Ketua MUI Mengkritik Tembak Mati Tersangka Teroris Tanpa Interogasi
2015.06.03
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Saymsuddin, menilai penanganan terorisme di Indonesia belum tepat karena cenderung menembak mati tersangka teroris tanpa interogasi.
"Korbannya tertembak mati sehingga tidak bisa kita tanya mengapa Anda berbuat demikian?” kata Din kepada wartawan dalam forum Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) 2015 di Bandung, Jawa Barat, tanggal 3 Juni.
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia menolak aksi kekerasan dan terorisme, tetapi harus dengan cara yang “tepat dan jitu.”
Din mengingatkan jika metode ini diteruskan, Indonesia tidak akan pernah berhasil memerangi terorisme.
“Karena itu kita harus bijaksana menyikapi masalah terorisme dan deradikalisasi,” kata Din yang juga menjabat sebagai Ketua ACRP dan Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia.
Reformasi program deradikalisasi
Din mengatakan kekerasan dengan mengatas namakan agama yang dilakukan oleh beberapa pihak termasuk anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau golongan lainnya telah “menjegal” nilai-nilai agama itu sendiri.
“Tindak kekerasan yang menggunakan nama agama, termasuk yang merusak, menghilangkan nyawa orang lain, adalah pembegalan terhadap nilai-nilai agama,” terang Din.
Ketua MUI juga mengkhawatirkan ekstremisme keagamaan.
“Ini merupakan ancaman bagi umat beragama, karena itu mereka harus berdialog agar tidak terjadi perpecahan,” katanya lanjut.
Din khawatir semakin berkembangnya radikalisme di Indonesia karena program deradikalisasi yang tidak cocok diterapkan, termasuk penembakan tanpa pengujian atau interogasi.
"Ini harus dievaluasi, dikoreksi,” tambah Din.
Din mengatakan program deradikalisasi harus direformasi.
“Jika cara ini ternyata tidak cocok untuk Indonesia. Program bisa dicoba untuk diterapkan tanpa menggunakan cara-cara yang radikal,”
Menjalankan tugas untuk keamanan
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Indonesia, Agus Rianto, mengatakan bahwa polisi tidak akan menembak mati tersangka jika mereka tidak melawan atau tidak mengancam keamanan.
“Tugas mereka adalah untuk mengamankan tersangka teroris, tetapi tugas ini tidak mudah karena teroris terkadang mempunyai persenjataan yang lebih mutakhir dari kepolisian dan mereka melawan perintah untuk menyerah,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 3 Juni.
Agus mengatakan bahwa Kepolisian dan Densus 88 mempunyai tanggung jawab besar.
“Kami juga tahu bahwa mereka [tersangka teroris] bisa dijadikan aset sebagai sumber informasi,” katanya sambil menyatakan bahwa dilapangan kepolisian juga menemui kejadian yang membahayakan hidup mereka dan memaksa mereka untuk membela diri.
“Kita juga kehilangan beberapa personel dalam memberantas terorisme,” katanya lanjut sambil menerangkan bahwa teroris juga telah menembak polisi dan melukai banyak dari mereka dalam proses penegakan hukum.
Aiptu Dwiyatno (50) anggota Polisi Cilandak tewas ditembak di depan Rumah Sakit Sari Asih, Tangerang Selatan tanggal 7 Agustus, 2013. Beberapa hari berikutnya Aiptu Kus Hendratno (44), anggota Polsek Pondok Aren tewas ditembak di Jl. Graha Bintaro, Pondok Aren tanggal 16 Agustus beserta dengan rekannya Bripka Ahmad Maulana (35). Dan Bripka Sukardi, (46) tewas tanggal 10 September.
Tersangka penembak keempat anggota kepolisian adalah jaringan Abu Roban, tersangka teroris jaringan Mujahideen Indonesia Timur (MIT) yang telah ditembak mati Tim Densus Antiteror di Batang, Jawa Tengah, tanggal 8 Mei, 2013 lalu.
“Ini adalah contoh masih banyak kasus dimana polisi tewas ditembak oleh teroris group termasuk di Poso dan Bima [Nusa Tenggara Barat],” Rianto menjelaskan sambil menambahkan baru-baru ini dua anggota kepolisian Brimob Polda Sulawesi Tengah, Bripka Wayan Pande dan Brigadir Wayan Sedana, mengalami luka berat saat tersangka teroris melawan.
"Tersangka penembak adalah anggota MIT yang dipimpin oleh Santoso,” terang Rianto.
Dua pendekatan dalam usaha menekan terorisme
Mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Teroris [BNPT] Ansyaad Mbai mengatakan bahwa Indonesia mempunyai dua pendekatan dalam mengatasi terorisme di Indonesia.
“Kita menggunakan soft approach yaitu jalur lunak untuk menyadarkan mereka [radikal] lewat bimbingan agama, kemasyarakatan, termasuk training kerja serta penyediaan lapangan kerja,” katanya kepada BeritaBenar.
Sedangkan pendekatan hard approach dilakukan dengan penegakan hukum termasuk penangkapan.
“Keduanya saling melengkapi jadi keduanya diperlukan,” katanya.
Din mengatakan bahwa MUI mendorong keamanan di Indonesia tanpa kekerasan.
“BNPT, Densus 88 beserta dengan timnya sudah bertemu dengan MUI,” sambung Din.
Menurut Din pihaknya telah mengimbau agar pencegahan sebaiknya dilakukan dengan mencari tahu akar penyebabnya, kenapa mereka [radikal] melakukan kekerasan apa motif dan tujuan yang hendak dicapai?
“Dari pembicaraan yang mendalam kita akan bisa mengetahui akar masalah sebenarnya dan ulama akan bisa membantu hal ini,” katanya lanjut.
Din juga menyerukan agar masyarakat tidak mengkaitkan terorisme dan kekerasan dengan agama tertentu.
“Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan,” katanya.