Polisi Tangkap Dua Simpatisan MIT di Poso
2020.09.15
Palu
Dua orang simpatisan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) ditangkap di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, ketika hendak bergabung dengan kelompok militan bersenjata itu untuk memasok perbekalan, kata kepolisian, Selasa (15/9).
Kedua tersangka yang berinisial A (29) dan F (27) diduga sebagai penyalur logistik ke MIT, kelompok terafiliasi ISIS yang belasan anggotanya hingga kini masih bersembunyi di hutan dan pegunungan Kabupaten Poso, demikian Kapolda Sulteng Irjen. Pol. Abdul Rakhman Baso kepada BenarNews.
Mereka ditangkap hari Minggu oleh tim gabungan TNI dan Polri, kata Rakhman.
“Saat ini keduanya masih diperiksa untuk dilakukan pengembangan lagi,” tambahnya.
Menurut Rakhman, A dan F tidak masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pelaku terorisme yang telah dikeluarkan Polda Sulteng.
Rakhman mengungkapkan, sepanjang tiga bulan terakhir Juli – September 2020, lima simpatisan MIT telah ditangkap oleh gabungan polisi –TNI dalam operasi Tinombala yang bertugas memberangus sisa anggota MIT yang diyakini berjumlah 13 orang.
Pada bulan Juli, petugas menangkap dua orang sinpatisan di Kabupaten Poso, salah satunya dipercaya sebagai istri dari pemimpin MIT, Ali Kalora.
Awal bulan ini Satgas Operasi Tinombala menangkap pria 53 tahun berinisial MY yang disebut berperan sebagai perekrut anggota baru untuk MIT.
Sementara itu, pihak keluarga mengatakan MY tidak terkait dengan MIT. Menurut pihak keluarga, keseharian MY hanya mengurus santri di salah satu pondok pesantren yang dikelolanya di Poso.
“Jadi pihak keluarga membantah kalau MY disebut sebagai simpatisan MIT. Pihak keluarga tidak terima itu,” kata anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) Sulteng Andi Akbar kepada BenarNews.
“Sampai sekarang juga pihak keluarga belum tahu seperti apa kondisi MY, dan ini akan TPM kawal karena ada kesalahan prosedural dalam penangkapan MY,” jelas Akbar.
Kemungkinan perpanjangan Tinombala
Rakhman menambahkan, bahwa saat ini pihaknya bersama Mabes Polri tengah mengevaluasi perpanjangan kembali Operasi Tinombala yang telah berlangsung sejak awal 2016, sebagai perpanjangan operasi Camar Maleo setahun sebelumnya, dengan tujuan yang sama untuk menghancurkan kelompok MIT. Setiap tiga bulan operasi tersebut dievaluasi, dan periode saat ini akan berakhir 30 September.
“Sekarang ada 779 personel gabungan dari TNI dan Polri. Nah, perpanjangan belum bisa dipastikan dan kami sementara masih evaluasi,”
“Dan kalau diperpanjang, apakah sampai akhir tahun atau tidak,” jelasnya.
Rakhman menilai, bahwa sangat tepat kalau operasi diperpanjang karena ke-13 anggota MIT masih buron.
Ia menambahkan terutama karena adanya informasi bahwa MIT diduga akan melaksanakan serangan di bulan Desember bertepatan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Provinsi Sulawesi Tengah termasuk wilayah yang ikut dalam Pilkada tersebut.
“Itu perlu diantisipasi makanya operasi perlu diperpanjang. Apalagi di Desember mau Pilkada,” ujarnya.
Ubah pola penanganan
Dengan masih adanya kelompok MIT di Poso, warga mempertanyakan keefektifan Operasi Tinombala yang telah berlangusng hampir lima tahun.
Pasalnya, warga menilai banyaknya pasukan yang diterjunkan dan waktu operasi yang panjang, MIT belum juga tertangkap.
“Seperti tidak serius ini operasi, nyatanya kelompok MIT masih ada,” kata salah satu warga Poso, Bayu Putra kepada BenarNews.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng Mohammad Afandi mengatakan, salah satu cara tepat untuk menyelesaikan persoalan di Poso dengan mengubah pola penanganannya.
Afandi mengatakan operasi Tinombala seharusnya menggunakan pendekatan yang lunak, bukan keras.
“Sebab mereka (MIT) akan tetap ada di tengah dinamika politik yang tidak menentu,” ungkap Afandi, .
Menurutnya, operasi saat ini hanya berfokus pada operasi “perang”, padahal program deradikalisasi yang tepat lebih efektif.
“Bukan ‘deradikalisasi’ yang berfokus pada bagi-bagi alat kerja dan uang. Akan tetapi pada penekanan ilmu keagamaan dengan melibatkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,”
“Dengan melibatkan mereka, apa lagi dengan menyentuh keluarga masing-masing dari anggota MIT, saya yakin berhasil. Cuman, pertanyaannya hal tersebut mau dilakukan atau tidak,” tandas Afandi.
‘Salah tembak’
Disisi lain, TPM mendesak agar Polda Sulteng menjelaskan hasil penyidikan yang dilakukan terkait kasus salah tembak sehingga menyebabkan tiga warga sipil tewas di Poso pada April dan Juni lalu.
Menurut Akbar, sebelumnya ada 41 anggota satgas Tinombala yang diperiksa terkait kasus dugaan salah tembak itu.
“Namun sampai sekarang tidak ada kabar. Nah, ini bagaimana?” tanyanya.
Tiga warga yang tewas itu adalah Qidam Alfariski Mofance (20), Firman (17), dan Syarifudding (25).
Qidam diduga tewas setelah ditembak dan dianiaya seusai bertemu dengan kerabatnya di Dusun III, Desa Tobe, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, 9 April 2020.
Sedangkan Firman dan Syarifudding tewas seusai berkebun di Desa Maranda, Kecamatan Poso Pesisir Utara, 2 Juni 2020.
Kapolda Rakhman mengatakan 41 anggota itu telah dikeluarkan dari Satgas Tinombala dan dikembalikan ke kesatuannya masing-masing.
“Semuanya diproses sama Mabes Polri. Dan beberapa dari mereka itu mungkin sudah ada yang jadi tersangka,” terangnya.
Mabes Polri tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar terkait penyelidikan anggota Satgas.
Menurut Rakhman, secara sanksi pidana masih diproses. Namun, secara sanksi internal pasti diberikan seperti sanksi etik dan sanks disiplin.
“Yang pasti proses hukum terus dilakukan,” tutupnya.