Indonesia Berlakukan 3 Tahun Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Walhi sambut baik, namun menilai moratorium seharusnya untuk 25 tahun.
Rina Chadijah
2018.09.21
Jakarta
180921_ID_PalmOil_1000.jpg Foto udara memperlihatkan perkebunan kelapa sawit di Desa Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, 18 Desember 2017.
Dok. Greenpeace

Pemerintah memberlakukan penghentian (moratorium) pemberian izin bagi pembukaan perkebunan kepala sawit selama tiga tahun, demikian disampaikan oleh seorang pejabat berwenang pada Jumat (21/9), menyusul klaim dari pegiat lingkungan bahwa sejumlah perusahaan sawit yang memberikan pasokan terhadap perusahaan-perusahaan besar telah menyebabkan deforestasi.

Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 yang ditandatangani Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 19 September 2018 itu diumumkan kepada wartawan, Jumat.

"Dalam Inpres ini, gubernur dan bupati diperintahkan untuk mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan. Selain itu juga menunda dulu pembukaan kebun sawit ini, untuk mengurangi konflik," kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Prabianto Mukti Wibowo, kepada wartawan.

Tujuan lahirnya Inpres untuk meningkatkan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, dan menjaga kelestarian lingkungan.

Terdapat sembilan poin yang harus dilakukan sejumlah kementerian, lembaga dan juga pemerintah daerah dalam menindaklanjuti aturan tersebut.

Beberapa di antaranya adalah memerintahkan Menteri Koordinator Perekonomian untuk melakukan koordinasi penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga diminta untuk menunda pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Sedangkan Menteri Pertanian diminta menyusun dan melakukan verifikasi data dan pendaftaran Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Kelapa Sawit secara nasional.

Menteri Agraria dan Tata Ruang juga diminta menyusun dan memverifikasi data Hak Guna Usaha (HGU).

Sementara Menteri Dalam Negeri diharuskan membina dan pengawasan pada gubernur dan bupati/walikota dalam pelaksanaan penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit.

Melalui moratorium perkebunan sawit itu diharapkan dapat meningkatkan produktivitas perkebunan ‎sawit rakyat dan memperjelas status kepemilikan lahan sehingga dapat memudahkan masyarakat mendapat pinjaman.

"Melalui Inpres moratorium ini masalah kebun sawit rakyat yang sudah dikelola masuk hutan kita selesaikan. Maksudnya kalau dievaluasi bisa disertifikasi dan kami selesaikan," ujar Prabianto.

Harus 25 tahun

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyambut baik keputusan moratorium itu. Namun organisasi pecinta lingkungan itu meminta jangka waktu moratorium seharusnya diterapkan selama 25 tahun.

Direktur Walhi, Nur Hidayati, mengatakan pemulihan lingkungan membutuhkan waktu yang panjang.

Karena itu, selain perbaikan tata kelola lahan perkebunan sawit, mereka juga meminta dilanjutkan dengan penegasan sikap pemerintah untuk menolak Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan.

“Walhi juga meminta upaya penegakan hukum atas pelanggaran korporasi besar. Sehingga, pemerintah membuka proses dan informasi evaluasi perizinan dengan partisipasi aktif masyarakat,” katanya dalam pernyataan tertulis.

Kemampuan pemerintah dalam melakukan pengawasan, katanya, selama ini terkesan kurang, sehingga membuat banyak perusahaan sawit tidak memiliki izin, membuka perkebunan.

"Saat ini masih jomplang antara jutaan hektar izin yang diberikan dengan kemampuan pemerintah untuk memberikan pengawasan,” ujarnya.

Hingga 2017, total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 22 juta hektar, dengan lahan terluas di Riau sebesar 4,2 juta hektar.

Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang seluas 16 juta hektar. Provinsi Riau ketika itu juga menjadi daerah dengan lahan perkebunan sawit terluas, mencapai tiga juta hektar.

Inpres itu ditandatangani Jokowi bersamaan peluncuran laporan investigasi Greenpeace yang menyebut sejumlah perusahaan raksasa berada di balik pembukaan besar-besaran perkebunan sawit di Indonesia. Mereka antara lain Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive, Mondalez, dan Pepsico.

Dalam laporan itu diungkapkan Nestle Cs masih memperoleh pasokan bahan baku dari setidaknya 25 kelompok produsen minyak sawit yang terlibat perusakan hutan.

Grup industri ini, sebut Greenpeace, telah menggunduli lahan seluas lebih dari 130 ribu hektar atau hampir dua kali lipat wilayah Singapura sejak 2015. Sebanyak 40 persen di antaranya berada di Papua.

"Merek-merek global tersebut harus menyelesaikan masalah, dengan tidak menerima lagi pasokan dari perusahaan sawit perusak hutan untuk menunjukkan bahwa minyak sawit mereka bersih," kata Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik kepada BeritaBenar, Rabu lalu.

Selesaikan persoalan

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap Inpres itu dapat menuntaskan berbagai persoalan yang selama ini dialami industri sawit.

Ketua GAPKI, Joko Supriyono, mengatakan selama ini banyak terjadi tumpang tindih aturan yang merugikan pengusaha perkebunan sawit di Indonesia sehingga Inpres itu diharapkan dapat mengatasi masalah yang ada.

“Asalkan masing-masing melaksanakan dengan semangat mencari solusi, justru atas dasar payung hukum Inpres ini semua pihak bisa duduk bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada selama ini,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.