MK hapus ketentuan ambang batas parlemen 4%, berlaku pada 2029
2024.02.29
Jakarta
Mahkamah Konstitusi pada Kamis menghapus ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
Keputusan tersebut disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul permohonan yang diajukan kelompok masyarakat sipil Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) karena menilai Parliamentary Threshold (PT) membuat banyak suara terbuang.
MK mengatakan penghapusan ambang batas tersebut itu baru dapat berlaku pada pemilu 2029, tidak pada pemilu 2024 yang baru saja berlangsung. Untuk itu, MK menyerahkan perubahan ambang batas parlemen kepada pembentuk Undang-undang, yakni DPR.
"Menyatakan norma pasal 414 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ... adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan," kata Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo di Jakarta pada Kamis (29/2).
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukumnya mengatakan Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dan argumentasi yang memadai dalam penetapan angka 4% dalam UU Pemilu.
Saldi menyebut angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Sebagai contoh, kata Saldi, dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% suara sah secara nasional.
“Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik,” jelasnya.
Hal itu, lanjut Saldi, menunjukkan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR.
“Ketentuan itu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum,” jelas Saldi.
Meski demikian, MK menolak menetapkan angka ambang batas yang lebih sesuai. Sembilan hakim sepakat UU Pemilu merupakan open legal policy yang diserahkan kembali kepada DPR dan pemerintah untuk menentukan batasan yang pas.
Apresiasi keputusan MK
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengapresiasi putusan MK ini karena selama ini tidak pernah ada alasan yang rasional dalam menentukan angka tersebut.
“Alih-alih menyederhanakan partai, penerapan ambang batas parlemen yang selalu meningkat justru semakin meningkatkan suara terbuang dan menyebabkan hasil pemilu tidak proporsional,” kata dia kepada BenarNews.
Namun demikian, Khoirunnisa menegaskan pihaknya bukan ingin ambang batas parlemen untuk dihapus. Dia hanya meminta agar ambang batas tersebut dihitung secara rasional.
"Yang kami minta ke MK adalah tidak untuk menghapus PT, karena PT lazim saja di sistem pemilu proporsional. Yang kami minta adalah dalam menentukan PT ada penghitungan yang rasional," ujar dia.
UU Pemilu menjelaskan bahwa partai peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampow menyatakan putusan MK terkait ambang batas parlemen sudah tepat. Namun sayangnya MK tidak memberikan patokan angka konstitusional yang pas.
“Sebaiknya hapus saja ambang batas jadi nol. Kalau sekarang diserahkan ke DPR, nanti kan repot lagi berapa yang pas dianggap konstitusional,” katanya kepada BenarNews.
Menurut Jerry, keputusan untuk menentukan ambang batas jadi nol ini patut diberikan perhatian, karena selama ini tidak ada ambang batas parlemen pada tingkat kabupaten dan kota.
“Jadi ikuti saja yang berlaku di kabupaten dan kota. Daerah kita kan majemuk dan karakter beragam,” jelasnya.
Menurut Jerry, MK harus menghargai warga yang memilih seorang calon anggota legislatif di mana caleg tersebut mendapatkan suara banyak karena dia pasti membawa karakter dan kebutuhan daerah tersebut.
“Contoh Tuan Guru Bajang (Muhammad Zainul Majdi) di Nusa Tenggara Barat yang meraih suara terbanyak di sana tapi tak bisa ke DPR RI karena partainya tidak lolos ambang batas. Ini harus diakomodir,” jelasnya.
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi mendapat suara tertinggi di daerah pemilihannya, namun terancam gagal melaju ke Senayan karena Partai Persatuan Indonesia (Perindo) belum mencapai ambang batas parlemen sebesar 4%.
Ambang batas penting
Pengamat politik BRIN, Firman Noor mengatakan keputusan untuk menghapus ambang batas parlemen tidaklah tepat karena publik berharap ada seleksi kepada parpol untuk masuk parlemen.
“Agar mereka menjadi parpol profesional dalam arti gak sekedar ada, tapi mampu mengembangkan diri jadi parpol yang baik dalam pengertian eksis di seluruh Indonesia,” ujar Firman Noor kepada BenarNews.
Menurut Firman, ambang batas parlemen tetap diperlukan agar partai bisa profesional untuk mengejar persyaratan lolos ke Senayan, membuat partai tidak bisa main-main dalam kontestasi politik dan harus memikirkan cara untuk memiliki kursi di DPR.
“Kalau misal banyak di parlemen, tapi ngambang sehingga gak bisa eksis, jadi gak efektif mewakili masyarakat juga. Kalau satu kursi di parlemen untuk apa? Nanti bisa apa?” jelasnya.
Firman menambahkan jika pun ambang batas parlemen mau diturunkan, angkanya tetap tidak banyak yakni sebesar 3,5%.
“Tidak di bawah itu. Angka 3,5% sudah sangat bersahabat,” jelasnya.