Moeldoko ancam kerahkan tentara untuk bubarkan pendukung Enembe

Analis sebut ancaman terhadap pendukung Gubernur Papua yang menjadi tersangka kasus korupsi itu, berlebihan.
Arie Firdaus
2022.09.29
Jakarta
Moeldoko ancam kerahkan tentara untuk bubarkan pendukung Enembe Gubernur Papua Lukas Enembe (kiri) berbicara dengan direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam sebuah pertemuan di Jakarta, 27 Mei 2022.
[Willy Kurniawan/Reuters]

Kepala Staf Kepresidenan pada Kamis (29/9) mengancam akan mengerahkan tentara untuk menghalau warga yang berkumpul di sekitar kediaman Gubernur Papua Lukas Enembe yang berupaya menghalangi penangkapannya dalam kasus korupsi.

Ratusan orang berunjuk rasa di Jakarta dan di Jayapura dalam beberapa hari terakhir, menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan pengusutan dugaan suap dan gratifikasi karena mereka menilai perkara tersebut bermuatan politis.

"Kalau mereka (massa yang menghalangi) dalam pengaruh Lukas Enembe, apa perlu TNI dikerahkan? Kalau diperlukan, ya, apa boleh buat?" kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam keterangan pers di Jakarta.

"Ini persoalan murni soal hukum, enggak ada persoalan politik. Maka siapa pun harus mempertanggungjawabkan di hadapan hukum, tidak ada pengecualian," kata Moeldoko.

Ribuan orang sebelumnya juga berunjuk rasa di Jayapura pada 21 September, di mana 14 orang di antaranya ditangkap kepolisian karena kedapatan membawa senjata tajam.

Moeldoko mengatakan, Enembe semestinya menghormati panggilan KPK, alih-alih mengerahkan pendukungnya untuk menghalangi pemeriksaan KPK.

Tuduhan suap dan gratifikasi terhadap Enembe terkait proyek yang bersumber dari APBD Papua bernilai Rp1 miliar sepenuhnya adalah perkara hukum dan tidak terkait kepentingan politik, kata Moeldoko.

Ini adalah kali ketiga pemerintah pusat meminta Enembe mengikuti proses hukum di KPK, setelah Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Rabu dan Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD tiga hari sebelumnya.

"Semua harus menghormati panggilan dan proses hukum dari KPK," ujar Jokowi.

“Berlebihan, rentan dipolitisasi”

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati yang menilai pernyataan Moeldoko sebagai komunikasi yang buruk. 

"[Pernyataan] pengerahan tentara itu mungkin spontanitas saja, tapi agak berlebihan karena rentan dipolitisasi," ujar Wasisto kepada BenarNews.

Pengajar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai Moeldoko gagal mempertimbangkan kondisi masyarakat Papua yang selama ini memiliki memori buruk dengan militer.

Ia pun khawatir pernyataan itu memperbesar persepsi negatif masyarakat Papua terhadap Jakarta, kendati kali ini berkaitan dengan perkara korupsi.

"Moeldoko tidak mengukur pernyataannya. Itu ancaman yang tidak pas," kata Ujang kepada BenarNews.

Ditambahkan Ujang, Moeldoko semestinya menekankan terkait poin negara tidak boleh kalah oleh terduga pelaku korupsi, alih-alih menyinggung pengerahan TNI.

"Meski saya melihat itu (pengerahan militer) enggak mungkin juga dilakukan, tapi bisa meningkatkan persepsi negatif terhadap pemerintah. Hubungan antara Papua dan pemerintah bisa semakin enggak enak," lanjutnya.

KPK mengonfirmasi status tersangka Enembe pada 14 September atau dua hari usai gubernur dua periode itu mangkir dari panggilan pertama ke Mapolda Papua sebagai saksi perkara, kendati pengacara Enembe menyebut kliennya sudah ditetapkan tersangka pada 5 September.

Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo saat dihubungi mengatakan masalah Enembe semestinya tidak akan berlarut seperti sekarang andaikata proses hukum di awal lebih hati-hati dan melalui satu pintu.

