Ketika Nelayan Korban Tsunami Palu Jadi Buruh Serabutan
2019.06.26
Palu
Matahari begitu terik memancarkan sinarnya. Meski angin berhembus kencang, namun panas terasa hingga ke ubun-ubun mereka yang sedang beraktivitas di pinggiran pantai.
Bahtiar dan beberapa warga lain seperti tak peduli dengan sengatan sang surya. Mereka begitu semangat menggelar jaring kecil di bekas jalan pemukiman pantai Kampung Lere, Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang hancur dihantam tsunami, sembilan bulan silam.
Jaring kecil yang digelar adalah wadah untuk menjemur udang kecil atau biasa disebut “lamale” oleh warga di kelurahan berpenduduk lebih dari 11.000 orang itu.
Lamale yang dijemur bukan milik lelaki 45 tahun itu, melainkan punya kerabat Bahtiar, nelayan yang baru saja pulang dari melaut.
Bahtiar dan warga lain jadi buruh menjemur lamale. Pekerjaan itu dilakoni Bahtiar untuk mendapatkan uang agar dua anaknya yang selamat dari bencana gempa dan tsunami 28 September 2018, bisa jajan.
Setelah bencana dahsyat menerjang, Bahtiar kehilangan pekerjaan sebagai nelayan karena perahu beserta alat tangkap ikan musnah digulung tsunami.
Rumahnya hancur. Istri tercintanya pun ikut tewas dalam musibah yang merenggut lebih dari 4.400 jiwa.
“Kebetulan lagi musim lamale. Lumayan jadi buruh jemur dapat upah Rp50.000 sehari. Hitung-hitung bantu kerabat juga,” tutur Bahtiar seraya menebar ebi di atas penjemuran saat ditemui BeritaBenar, Minggu, 23 Juni 2019.
Selain buruh jemur ebi, Bahtiar juga kadang menjadi buruh bangunan.
Dia mengaku tiga bulan usai bencana lebih banyak menghabiskan waktu menjaga anak-anaknya yang berusia 10 dan 8 tahun di pokso pengungsian Masjid Agung.
“Kalau bekerja, anak-anak saya titipkan sama keluarga di posko,” ungkapnya.
Selama ini, Bahtiar dan para nelayan lain menunggu kepastian pemerintah yang telah berjanji ingin memberi bantuan perahu dan alat tangkap ikan kepada seluruh nelayan di Kelurahan Lere.
Tetapi, hingga hampir sembilan bulan berlalu, mereka belum mendapatkan bantuan dan hanya merasa diberi janji manis oleh pemerintah.
“Setiap bulan perwakilan pemerintah datang ke posko untuk mendata, tapi hingga kini tidak ada realisasinya,” tuturnya.
Nasib sama dirasakan Kasim (51), yang kini menjadi tukang parkir liar di salah satu pusat perbelanjaan Kota Palu, untuk mendapatkan uang.
“Untuk terus bertahan hidup bersama istri di posko pengungsian tentu harus ada uang,” katanya.
Sebelum bencana, Kasim ialah nelayan yang biasa menghasilkan banyak tangkapan ikan sehingga cukup menghidupi istri dan anak semata wayang.
“Sekarang menghidupi diri dan istri saja susah. Dulu waktu masih ada perahu enak bisa melaut,” katanya.
Sama seperti Bahtiar, Kasim juga kehilangan perahu, alat tangkap ikan, dan rumah saat tsunami.
Tak hanya itu, anaknya, Randi (18), juga ikut menjadi korban yang saat bencana datang sedang bermain di pantai bersama teman-temannya.
Kasim dan istrinya telah berusaha mencari anak mereka, tetapi tak pernah ditemukan, hingga akhirnya mereka mengikhlaskan kepergian Randi.
“Mau dicari di mana lagi. Kami juga sudah keliling semua rumah sakit tidak ada jenazah Randi. Mungkin Randi sudah dapat tempat terbaik di sisi Allah,” jelas Kasim.
Tidak tepat sasaran
Sejatinya, bantuan untuk warga Kelurahan Lere yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, pernah disalurkan.
“Waktu itu ada sekitar 20 perahu dibagi. Namun tidak jatuh sama warga yang memang sehari-hari nelayan. Malah jatuh kepada orang-orang yang bukan nelayan,” kata Edi, seorang warga setempat.
Bantuan perahu beserta alat tangkap disalurkan salah satu bank, yang membagi secara acak kepada warga yang ditemui di Lere.
Parahnya, banyak warga yang mendapat bantuan perahu adalah warga yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan dan tukang ojek pangkalan, sehingga ada perahu yang tidak digunakan untuk melaut.
Warga lain, Nurhadi (35) menambahkan, bantuan dari pemerintah sebenarnya sudah ada, tapi baru sebatas mesin perahu.
Menurutnya, pemerintah baru akan menyiapkan perahu dan alat tangkap ikan ketika semua warga yang berprofesi sebagai nelayan sudah terdata dengan baik.
“Informasi yang saya dengar seperti itu. Memang sudah ada mesin. Tapi kalau perahu dan alat tangkap ikan tidak ada, kan percuma juga. Tidak mungkin nelayan mau pakai mesin saja,” jelas Nurhadi.
Siapkan 250 perahu
Wali Kota Palu, Hidayat membantah pemerintah belum menyerahkan bantuan untuk nelayan Kelurahan Lere karena mesin perahu sudah diberikan beberapa waktu lalu.
“Beberapa bulan lalu kami sudah serahkan bantuan sarana untuk kebutuhan melaut. Kalau dikatakan belum, itu salah,” jelasnya saat dikonfirmasi.
Hidayat mengatakan, bantuan itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian warga yang terpuruk akibat bencana.
Dengan ada bantuan mesin perahu, tambahnya, pemerintah berharap nelayan kembali bisa beraktivitas sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Hidayat menjelaskan, setelah memberikan mesin perahu, pemerintah akan membangun 250 perahu untuk nelayan yang ada di sejumlah wilayah pesisir Teluk Palu.
“Sekarang masih didata dulu nelayan biar bantuannya tepat sasaran. Yang pasti ada 250 unit perahu yang akan kita distribusikan,” jelasnya.
Hidayat menambahkan, bukan hanya nelayan yang mendapatkan bantuan pemerintah, tetapi warga lain, termasuk para pelaku UKM.
“Yang pasti semua akan kami beri bantuan. Tujuannya agar perekonomian masyarakat semakin membaik,” tegasnya.
Bahtiar, Kasim, Edy, Nurhadi, dan nelayan yang bertahan di posko pengungsian Masjid Agung masih menunggu turunnya bantuan dari pemerintah.