan bangsa kita,” katanya.
Faktor ekonomi
Ramadan kali ini bukan yang pertamakalinya bagi minoritas Syiah dan Ahmadiyah untuk merayakannya di tempat pengungsian.
“Saya rindu suara azan dikampung halaman,” kata Muhammad Zeini (24) mengatakan rasa ingin pulang ke Sampang.
Menurut Zeini, di rusun di Sidoarjo tercatat ada 315 jiwa dari 74 keluarga.
Memasuki bulan suci Ramadan, pengungsi mengeluhkan besaran jaminan hidup bulanan dari pemerintah sebesar Rp 709.000 per jiwa.
Untuk sehari-hari pengungsi merasa uang itu belum cukup untuk hidup layak. Demi menambah penghasilan, sebagian pengungsi bekerja mengupas kulit kelapa di pasar terdekat.
“Kami mendapat Rp.50,000 setiap harinya jika bekerja penuh waktu,” kata Zeini.
Menanti langkah pemerintah
Tajul Muluk mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Sampang.
“Pemerintah bisa memenuhi kebutuhan pengungsi dari luar, tapi bagaimana dengan kami? Mereka [pemerintah] tidak bersuara,” kata Tajul, tanggal 21 Juni 2015.
Di bulan Mei ribuan pengungsi Rohingya dan Bengladesh terdampar di perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia sepakat untuk membantu mereka sampai mereka dipulangkan ke Bangladesh atau diterima oleh negara ketiga yang mampu menampung mereka.
Tajul berharap pemerintahan Jokowi segera mengambil sikap.
“Di sini [Sidoarjo] memang aman, tapi di sini bukan tanah kelahiran kami," kata Tajul.
Pengungsi Syiah Sampang sudah sejak dua tahun ini berada di Rusun Puspa Agro, terhitung per 20 Juni 2013. Sebelumnya mereka tinggal di Gedung Olah Raga (GOR) Sampang selama sembilan bulan.
Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU), Said Aqil Siroj, menyatakan harapan yang sama.
“Presiden Jokowi harus menyikapi situasi ini secara serius. Kebijakan yang baru akan menjadi cerminan bagaimana Indonesia mengatasi intoleransi,” katanya.
Ahmad Cholil Ridwan, pemimpin Komite Sentral Ulama Indonesia (MUI), menyatakan bahwa banyak masalah memicu kekerasan di Sampang, Madura.
"Kami menyarankan agar setiap pihak menerima perbedaan," katanya kepada BeritaBenar.