MUI Desak OKI Gelar Sidang Darurat Terkait Krisis Qatar

Menteri Luar Negeri menyatakan Indonesia siap berkontribusi untuk mengupayakan dialog dan rekonsiliasi guna menyelesaikan masalah antara negara-negara Teluk.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.06.07
Jakarta
170607_ID_Qatar_1000.jpg Dari kiri: Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Bachtiar Nasir, Wakil Ketua Dewan KH Didin Hafiduddin, Ketua Dewan Din Syamsuddin, Sekretaris Dewan Noor Ahmad, dan Wakil Sekretaris Dewan Natsir Zubaidi menggelar jumpa pers di Jakarta, 7 Juni 2017.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Prihatin dengan krisis politik di Timur Tengah setelah sejumlah negara memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong pemerintah Indonesia mendesak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menggelar sidang darurat demi menghindari perpecahan dan peperangan di kawasan tersebut.

Pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Arab Emirat, Bahrain, Yaman, dan Mesir terjadi menyusul dugaan Qatar mendukung organisasi yang terkait dengan kegiatan terorisme.

Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin, mengatakan sidang darurat ini sesuai dengan prinsip piagam OKI, antara lain memperkuat tali persaudaraan dan solidaritas sesama anggota OKI dan semua anggota harus menyelesaikan sengketa secara damai dan tidak menggunakan ancaman serta cara kekerasan.

“Kami mengimbau, mendukung dan mendorong pemerintah Indonesia mengambil langkah cepat untuk segera atasi keadaan dengan berbicara kepada pihak-pihak yang berseteru,” ujar Din dalam jumpa pers di kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Juni 2017.

Din menambahkan negara-negara anggota OKI harus mewaspadai dan menolak upaya intrik perang proksi yang saling menyudutkan dan menyalahkan atas kebijakan politik masing-masing negara Timur Tengah dan kebijakan politik luar negeri mereka dengan negara-negara lain.

“Sesama negara Muslim tidak boleh saling berkelahi. Tidak ada pilihan lain ketegangan yang ada harus dihentikan, jangan sampai menimbulkan eskalasi terjadinya perang di kawasan (Timur Tengah),” ujar Din.

“Salah satu jalan terbaik adalah dengan menggelar sidang darurat OKI. Lokasinya bisa di Jakarta atau di tempat lain,” tambahnya.

Ketua Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Abdul Muta’ali mengatakan sidang darurat OKI mendesak diselenggarakan dan Indonesia perlu menjadi inisiatornya karena mempunyai posisi strategis dan krisis ini akan merugikan banyak pihak.

“OKI harus dipaksa, jangan lagi OKI menjadi organisasi imajiner,” ujarnya saat diminta tanggapan terkait krisis yang telah berlangsung selama beberapa hari terakhir ini.

Siap berkontribusi

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan Indonesia siap berkontribusi untuk mengupayakan dialog dan rekonsiliasi guna menyelesaikan masalah antara negara-negara yang terlibat langsung dalam krisis tersebut.

Retno, yang sempat singgah di Doha, Qatar, pada 6 Juni, dalam perjalanan kembali dari lawatan kerja di Nigeria, mengaku dirinya sempat menjalin komunikasi dengan rekan sejawatnya dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Turki dan Iran untuk menyampaikan pandangan dan kesiapan Indonesia berkontribusi bagi upaya mengurangi ketegangan di kawasan tersebut.

"Saya membahas dengan para Menlu Timur Tengah mengenai perkembangan kawasan dan menyampaikan pandangan serta kesiapan Indonesia untuk berkontribusi," ujarnya dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri, Rabu.

Retno juga menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap situasi yang berkembang dan menekankan pentingnya negara-negara di Timur Tengah dapat mengambil langkah serta menahan diri demi mengurangi ketegangan.

Nasib WNI

Ketika singgah di Doha, Retno juga telah menjalin kontak dengan sejumlah warga negara Indonesia (WNI) di Qatar untuk memastikan kondisi mereka.

Menurutnya, pemerintah telah membentuk satuan tugas khusus untuk meningkatkan perlindungan WNI di Qatar.

"Saya harapkan WNI di Qatar untuk segera melakukan komunikasi dengan KBRI jika membutuhkan bantuan," ujar Retno.

Kelompok advokasi pekerja migran Indonesia, Migrant CARE, mendesak pemerintah untuk membuka pusat penanganan krisis di perwakilan-perwakilan Indonesia yang ada di negara-negara tersebut dengan melibatkan organisasi-organisasi buruh migran dan diaspora Indonesia yang ada di Timur Tengah.

Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, menyebutkan agar pusat penanganan krisis ini harus dapat memberikan respons yang cepat dan layanan informasi akurat untuk menjaga keselamatan pekerja migran Indonesia dan WNI lain di Qatar.

Hal ini mendesak dengan terjadinya krisis transportasi akibat kemelut politik antar negara-negara Teluk karena otoritas Saudi Arabia melarang penerbangan maskapai Qatar Airways serta menutup perbatasan darat dan laut dengan Qatar.

“Krisis ini diyakini akan menimbulkan masalah pelik mengingat dalam waktu yang tidak lama lagi puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu buruh migran Indonesia di kawasan ini berencana mudik ke tanah air,” ujar Wahyu dalam pernyataan tertulisnya.

Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Indonesia pada 2014 mengirimkan 7.862 tenaga kerja migran ke Qatar dan angkanya terus menurun ke 2.460 di 2015 dan 1.355 di 2016. Pada tahun ini hingga April, ada 448 tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di Qatar.

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, hingga Juni ada sekitar 29 ribu WNI di Qatar yang tercatat melapor diri ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Bagi WNI yang membutuhkan bantuan dan informasi, KBRI juga telah membuka saluran telpon +974 3332 2875 yang dapat dihubungi setiap saat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.