Terlibat Bom Molotov Gereja Samarinda, Tiga Terdakwa Dituntut 10 Tahun Penjara
2017.08.30
Jakarta
Empat terdakwa yang terlibat aksi pelemparan bom molotov terhadap Gereja Oikumene Sengkotek di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 13 November 2016, kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 30 Agustus 2017.
Dalam persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan, jaksa meminta kepada majelis hakim untuk memvonis tiga di antaranya yakni Joko Sugito, Ahmad Dani, dan Rahmad dengan hukuman 10 tahun penjara.
Sedangkan seorang lagi, Supriyadi, dituntut sembilan tahun penjara.
"Supriyadi sempat melarang agar tak ada bahan peledak di sekitar Masjid Mujahidin, sehingga dituntut lebih rendah," kata jaksa Maya Sari seusai persidangan.
Masjid Mujahidin di Samarinda adalah lokasi berkumpul para terdakwa, mulai dari berdiskusi tentang kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, hingga merakit dan menguji coba bom.
"Tapi ia (Supriyadi) mengetahui bahwa ada kegiatan pembuatan bom. Sehingga unsur pemufakatan jahat dalam Undang-undang Pemberantasan Terorisme tetap terpenuhi."
Dikutip dari berkas dakwaan, berbeda dengan ketiga terdakwa lain, Supriyadi memang sama sekali tidak turut serta membuat bom yang digunakan dalam aksi teror di Gereja Oikumene yang menewaskan Intan Olivia Banjarnahor (2,5) dan mencederai tiga anak balita lain.
Terdakwa Joko Sugito, misalnya, turut terlibat dan mengoordinasi pembuatan bom. Ia menyediakan beberapa bahan baku seperti potasium nitrat, arang, citrun, dan parafin; serta menginstruksikan terdakwa Ahmad Dani untuk membeli cuka dan alkohol.
Sedangkan Rahmad bertugas mempersiapkan masker yang digunakan saat menguji coba bom -dilakukan tiga kali, dan turut menyediakan cuka dan alkohol sebagai bahan baku bom.
"Bom yang dibuat terdakwa merenggut korban jiwa, sehingga unsur menggunakan kekerasan untuk menimbulkan suasana teror dan hilangnya nyawa atau harta benda orang lain terpenuhi," kata Maya lagi.
Joko Sugito Cs ditangkap aparat Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri tak lama setelah insiden ledakan bom tersebut pada 13 November tahun lalu.
Sebelum ditangkap atas keterlibatan dalam teror bom itu, berdasarkan investigasi polisi, Joko merupakan amir alias pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) wilayah Kalimantan yang ditunjuk langsung oleh Aman Abdurrahman.
Aman disebut-sebut sebagai pimpinan spiritual JAD, kelompok yang telah berbaiat terhadap ISIS dan diklaim berada di balik serangkaian teror di Indonesia dua tahun belakangan ini termasuk teror di Jalan Thamrin Januari 2016 dan Bom Kampung Melayu Mei 2017. Aman seharusnya bebas pada 17 Agustus lalu usai menjalani masa hukuman sembilan tahun atas keterlibatannya dalam pelatihan paramiliter kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di pegunungan Jalin, Kabupaten Aceh Besar, 2010.
Tapi, tim Densus 88 “menjemputnya” empat hari sebelum bebas dari penjara di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Pada 18 Agustus lalu, polisi menetapkan Aman sebagai tersangka atas dugaan keterlibatannya dalam serangan teror Bom Thamrin.
Dituntut kompensasi
Sejatinya, seorang terdakwa lain yang merupakan pelaku pelemparan bom ke Gereja Oikumene yakni Juhanda alias Jo juga bakal mendengarkan tuntutan dari jaksa dalam persidangan itu. Hanya saja, persidangan ditunda lantaran jaksa belum menyelesaikan berkas tuntutan.
Juhanda memang dituntut berbeda dibanding empat terdakwa lain. Dia turut dituntut kompensasi oleh para korban bom yang diledakkannya di halaman gereja tersebut.
Poin inilah yang kini tengah disiapkan tim jaksa.
"Jadi baru bisa dibacakan besok (Kamis, 31 Agustus)," tambah Maya.
Juhanda sebelumnya dijerat dengan Pasal 15 juncto 6 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan ancaman maksimal hukuman mati jika menimbulkan korban jiwa.
Lantas, apakah tim jaksa bakal menuntut hukuman maksimal terhadap Juhanda?
"Mudah-mudahan, ya," tutur Maya, sebelum berlalu.
Perihal kemungkinan ini, Faris selaku kuasa hukum Juhanda enggan berkomentar lebih lanjut.
"Tunggu besok," katanya kepada BeritaBenar.
Adapun mengenai tuntutan atas empat terdakwa lain, Faris tidak mempermasalahkan. Tim kuasa hukum, terangnya, telah menyiapkan nota pembelaan untuk mereka dalam persidangan lanjutan yang digelar Rabu, 6 September mendatang.
Namun lagi-lagi ia menolak merincikan lebih detil dan hanya berucap, "Ada pokoknya (pembelaan)."
Aksi spontan
Dalam keterangannya, Juhanda mengaku bahwa aksi pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene merupakan tindakan spontan.
Juhanda yang hari itu bermaksud membeli perlengkapan dapur ke pasar mendadak lupa bahan baku yang hendak dibelinya sesaat sesampai di pasar.
Walhasil, ia kembali pulang ke Masjid Mujahidin --tempat tinggalnya sejak meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan Tangerang pada 2014 usai bebas bersyarat dari kasus teror bom buku yang membuatnya divonis 3,5 tahun.
Namun saat melewati Gereja Oikumene dalam perjalanan pulang itulah, pikiran untuk melakukan teror tiba-tiba terbersit di kepalanya. Ia pun bergegas kembali ke masjid tersebut untuk mengambil bom.
Sejurus kemudian, ia kembali ke Gereja Oikumene dengan menggunakan sepeda motor untuk melancarkan aksinya.
Aksi tersebut tidak berlangsung seperti yang diinginkannya lantaran bom yang hendak dilemparkannya terjatuh di halaman gereja dan meledak sehingga melukai empat balita yang sedang bermain. Juhanda sempat terpental beberapa meter.
Ledakan itu kemudian memancing reaksi warga di sekitar gereja dengen meneriakkan, "kejar... kerjar..!" ke arah Juhanda.
Mendengar teriakan itu, Juhanda kaget dan melarikan diri, berenang melintasi Sungai Mahakam. Ia ditangkap warga yang mengejar menggunakan perahu, hingga akhirnya diserahkan ke aparat kepolisian.