Polisi Tembak Mati 2 Buronan Militan di Parigi Moutong
2020.11.17
Poso
Dua orang yang diduga anggota kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tewas ditembak oleh petugas TNI dan Polri dalam sebuah pengerebekan di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Selasa (17/11), kata polisi.
Dua orang yang tewas di Desa Bolano Barat, Kecamahan Bolano, merupakan buron yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan diindentifikasi sebagai Wahid dan Aziz Arifin, demikian Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Didik Supranoto.
“Jadi sebelumnya memang keberadaan kedua DPO sudah diketahui. Pas mau dilakukan penyergapan, kedua DPO melakukan perlawanan sehingga terjadi baku tembak hingga menewaskan kedua DPO,” ujar Didik kepada BenarNews.
Wahid yang diketahui berumur 28 tahun adalah warga Bolano Barat, sedangkan Aziz berumur 26 tahun berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, kata Didik.
Saat ini jenazah keduanya telah dibawa ke Rumah Sakit Bhayangakara di Palu.
Didik mengatakan Wahid dan Aziz sudah bergabung bersama MIT di Poso selama dua tahun dan sudah ikut dalam beberapa kali aksi penyerangan.
Keberadaan Wahid dan Aziz di Desa Bolano Barat sudah sejak dua bulan terakhi diendus aparat pasca keduanya turun gunung meninggalkan persembunyian mereka di hutan.
Aparat gabungan menemukan sejumlah barang bukti dari tempat kejadian, termasuk satu pucuk senjata api organik jenis revolver dengan sejumlah amunisi aktif, dua bom rakitan, GPS, dan kompas.
Warga gempar
Berita kematian Wahid dan Aziz mengejutkan warga Bolano Barat, tempat Wahid berasal, kata seorang penduduk setempat, Sugi Efendi.
“Jadi saat Wahid dimasukkan ke dalam DPO, warga di Desa Bolano Barat ini sudah gempar, karena Wahid ini kan ditahu asalnya dari Desa Bolano Barat,” kata Sugi kepada BenarNews.
“Semua orang di desa kaget, apa lagi saya. Wahid itu satu sekolah dengan saya, dia adik kelas lah. Orang tidak menyangka kepribadian Wahid yang pendiam ternyata adalah anggota MIT,” ungkapnya.
Sebelum menjadi buronan, Wahid memang sudah tidak pernah terlihat di Bolano Barat.
“Menurut keluarganya waktu itu Wahid kerja keluar kota,” tandas Sugi.
Tersisa 11 anggota MIT
Setelah Wahid dan Aziz tewas, Polda Sulteng memastikan jumlah anggota MIT yang kini masih berada dalam daftar buruan polisi berkurang menjadi 11 orang.
Kapolda Sulteng, Irjen. Abdul Rakhman Baso, meminta kesebelas militan kelompok yang telah berbaiat dengan jaringan ekstrim Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu untuk menyerahkan diri.
“Kami harapkan mereka bisa menyerahkan diri dengan baik-baik dan kita lakukan proses hukum sebagaimana mestinya,” katanya kepada sejumlah jurnalis di Donggala.
Sementara itu, pengamat terorisme dari Institut Agama Islam Negeri Palu Muhammad Lukman Tahir menduga Wahid dan Aziz meninggalkan pegunungan untuk mencari anggota baru.
Wahid dan Aziz sempat sampai ke Palu sebelum tewas di Desa Bolano Barat, kata Lukman.
“Misinya bisa saja untuk melakukan pengrekrutan anggota baru, apa lagi di Desa Bolano Barat adalah kampung halaman Wahid. Nah, di sana dia punya banyak kerabat,” ujar Lukman.
Lukman mempertanyakan mengapa Wahid dan Aziz bisa keluar dari kepungan Satgas Tinombala- gabungan TNI dan Polri- yang khusus dibentuk pemerintah sejak awal 2016 dengan tugas menangkap MIT.
“Dengan berhasil turun gunung meninggalkan Poso, otomatis membuktikan kalau perburuan di Poso tidak ketat. Kalau ketat kan kedua DPO ini pasti tidak akan turun,” tegasnya.
“Pasti orang akan menilai operasi di Poso tidak serius. Makanya pola operasi di Poso itu harus benar-benar punya tujuan. Jangan asal buru tapi tidak ada hasil,” tutupnya.
Menanggapi hal tersebut, Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Didik Supranoto mengatakan operasi di Poso terus dilakukan dengan prosedur yang telah ditentukan.
“Bukan berarti Wahid dan Aziz bisa turun gunung menandakan operasi tidak ketat,” katanya.
Menurut Didik, kelompok MIT sangat paham wilayah di hutan dan pegunungan Poso. Sehingga ketika keduanya ingin keluar masuk pasti sangat mudah.
“Mereka tahu medan di sana. Bisa saja mereka turun di lokasi yang memang tidak terdapat petugas yang sedang melakukan operasi,”ujarnya, menambahkan polisi masih menyelidiki bagaimana keduanya bisa sampai ke Desa Bolano bahkan Palu.
Polisi mengatakan sejumlah aksi kriminal di Sulawesi Tengah, dari penembakan terhadap aparat hingga pembunuhan warga sipil yang sebagian dilakukan secara mengenaskan, seperti dengan memenggal kepala, dilakukan oleh MIT.
Di bawah kepemimpinan Santoso, militan Indonesia yang pertama kali secara terbuka berbaiat dengan ISIS, MIT sempat beranggotakan 40–an orang, termasuk Muslim Uighur dari Cina.
Santoso tewas dalam baku tembak dengan Satgas operasi Tinombala pertengahan 2016. Sepeninggalan Santoso jumlah anggota MIT terus berkurang, hingga hanya belasan orang, dibawah perburuan Satgas Tinombala.
Namun demikian kelompok yang kini dipimpin Ali Kalora itu belum pernah berhasil ditangkap keseluruhannya dan dalam setahun ini masih bisa melakukan pembunuhan terhadap sejumlah warga sipil, kendati pasukan Tinombala terus diperpanjang setiap tiga bulan sekali.
“Bapak Kapolri sudah menegaskan bahwa operasi bisa dihentikan ketika MIT bisa diberantas di Poso,” pungkas Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Didik Supranoto.