Indonesia Tingkatkan Pengamanan Laut Natuna
2017.09.14
Jakarta
Indonesia harus mengerahkan penjagaan keamanannya di perairan Natuna dengan meningkatkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) lengkap dan terintegrasi, demikian disampaikan pengamat pertahanan, mendukung rencana pemerintah dalam upaya menjaga stabilitas keamanan di kawasan rawan konflik tersebut.
Connie Rahakundini, Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Studies, mengatakan Indonesia harus lebih jeli menghadapi konflik yang sering terjadi di perairan itu.
“Benahi penjaga perairan Indonesia, susun strategi dan perkuat alutsista karena di sana bukan saja di perairan, tetapi udara juga harus kuat,” ujar Connie kepada BeritaBenar, Kamis, 14 September 2017.
Menurutnya, ada empat faktor yang selalu ada dalam konflik perairan yaitu masalah zona laut nasional, zona tradisional perikanan, kepentingan bisnis perikanan, dan hubungan dengan negara-negara tetangga.
“Indonesia memerlukan kekuatan maritim mumpuni bukan hanya untuk Angkatan Laut, tapi juga untuk nelayannya di laut,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim), Luhut Binsar Pandjaitan, sehari sebelumnya dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, juga mengatakan bahwa Indonesia akan terus meningkatkan upaya penjagaan kekayaan laut, terutama di perairan Natuna yang kerap menjadi objek pencurian ikan atau illegal fishing.
“Sekarang kami sedang fokus bagaimana mengamankan Natuna ini karena bukan saja illegal fishing yang menjadi ancaman, ekosistem biota laut pun rentan dari kerusakan karena banyaknya kapal yang melintas di wilayah tersebut,” ujarnya.
Dengan berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, dia mengajukan kepada DPR untuk memperkuat peralatan pertahanan di wilayah perairan tersebut, yang tak hanya dijaga kapal patroli.
"Laut Natuna ini penting dari aspek ikan maupun pertahanan karena itu kami usulkan penggunaan satelit drone, pesawat terbang, satu terintegrasi,” jelasnya.
“Kalau ini terlaksana, kita dapat menunjukkan bahwa kita negara kepulauan dan bisa mengendalikan pertahanan sebagai negara maritim terbesar di dunia."
Dengan peralatan canggih tersebut, Indonesia bisa mendeteksi jika ada kapal asing yang masuk bahkan kapal selam pun dapat terdeteksi.
"Lalu lalang kapal selam nuklir dari negara tertentu pasti bisa kami monitor karena kami bersama BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mengembangkan satu alat sensor yang bisa kita tanam dengan cost tak terlalu mahal," ujar Luhut.
Menurutnya, jika alat sensor yang saat ini ditanam di Selat Sunda nantinya sukses dalam menjaga kedaulatan Indonesia dari kapal asing tak berizin maka sensor sejenis juga akan ditanam di wilayah lain.
"Kalau sukses, kita bikin tempat lain seperti (Laut) Natuna. Sekarang kita sedang melihat bagaimana kita mengamankan Natuna,” tegasnya.
Luhut akan mengusulkan pengerahan alutsista lengkap dan terintegrasi di Natuna untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan tersebut.
Sebelumnya, pada 2016 lalu terjadi beberapa kali kisruh antara aparat penjaga perairan Indonesia yang menangkap kapal pencuri ikan asal China dengan kapal penjaga pantai China.
Pemerintah Beijing menetapkan sembilan garis putus-putus yang masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.
Protes China
Akhir Agustus lalu, Pemerintah China meminta Indonesia untuk membatalkan keputusan mengganti nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
China mengirimkan surat kepada Kedutaan Besar Indonesia di Beijing yang menyatakan penolakan atas langkah Indonesia yang pada Juli lalu mengumumkan peta baru dengan nama Laut Natuna Utara.
Pemerintah China mengatakan langkah Indonesia mengubah "nama yang diterima secara internasional" menghasilkan "komplikasi dan perluasan perselisihan, dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas".
Luhut ketika ditanya wartawan, Rabu, terkait protes China menolak berkomentar. Tetapi sebelumnya, dia menyatakan, perubahan nama Laut Natuna Utara dilakukan di perairan Indonesia dan tidak menyentuh wilayah negara lain.
“Perubahan peta kita masih tetap yang di daerah kita, tidak sampai ke South China, masih di zona 200 kilometer, itu kawasan kita,” katanya seperti dikutip dari laman CNN Indonesia.
Connie mengatakan, perubahan nama itu adalah hak penuh Indonesia sebagai pemilik perairan untuk menamakan wilayahnya sendiri.
“Protes tersebut tidak perlu ditanggapi karena wilayah tersebut adalah wilayah kita dan kita punya hak untuk itu,” katanya.
Pendapat yang sama dikatakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana dengan menyebutkan, pemberian nama itu tepat karena wilayah tersebut masih dalam ZEE Indonesia.
“Indonesia tak perlu menanggapi (protes China). Pada 2011, Filipina juga menamai zona maritimnya dengan nama West Philippinnes Sea,” ujarnya seraya menambahkan bahwa dia mendukung langkah pemerintah Indonesia yang membuat peta baru NKRI.
Anggota Komisi I DPR RI, Syarief Hasan, mengatakan protes China itu tak berdasar, sebab Laut Natuna Utara adalah wilayah Indonesia.
“Silahkan saja, protes saja, ini kan tidak masuk wilayah yang disengketa China. Kalau itu disengketakan, lain masalah. Tapi kalau daerahnya, daerah kita, itu urusan kita," katanya kepada BeritaBenar.
Hal ini didukung anggota komisi I lain, Andreas Hugo Pereira.
"Kita punya wilayah yang diakui secara hukum internasional. Protes Cina itu tidak perlu dihiraukan, yang penting dunia internasional mengakui itu wilayah kita," tegasnya.