Keunikan akulturasi warga kampung Muslim Bali saat rayakan Idul Adha

Muslim Bali, menurut peneliti BRIN, merupakan sebutan yang dipilih secara sengaja untuk menunjuk komunitas Islam yang sudah sejak lama hidup secara turun temurun di Bali.
Luh De Suriyani
2023.06.29
Denpasar
Keunikan akulturasi warga kampung Muslim Bali saat rayakan Idul Adha Makam Syeh Raden Kiai Abdul Jalil di Karangasem, Bali.
Luh De Suriyani/BenarNews

Ratusan warga duduk berkumpul dalam lingkaran sambil makan bersama di Masjid Al-Hikmah di Kampung Muslim Buitan, Karangasem, Bali, seusai melaksanakan salat Idul Adha pada Rabu 28 Juni.

Dalam tradisi Magibung alias makan bareng ini, tersaji beragam masakan bercita rasa Bali seperti pepes ikan, telur bumbu Bali, sate tusuk, ikan goreng, dan masakan lainnya. Siapa saja usai bersembahyang di masjid itu boleh menikmati sajian di atas nampan-nampan meski tidak menyumbang makanan.

Perbincangan akrab dalam bahasa Bali halus juga terdengar saat makan, meski warga kampung ini berasal dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan daerah lainnya. Bahasa Bali yang merupakan warisan leluhur pendiri kampung inilah menyatukan warga Buitan.

Salah satu prasasti menyebutkan Masjid Al-Hikmah dibangun tahun 1000 Hijriah atau sekitar 1580 Masehi.

Prasasti, yang berada di dekat masjid itu, ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Orang yang menulis prasasti diperkirakan leluhur masyarakat Buitan, seorang pelaut Bugis yang makamnya dirawat umat Hindu di dekat kuburan Hindu di Kecamatan Manggis.

“Saat Hari Raya Kuningan oleh umat Hindu, kami diundang makan dan sembahyang di makam,” kata Yaya Yadi Hidayat, pengurus Masjid Al-Hikmah dan tokoh masyarakat Buitan. Lauk pauk yang disajikan seperti ayam dan kambing, kata dia, disembelih oleh warga Muslim Buitan agar halal sesuai permintaan warga setempat.

Yaya mengatakan akulturasi budaya dan agama di Buitan sangat penting karena mencerminkan pepatah; di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

“Kami ikut serta mengajegkan Bali,” kata Yaya, meski kata dia sempat terjadi satu peristiwa yang memantik konflik internal, yaitu peristiwa Bom Bali 2002.

Yaya mencontohkan bahwa ada warga di daerah sekitar Buitan melarang membeli bakso keliling yang dijual pedagang Muslim. “Sangat berdampak. Kita maklum, lagi emosi. Sekitar setahun ketegangannya,” kata Yaya mengenang.

Kampung yang dihuni oleh sekitar 40 keluarga ini berada di pinggir pantai. Kebanyakan masyarakatnya adalah nelayan yang rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan kebudayaan untuk mempertemukan umat Islam dan Hindu.

Mereka saling bersilaturahmi pada setiap upacara agama masing-masing, misalnya ketika buka puasa Syawal, enam hari setelah Idul Fitri, untuk makan bersama di pantai.

Demikian juga saat Idul Adha kali ini, kata Yaya, kampung Buitan juga membagi daging kurban pada warga Hindu yang memerlukan.

Beragam keunikan akulturasi

Keunikan akulturasi serupa juga terjadi di kampung Saren Jawa di Desa Budakeling, di mana para penganut Islam masih menggunakan nama-nama khas Bali — bahkan diberikan saat masih di kandungan — yakni Wayan, Made, Komang, dan Ketut, yang secara berurutan mewakili anak pertama hingga keempat.

Salah satu ketua kampung, Ketut Sulaiman Efendi, yang lahir pada 1945 menceritakan bahwa leluhur kampung Saren berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ketut meyakini arti Saren Jawa adalah sarinya orang Jawa, atau bisa ditafsir sebagai darah Jawa.

Dari sejarah lisan yang dipercayanya, Sulaiman mengatakan warga Saren Jawa sangat dihormati desa sekitarnya karena berjasa mengusir kekuatan jahat, sehingga kemudian dihadiahi wilayah tempat tinggal.

Kampung Saren Jawa dihuni sekitar 160 keluarga, memiliki dua bangunan masjid — bangunan lama dan baru — serta sebuah makam pendiri kampung Saren Jawa pada 1410, Syeh Raden Kiai Abdul Jalil.

Kepala Dusun Saren Jawa Komang Januriyanta, 33, mengatakan leluhurnya memenangkan sayembara membunuh sapi warak, istilah untuk menyebut pembuat huru-hara di kampung. Raden Abdul Jalil disebut dengan sejumlah nama seperti Raden Putra dan Ki Dukuh Selat, karena sebagian warga tidak berani menyebut langsung namanya.

Karena dihormati, dusun sekitarnya kerap memanggil warga Saren Jawa dengan panggilan bli guru. Masyarakat dusun tersebut menggunakan bahasa Bali halus sebagai alat komunikasi utama, kata Sulaiman.

