Mantan Napi Teroris Ditangkap Densus 88 di Probolinggo

Seorang mantan teroris mengatakan perekrutan jaringan teror biasa dilakukan lewat ceramah agama dan media sosial.
Yovinus Guntur
2018.06.01
Surabaya
180601_ID_terorisSrby_1000.jpg Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) saat mendatangi Mapolda Jawa Timur di Surabaya, 15 Mei 2018.
Yovinus Guntur/BeritaBenar

Aparat Densus 88 Antiteror terus memburu jaringan terorisme di Jawa Timur (Jatim). Kamis malam, 31 Mei 2018, seorang mantan narapidana teroris berinsial IR ditangkap di Kelurahan Sumbertaman, Kota Probolinggo.

Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol. Frans Barung Mangera, menyebutkan bahwa dalam penangkapan itu, tim Densus menyita sejumlah barang bukti, seperti replika senjata AK-47, senapan angin kaliber 5,5 mm, dan buku tentang Al Qaeda.

“IR adalah adik terduga teroris IS yang sudah ditangkap lebih dulu,” katanya, Jumat.

“Tidak ada perlawanan dari IR setelah diamankan Densus 88 yang dibantu anggota Polres setempat.”

IR pernah ditangkap Densus 88, karena terlibat peracikan bom pipa di rumah kontrakannya di Kecamatan Mayangan, pada 2012. Bom itu rencananya akan diledakkan di Surabaya.

IR divonis enam tahun penjara. Tapi ia hanya menjalani hukuman empat tahun lebih karena mendapatkan pembebasan bersyarat pada 13 Mei 2018.

“Dia masih diperiksa di Mapolda Jatim,” jelas Frans.

Selain IR, Densus 88 juga menciduk WDP (35) di Kelurahan Pilang, Kota Probolinggo, Kamis dini hari.

Beberapa barang bukti yang diamankan ialah busur beserta anak panah yang diduga dipakai untuk latihan, laptop dan ponsel, dan senapan angin beserta telescop, kata Frans.

“Penangkapan WDP adalah hasil pengembangan dari empat terduga teroris yang ditangkap di Probolinggo beberapa hari lalu,” katanya.

Para terduga teroris yang terus ditangkap Densus 88 itu diduga terkait dengan aksi teror di Kota Surabaya dan Sidoarjo pada 13 dan 14 Mei lalu yang menewaskan 13 warga sipil dan 13 pelaku.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan bahwa setelah serangan bom bunuh diri di Surabaya, polisi bergerak cepat dan telah menangkap 38 terduga teroris serta menembak mati empat lainnya.

“Kami ingin memberikan rasa aman kepada masyarakat,” ujarnya kepada para wartawan usai acara buka puasa bersama di Mapolda Jatim di Surabaya, Kamis malam.

"Ada beberapa pelajaran yang kita petik dari serangan terorisme di Surabaya dan Sidoarjo. Pertama, Surabaya ternyata tidak lepas dari incaran terorisme. Kedua, terorisme kini telah melibatkan keluarga, termasuk ibu dan anak-anaknya," tambahnya.

Pola perekrutan

Hasan, seorang mantan napi terorisme kepada BeritaBenar mengatakan, ada beberapa pola perekrutan biasa dilakukan dalam jaringan terorisme.

Pola pertama menggunakan model ta’lim seperti dilakukan Aman Abdurahman – terdakwa kasus terorisme yang telah dituntut hukuman mati.

Ta’lim adalah proses pemberitahuan pengetahuan, pemahaman dan pengertian. Untuk hal ini, biasanya pemahaman yang diberikan seputar makna jihad.

Khusus JAD diberikan pemahaman bahwa Daulah (kekuasaan) sudah dekat dan harus diraih dengan cara-cara tertentu.

Untuk serangan yang terjadi di Surabaya, Hasan melihat sebagai pola turunan karena pelaku yang melancarkan pengeboman semuanya keluarga dan berasal dari orang tua laki-laki yang memiliki paham radikal.

Pola kedua adalah memanfaatkan media sosial sebagai sarana merekrut kader teroris. Hal ini yang dilakukan ISIS dalam propaganda Daulah.

“Pemanfaatan media sosial lain adalah adanya video propaganda yang disebarkan kelompok JAD pasca peristiwa Mako Brimob,” ujar Hasan, merujuk pada “pemberontakan” narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Besar Brimob di Depok, Jawa Barat, awal Mei.

Hasan adalah salah seorang pelaku pengeboman di Salemba Jakarta pada 2013 yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan mendapat remisi setahun, sehingga bebas tahun 2016. Hasan masuk dalam jaringan teroris Abdullah Sonata, seorang gembong teroris yang disebut polisi terlibat dalam berbagai aksi terorisme antara tahun 2000-2010.

Sel tidur JAD

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe di Aceh, Al Chaidar yang dihubungi BeritaBenar mengatakan, jaringan terorisme di Jawa Timur berasal dari kelompok lama semasa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).

Pada periode 2014 – 2016, sebagian mereka kemudian mendirikan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

“JAD di Jawa Timur berkiblat Aman Abdurahman,” kata Chaidar.

Dia menambahkan ada sekitar 700 pengikut JAD di Jawa Timur yang tersebar di Surabaya, Sidoarjo, Probolinggo, Malang, dan Banyuwangi.

“Penyebarannya memang tidak merata di semua daerah,” katanya.

“Ya benar, apa yang terjadi di Surabaya, semacam sel tidur yang bangun kembali,” kata pengamat terorisme lain dari The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya, yang sependapat bahwa JAD ada di belakang pengeboman di Surabaya.

Abu Ulya meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan pihak terkait lain untuk memonitor WNI yang dideportasi dari Turki saat hendak masuk Suriah.

“Warga Surabaya tak sedikit yang ingin ke Suriah tapi dipulangkan setelah tertangkap di Turki. Mereka yang seharusnya dimonitoring secara khusus,” katanya.

Kepala BNPT Komjen. Pol. Suhardi Alius menyatakan pihaknya terus memantau ratusan WNI yang pulang dari Suriah.

"Ada beberapa ratus, tapi saya lupa. Kami datakan itu semua, bahkan kami petakan," ujarnya seperti dikutip dari laman Kompas.com.

Sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing, mereka mengikuti program deradikalisasi BNPT selama sebulan dan dikelompokkan ke dalam beberapa klaster sesuai tingkat paparan paham radikal.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.