Napak Tilas Kisah Kelam Tragedi Mei 1998

Para keluarga korban tetap menuntut keadilan atas tragedi yang terjadi 20 tahun silam.
Zahara Tiba
2018.05.18
Jakarta
180518_ID_reform_Feature_1000.jpg Warga melintas di satu gang dengan deretan perumahan kemunitas Tionghoa di kawasan Glodok, Jakarta Barat, 13 Mei 2018.
Zahara Tiba/BeritaBenar

“Mau cari apa?” tanya seorang pedagang elektronik berwajah etnis Tionghoa di kawasan jembatan Millennium, Glodok, Jakarta Barat, ketika BeritaBenar mendatangi tempat itu, Minggu, 13 Mei 2018.

Toko-toko di sebelahnya menunjukkan aktivitas berniaga yang sama. Jembatan itu 20 tahun lalu menjadi salah satu saksi bisu kelamnya babak baru sejarah negeri ini yang diwarnai oleh kerusuhan massal di berbagai titik di penjuru ibukota.

Segerombolan orang ramai-ramai menjarah toko-toko di kawasan Pecinan tersebut; perabot elektronik dan bahan makanan. Seakan tak cukup itu, massa juga merusak toko-toko dengan melempari dan membakar.

Di jalan raya, massa menggulingkan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang dan terparkir lalu membakarnya.

“Saya berlindung di rumah yang ada pagar besinya dan dijaga tentara. Harco dibakar, (Diskotek) Rajamas dirusak. Orang-orang gotong-gotong barang elektronik,” Supangat (67) juru parkir yang telah beroperasi di Glodok sejak 1960an itu bercerita kepada BeritaBenar.

Kedua bangunan itu kini berubah menjadi Glodok Plaza dan Pasar Lindeteves setelah direnovasi.

Warga etnis Tionghoa, ungkap Supangat, bersembunyi di rumah masing-masing. Seminggu kemudian mereka baru memberanikan diri keluar.

Supangat sendiri sempat tak mendapat penghasilan lantaran daerah itu seperti kota mati.

Dipanggil ‘China’

Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka mendalam bagi warga keturunan Tionghoa, termasuk Yunita, Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta.

Yunita tengah bersekolah di sekolah dasar (SD) di daerah Petak Sembilan saat mendengar pertokoan Glodok dijarah dan dibakar. Sekolah yang hanya berjarak beberapa ratus meter langsung diliburkan.

“Setelah pulang, saya ingat kami tidak boleh keluar rumah atau menampakkan diri. Seluruh gedung dan kaca dilempar batu. Kebakaran cukup banyak terjadi meski dari jauh. Ada isu kalau yang ditargetkan orang Tionghoa,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Yunita bersyukur terhadap warga keturunan non-Tionghoa di sekitar rumah yang membantu berjaga supaya tidak ada pengrusakan.

Yunita dan anggota keluarganya baru berani keluar rumah setelah Presiden Soeharto resmi mundur dan reformasi ramai dibicarakan. Namun hal itu justru membuka kenyataan baru.

“Setelah selesai (kerusuhan), saya baru tahu kalau saya berbeda. Kalau jalan pasti dipanggil ‘China’,” kenangnya.

“Sewaktu masuk sekolah lagi, kami dengar banyak cerita. Seperti sekolah saya jadi tempat penampungan dan cerita beberapa teman yang keluarganya bangkrut karena toko dijarah,” katanya.

Dengan banyak mempelajari latar belakang konflik yang ternyata sebenarnya tidak berasal dari isu SARA, Yunita mengaku akhirnya sudah bisa menerima.

”Banyak belajar, self-healing, bertemu dengan orang-orang yang suportif dan tentunya yang menghapuskan stigma-stigma yang dibuat,” ungkapnya.