Kehidupan sehari-hari juga terikat dengan tradisi umat agama Hindu, kata dia. Misalnya ketika Griya Budakeling – keluarga pendeta atau pemimpin agama – dan Puri Kerajaan Karangasem menghelat acara, warga Saren Jawa diundang.

Selain menghadiri dan mendoakan, warga Saren Jawa juga mempertunjukkan gamelan khas Rodat, kesenian yang berfungsi sebagai pelepas lelah saat mereka pulang dari bertani atau melaut, kata Sulaiman.

Dalam pertunjukan terebut, kampung Saren Jawa akan membawa Burdah, kendang besar yang mengiringi alunan syair pujian dan doa. Perpaduan Burdah dan gamelan pada upacara kematian umat Hindu di Griya Budakeling terdengar dalam sebuah arsip video ponsel Kepala Dusun.

“Saat Palebonan (upacara kematian) kami membacakan doa. Biar lebih sempurna upacaranya,” kata Sulaiman.

Kampung ini juga meyakini punya ikatan dengan kampung Muslim lain di Bali, disebut dengan dalem atau raden, di antaranya Dalem Wayan di Saren Jawa, Dalem Made di Gelgel, Dalem Komang di Kusamba, dan Dalem Ketut di Puri Klungkung. Ketiganya kampung Islam di Kabupaten Klungkung, kata Sulaiman.

Tradisi akulturasi juga tampak saat kedua umat mengadakan hari rayanya. Sulaiman mengingat, saat Idul Fitri, rumah-rumah warga akan disinggahi warga yang mengenakan pakaian khas umat Hindu. Demikian juga saat ritual bulan Sapar, disebut Saparan, yang biasanya dihelat sebelum puasa.

Warga beramai-ramai datang ke titik mata air yang mengalir ke masjid sambil memuji nabi. Warga membawa makanan seperti tipat bantal, lauk pauk, untuk makan bersama. Sapar diyakini sebagai musafir yang membawa bekal dan membaginya sebagai simbol pernah merasakan derita merantau luar kampung.

Keduanya bisa menyebut diri orang Bali walau leluhur mereka dari Demak. “Hindu di sini kan asli Jawa juga, dari Majapahit. Yang asli kan warga desa tua di Tenganan, Trunyan,” sebut Sulaiman.

Menurut sejarah, kata Sulaiman, saat itu raja di Bali sempat menolak penyebaran agama Islam ke Bali. Tetapi berkat tradisi akulturasi ini, Sulaiman mengaku tidak terasa terancam di Bali. Bahkan dia merasa lebih mewarnai Bali.

“Toleransinya bagus, saya bangga punya kampung di sini karena (orang) dari agama pun ke sini pasti disambut,” lanjut Sulaiman.

Dhurorudin Mashad, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam bukunya Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang (2014) memaparkan sejarah kampung-kampung Muslim di Bali.

Blog milik Dhurorudin, dhurorudin.wordpress.com, kerap dipublikasi ulang sejumlah ulasan. Media Historia dalam ulasannya tentang sejarah Islam di Bali juga mengutip buku dan peneliti ini.

Muslim Bali, menurut Dhurorudin, merupakan sebutan yang dipilih secara sengaja untuk menunjuk komunitas Islam yang sudah sejak lama hidup secara turun temurun di sini.

Muslim Bali, kata Dhurorudin, memiliki makna bahwa hakikatnya secara historis-kultural merupakan bagian integral dari Bali. Akan tetapi, agama yang mereka peluk berbeda dengan kaum mayoritas yang memeluk Hindu.

Dhurorudin enggan menggunakan istilah muslim di Bali, karena istilah itu pada umumnya diidentikkan dengan kaum pendatang. Muslim sebagai pendatang, eksistensinya juga tidak bisa ditampik, karena sejak tahun 1970-an, saat Bali mulai menjadi destinasi wisata, banyak kaum muslim datang kemudian bermukim di Bali.

Sementara definisi Muslim Bali adalah penduduk muslim asli dan eksistensinya bersifat kelampauan. Keberadaan komunitas ini, dalam pandangan Dhurorudin, telah menyatu dengan daerah lokal akibat perkawinan yang mereka lakukan dengan kaum Hindu, sehingga mereka memiliki ikatan genealogis kekerabatan yang tak kalah kental dengan kaum Hindu sendiri.

Dhurorudin sendiri menulis, secara historis komunitas muslim lama memang punya hubungan saling ketergantungan secara kokoh, terutama pada era konflik antarkerajaan Bali di masa silam.

Meski jumlah masyarakat Islam Bali kecil, kata Dhurorudi, tetapi realitasnya mereka telah ikut mewarnai khazanah kebudayaan Bali.

Bahkan, dalam wujud agak ekstrem pengakuan eksistensi masyarakat Islam oleh masyarakat Hindu ada yang sampai teraktualisasi dalam wujud pendirian tempat pemujaan (pura) yang melarang disajikannya hal-hal yang dilarang Islam, seperti sesajen mengandung babi.

Sebaliknya, kaum Muslim Bali yang berinteraksi dengan Hindu secara mendalam, pada perkembangannya dipengaruhi pula oleh unsur-unsur kultur komunitas Hindu, pungkas Dhurorudin.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.