"Sekarang menjadi lebih riuh karena beberapa elit di Jakarta sudah turut campur dalam upaya hukum sehingga reaksi di Papua menjadi sangat hebat," ujarnya, seraya menambahkan bahwa kasus ini menunjukkan bahwa di satu sisi kepercayaan masyarakat terhadap KPK semakin menurun sehingga memunculkan penolakan.

BenarNews menghubungi Juru Bicara Gubernur Papua Muhammad Rifai Darus, tapi tak beroleh balasan.

Koordinator tim pengacara Enembe, Stefanus Roy Rening, menyangkal kliennya kabur dari panggilan KPK. Ia berdalih Enembe dalam kondisi sakit dan membutuhkan perawatan dokter, kendati telah berangsur membaik.

"Dokter pribadi Gubernur Enembe saat ini sedang mengupayakan mendatangkan dokter yang menangani sakit Beliau dari Singapura,” ujar Roy seperti dikutip Tempo.

KPK, yang telah gagal memanggil Enembe dua kali, telah mencegah Enembe keluar negeri sejak 7 September.

Juru bicara KPK Ali Fikri enggan mengomentari pernyataan Moeldoko. 

Ia mengatakan komisi rasuah akan kembali mengirimkan panggilan pemeriksaan terhadap Enembe dan berharap gubernur dua periode Papua itu memenuhinya.

"Kami berharap tersangka bersikap kooperatif," ujar Ali, tanpa merinci kapan surat pemanggilan dikirim.

Terkait alasan sakit, ia meminta Enembe terlebih dahulu hadir ke Jakarta dan menjalani pemeriksaan medis yang akan dilakukan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

"Jika dokter pribadi tersangka ikut, silakan. Kami akan obyektif, melibatkan dokter independen dari IDI," kata Ali lagi.

Kubu Enembe: “ada unsur politis”

Dalam sejumlah kesempatan, kubu Enembe berulang kali menuding kasusnya mengandung unsur politis, bahkan melibatkan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Pengacara Roy Rening pada Selasa di Kompas TV, misalnya, merujuk pertemuan 2017 antara Enembe dan Budi. Kala itu, Enembe yang hendak maju dalam pilkada Papua diminta Budi untuk berpasangan dengan jenderal polisi asal Papua, Paulus Waterpauw.

Rayuan serupa disampaikan Tito setelah Wakil Gubernur Klemen Tinal meninggal dunia pada 2021. Di sela-sela kunjungan ke Papua, Tito meminta Enembe menerima Paulus, terang Roy.

"Artinya, perkara ini bagian dari politisasi. Bagaimana bisa menteri dalam negeri datang meminta gubernur membawa satu orang?" ujar Roy kala itu.

Terkait pernyataan ini, Paulus pada hari ini melaporkan Roy ke polisi, tapi ia tak menjabarkan pasal yang diduga dilanggar pengacara Enembe tersebut.

Serupa dengan kubu Enembe, Partai Demokrat mengendus motif politik di balik penetapan salah satu kadernya itu.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono merujuk pada sejumlah peristiwa jelang pencalonan Enembe sebagai Gubernur Papua pada 2018, salah satunya desakan yang diterima partai agar memasangkan Enembe dengan salah satu calon yang disebutnya "titipan unsur negara".

Enembe bahkan sempat diancam untuk diperkarakan secara hukum jika tak menerima tawaran tersebut, kata Agus.

"Kami memohon kasus ini ditegakkan secara adil. Jangan ada politisasi dalam prosesnya," ujar Agus dalam jumpa pers di kantor DPP Partai Demokrat pada Kamis, sambil menambahkan bahwa Enembe sementara waktu telah dinonaktifkan dari posisi Ketua DPD Demokrat Papua.

"Partai Demokrat juga akan tetap menyiapkan tim bantuan hukum (untuk Enembe), jika dibutuhkan, seperti kader partai Demokrat lain yang terkena kasus hukum," tambah Agus.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

lawiyaarinus@gmail.com
2022-10-11 02:21

Pak moldoko urus pekerjaanmu itu Tugas Yudikatif pak pa de mantan pelindung negara pade bukan penegak pade