MKMK berhentikan Anwar Usman sebagai ketua MK, keputusan terkait umur capres/cawapres tidak berubah
2023.11.07
Jakarta
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Selasa (7/11) menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) usai dinilai terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam perkara gugatan batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden.
Namun demikian keputusan dari MK terkait batas usia minimal tersebut yang memberi jalan kepada keponakan Anwar yang juga putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden pada pemilihan 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto, tetap tidak berubah.
"Hakim terlapor (Anwar Usman) terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan," kata Jimly Asshiddiqie, ketua MKMK.
MKMK, majelis etik yang berisi tiga orang itu, juga melarang Anwar terlibat dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, termasuk sengketa hasil pemungutan suara presiden dan wakil presiden.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," kata Jimly seraya memerintahkan wakil ketua MK untuk memilih ketua baru dalam waktu 48 jam.
MK mengabulkan perubahan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden pada 16 Oktober lalu dalam persidangan yang diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) empat dari sembilan majelis hakim konstitusi.
Aturan awal mensyaratkan bahwa seseorang hanya bisa maju sebagai calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres) jika berusia minimal 40 tahun, tapi MK dalam putusannya mengubah aturan dengan menambah amar bahwa warga negara yang berusia di bawah ketentuan tersebut dapat dicalonkan sepanjang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Beleid tersebut membuat Gibran yang masih berusia 36 tahun dan menjabat sebagai wali kota Solo dapat maju dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketetapan ini kembali digugat ke MK, dengan permohonan berupa warga negara di bawah usia 40 tahun yang dapat diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden setidaknya harus pernah atau sedang menjabat gubernur, bukan setingkat wali kota atau bupati.
Sidang tersebut akan digelar pada Rabu (8/11) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Jimly menambahkan, andaikata terdapat perubahan aturan soal batas usia minimal dalam gugatan terbaru, ketentuan tersebut hanya akan berlaku pada pemilihan umum 2029.
"Aturan main kalau diubah melalui putusan MK berlaku untuk pertandingan berikutnya 2029, kalau sekarang sudah jalan pertandingannya," kata Jimly, mantan ketua MK yang keketuaannya dalam majelis etik ini dinilai sejumlah pihak memiliki konflik kepentingan.
Jimly pada Mei lalu secara terbuka menyampaikan pilihannya kepada Prabowo sebagai calon presiden dalam pemilu mendatang dan salah seorang anak Jimly adalah calon legislator Partai Gerindra pimpinan Prabowo.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan meski Anwar dan hakim konstitusi terbukti melanggar etik dalam perkara batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden, putusan majelis kehormatan tidak akan memengaruhi putusan yang telah diambil.
“Ini hanya sidang etik, tidak mengubah keputusan yang sudah dibuat MK. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat,” kata Feri kepada BenarNews.
Hasil dari MKMK yang tidak mengubah keputusan yang sudah dibuat tersebut, dikecam sejumlah netizen.
“Setidaknya rakyat mengetahui bahwa jalan Gibran menjadi cawapres diperoleh dari pelanggaran berat etik yang dilakukan oleh pamannya Anwar Usman. Hati-hati memilih, jangan sampai menyesal, yes,” tulis Maudy Asmara dalam akun X-nya.
Putusan etik lain
MKMK secara total menerima 21 laporan dugaan pelanggaran etik --15 di antaranya terkait Anwar-- dalam penanganan gugatan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Laporan tersebut kemudian diputus dalam empat putusan berbeda.
Selain terkait Anwar, majelis etik itu juga menjatuhkan vonis kolektif berupa teguran lisan terhadap sembilan hakim konstitusi karena dianggap membiarkan konflik kepentingan dalam penanganan perkara terjadi dan perihal kebocoran informasi rapat pemusyawaratan hakim terkait putusan tersebut di media massa.
"Para hakim terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling ingat mengingatkan antarhakim, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pekewuh sehingga kesetaraan antar hakim terabaikan, dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi," kata Jimly lagi.
Dua putusan lain adalah terkait Wakil Ketua MK Saldi Isra yang dinilai menjabarkan perihal tak berkaitan dengan perkara dalam dissenting opinion-nya serta hakim anggota Arief Hidayat yang sempat mengutarakan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak dalam kondisi baik karena kekuasaan terpusat di tangan-tangan tertentu dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Dalam putusannya, Saldi dinilai tidak terbukti melanggar etik sementara Arief dijatuhkan sanksi teguran tertulis karena dianggap merendahkan martabat MK di ruang publik.
Jerry Sumampauw, koordinator Komite Pemilih Indonesia, dalam keterangan diterima BenarNews menilai Anwar semestinya diberhentikan dari hakim konstitusi, tak hanya jabatan Ketua MK.
“Pemberhentian dari jabatan ketua tidak dikenal dalam peraturan-peraturan MK, tentang sanksi kepada hakim konstitusi,” kata Jerry.
“Kalau pelanggaran berat, secara etik semestinya diberhentikan. Apalagi ia berstatus ketua yang notabene figur utama di MK.”