Jembatan Millennium, salah satu pusat perbelanjaan yang dijarah massa saat kerusuhan 13 Mei 1998 di Glodok, Jakarta Barat. (Zahara Tiba/BeritaBenar)
Jembatan Millennium, salah satu pusat perbelanjaan yang dijarah massa saat kerusuhan 13 Mei 1998 di Glodok, Jakarta Barat. (Zahara Tiba/BeritaBenar)

Politik pelupa

Tak hanya sekadar penjarahan yang menimpa warga keturunan Tionghoa, aksi pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa ramai dilaporkan. Korban juga berjatuhan dari kalangan mahasiswa dan masyarakat umum.

Mutiara Andalas, seorang pendamping Paguyuban Keluarga Korban Mei-Semanggi 1998 mengatakan tragedi kemanusiaan 20 tahun lalu meminta banyak korban anak bangsa dan menciptakan suasana mencekam.

“Saya masih ingat saat keluar dari ruang jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan lidah kelu. Rasanya panjang sekali lorong yang harus saya lalui dari satu ujung ruang jenazah ke ujung lain,” katanya kepada BeritaBenar.

Dosen Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menambahkan bahwa di sisi kiri dan kanannya, dia melihat korban meninggal di pusat-pusat perbelanjaan terbujur kaku, dalam keadaan terbakar.

“Korban mahasiswa ditembak, korban masyarakat biasa dibakar dan dijarah, serta korban perempuan Tionghoa mengalami kekerasan seksual. Tubuh mereka, karena ketiadaan aparat negara di lokasi tragedi, tanpa perlindungan terhadap kekerasan pelaku dalam tragedi Mei,” ujarnya.

Mutiara yang saat itu tengah menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara bergabung bersama mahasiswa untuk menumbangkan rezim otoriter Orde Baru.

Ketika rezim semakin represif, Mutiara bergeser dari ikut demonstrasi mahasiswa menjadi terlibat dalam gerakan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.

“Kami mengumpulkan bantuan logistik untuk mahasiswa yang dikepung aparat, mendampingi demonstrasi mahasiswa dengan bantuan medis, dan membawa mereka ke rumah sakit rujukan ketika aparat bentrok dengan mahasiswa,” tuturnya.

Selain memberikan pendampingan langsung di lapangan, lanjutnya, Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga mendata para korban yang terdampak tragedi Mei 1998.

“Kami memfasilitasi mereka untuk membentuk payuguyuban korban dan keluarga korban guna menguatkan satu sama lain,” katanya.

“Kami melindungi para perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka terancam kehidupannya ketika hendak memberikan kesaksian atas tragedi yang menimpanya.”

Menurut Mutiara, politik pelupaan pemerintah hingga kini menghalangi ingatan kolektif terhadap tragedi kemanusiaan Mei 1998.

“Sejak awal, mereka menolak untuk mengakui bersalah dalam tragedi Mei 1998. Halangan terbesar politik kenangan akan korban bukan kebisuan korban, tapi pembisuan terhadap korban,” ujarnya.

‘Belum selesai’

Maria Catharina Sumarsih adalah salah seorang yang tak kenal lelah menuntut keadilan bagi para korban mahasiswa yang tewas diterjang peluru aparat saat aksi unjuk rasa, termasuk puteranya, Bernardinus Realino Norma Irawan alias Wawan.

Bersama 150-an anggota keluarga mahasiswa dan korban lain, Maria yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan ikut dalam peringatan 20 tahun tragedi Mei 1998 yang digelar 13 Mei lalu, termasuk tabur bunga di Prasasti Mei 98 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

“Kami menuntut pelanggaran berat masa lalu yang sudah diusut Komnas HAM diteruskan ke pengadilan HAM ad hoc agar ada jaminan tak terjadi pengulangan kasus serupa,” ujar Maria kepada BeritaBenar.

“Ada pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur dan Tanjung Priok. Tapi semua komandan yang diduga sebagai pelaku tidak diadili. Semua dibebaskan. Ini semua belum selesai.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.