Cegah Radikalisme, MUI Gelar Pelatihan untuk Penceramah

Ikatan Dai Indonesia menyambut namun mengkhawatirkan jika pelatihan berujung pada sertifikasi bisa menimbulkan polemik.
Tia Asmara
2019.02.28
Jakarta
190228_ID_Muslimpreach_1000.jpg Seorang jemaat mengambil gambar dengan telpon genggamnya sementara jemaat lainnya mendengarkan ceramah seorang ustad dalam perayaan Idul Adha di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, 5 Oktober 2014.
AFP

Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menyediakan fasilitas pelatihan bagi penceramah untuk mencegah berkembangnya radikalisme dalam masjid.

"Ini bertujuan menyatukan visi penceramah dengan cara memberikan rekomendasi kepada mereka yang telah ikut dan dinyatakan lulus," kata Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Muhammad Cholil Nafis, Kamis, 28 Februari 2019.

Ia menjelaskan peserta akan melalui tes masuk selayaknya mahasiswa dan ketika lulus akan mendapatkan sertifikat.

"Ada kurikulum dan model pembelajaran serta ujian kompetensi," katanya kepada BeritaBenar.

Berlokasi di Jakarta atau Depok, program tersebut dimulai pertengahan Maret yang akan diikuti 109 peserta dari seluruh Indonesia.

"Targetnya semua penceramah bisa ikut program ini dilakukan secara berjenjang dan lima tahap dalam setahun," jelasnya.

Diharapkan melalui pelatihan itu akan meningkatkan kompetensi profesionalisme penceramah yang selama ini dilaporkan ada menyebarkan ceramah ujaran kebencian terhadap agama lain di masjid.

Sebuah riset yang dilakukan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan merilis sebanyak 41 dari total 400 masjid di lingkungan Kementerian, Lembaga, dan BUMN terpapar paham radikal yang disebarkan dalam khutbah Jumat.

Dari 41 masjid tersebut, 21 di antaranya merupakan masjid milik BUMN, 8 masjid lembaga negara dan 12 merupakan masjid kementerian.

Riset tersebut dilakukan dengan meneliti 274 video dan 356 rekaman yang dilakukan relawan dari 29 September - 21 Oktober 2017.

"Penceramah yang ikut program pelatihan ini akan dianggap kompeten untuk memberi ceramah yang bernilai moderat," kata Cholil.

Beberapa kurikulum dan panduan pembelajaran akan mengajarkan kemampuan berceramah, menguasai nilai ke-Islaman, punyai wawasan kebangsaan dan metode dakwah yang baik.

Milik masyarakat

Juru bicara Kementerian Agama, Mastuki mengatakan pihaknya juga akan bekerja sama dengan MUI untuk ikut dalam pelatihan penceramah masjid.

"Semangat kami ingin mendapatkan dai dengan standarisasi agar masyarakat dapatkan penceramah yang berkualifikasi ilmunya, teruji dan terasah apapun bentuknya," katanya saat dihubungi.

Menurutnya, pemberian sertifikat kepada penceramah berkualitas agar masyarakat bisa memilih siapa penceramah yang bisa dihadirkan di depan publik.

"Kami berikan pilihan kepada masyarakat, kami sosialisasikan pelan-pelan dan edukasi kalau khatib itu milik masyarakat. Dengan sertifikasi ini masyarakat juga untung karena dai yang  diundang memiliki standar," katanya.

Menurutnya, kebutuhan masyarakat akan penceramah sangat banyak mulai dari pengajian, khutbah Jumat, acara pernikahan sehingga tidak akan mengalami bentrokan di masyarakat.

"Bukan berarti yang tidak punya sertifikat tidak boleh berceramah. Secara natural dengan sendirinya masyarakat akan memilih sesuai kebutuhan mereka," tuturnya.

Ia berharap, pelatihan ini akan mencetak penceramah profesional dengan pengalaman yang baik.

"Ada tahapan dan jenjang karirnya seperti kelas pemula, menengah dan advance dan bisa diikuti kapanpun," katanya.

Diapresiasi

Humas Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Muhsin Soleh menyambut baik rencana pemerintah untuk melatih penceramah dengan pembekalan yang sesuai acuan.

"Kalau tidak  ada pembekalan secara khusus, Dai itu sendiri-sendiri berpikirnya. Tapi kalo ada acuan,  kita harus menyampaikan ceramah secara benar sehingga ketika berceramah tidak menimbulkan salah kaprah di masyarakat," katanya.

Menurut dia, seorang penceramah yang baik harus mengikuti sakolah atau menyangkut masalah hukum tentang yang terjadi di masyarakat, dan bagaimana memahami dakwah.

"Harus sesuai dengan kaidah dakwah, mengacu dakwah Nabi, bukan saja untuk masyarakat muslim tapi umat manusia secara keseluruhan, kaum nasrani, kaum munafik dll, harus mengerti itu strategi dakwah, sehingga tidak serampangan tidak halalkan segala cara," ujarnya.

Ia menilai seorang penceramah juga harus memiliki retorika publik speaking yang santun di depan umum.

"Ada komunikasinya juga, agar melihat situasi dan kondisi agar terseleksi, tidak radikal, keras, dan intoleran," katanya.

Namun, Muhsin mengkhawatirkan kalau pelatihan ini akan berujung sertifikasi karena akan menimbulkan polemik di masyarakat.

"Sertifikasi itu seseorang boleh ceramah kalo punya saja sementara Indonesia itu punya banyak ormas, tidak bisa diatur ceramah apa yang disampaikan karena kemampuan para Dai berbeda," katanya.

Selain itu, informasi yang ada juga sulit untuk menjangkau daerah pelosok.

"Banyak kyai di kampung yang mungkin sulit bagi mereka untuk mulai pelatihan, karena sudah tua," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.