NU, Muhammadiyah Diminta Suarakan Penderitaan Muslim Uighur

Hubungan ekonomi dengan China ditengarai menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia kurang vokal menyuarakan isu pelanggaran HAM di Xinjiang.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2019.10.22
Jakarta
191022_ID_Donovan_1000.jpg Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph Donovan melakukan foto bersama dengan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir (dua dari kanan) dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti (kanan) di Jakarta, 15 Oktober 2019.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan akan mencari informasi lebih lanjut mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang dialami minoritas etnis Uighur di Xinjiang, China.

Sementara itu, Muhammadiyah, mengatakan masalah dugaan pelanggaran HAM tidak dapat dibenarkan namun penindasan terhadap minoritas Muslim Uighur tersebut harus dapat dibuktikan secara adil.

Reaksi kedua organisasi massa Muslim terbesar di Indonesia itu disampaikan setelah Duta Besar Amerika Serikat (AS) Joseph Donovan menyinggung dan membahas isu tersebut dalam pertemuan dengan pimpinan kedua organisasi, itu Selasa pekan lalu dan Senin.

“Saya meminta NU untuk meninjau kembali situasi di Xinjiang,” ujar Donovan kepada wartawan usai bertemu Ketua PBNU Said Aqil Siradj dan pimpinan NU lain di Jakarta Pusat, Senin, 21 Oktober 2019.

Donovan mengaku dia sudah menjelaskan apa yang digambarkan lima organisasi HAM internasional dalam surat bersama mereka kepada Sekretaris Jenderal PBB, bahwa apa yang terjadi di Xinjian adalah “salah satu isu hak asasi manusia yang paling mendesak di masa sekarang.”

“Kita akan mengumpulkan informasi dulu, tim akan menganalisa informasi itu,” ujar Said menanggapi BeritaBenar mengenai bagaimana NU akan meninjau ulang masalah itu.

Said mengatakan NU akan bersuara bila memang yang terjadi di sana pelanggaran HAM, namun tidak akan bisa mencampurinya bila ada satu kelompok yang ingin merdeka dari China karena itu menjadi masalah politik dan urusan dalam negeri China.

Pada 16 September lalu, lima organisasi HAM internasional – Amnesty International, Human Rights Watch, Internatinal Commission of Jurists, International Federation for Human Rights dan World Uighur Congress – mengirim surat bersama kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.

Koalisi lima kelompok advokasi HAM tersebut menyampaikan “keprihatinan yang mendalam akan penahanan yang sewenang-wenang terhadap lebih dari satu juta Muslim di wilayah Xinjiang, China.”

Meski fakta-fakta dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang sudah ditunjukkan kelima organisasi tersebut, Muhammadiyah mengatakan bahwa penindasan terhadap minoritas Muslim etnis Uighur harus dapat dibuktikan secara adil, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana pembuktian itu harus dilakukan.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyebut, pelanggaran HAM dimana pun dan oleh siapa pun adalah praktik yang harus dihentikan karena hal itu tidak dapat dibenarkan.

“Oleh karena itu, persoalan ini harus dilihat secara seksama dan harus ada pembuktian secara adil mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia," ujarnya kepada wartawan usai bertemu Donovan di Jakarta, 15 Oktober 2019.

"Jangan sampai persoalan hak asasi manusia ini dijadikan komoditas politik oleh negara tertentu terhadap negara yang lain, karena masalah ini ada dimana-mana."

‘Terus bersuara’

Donovan meminta Muhammadiyah terus menyuarakan keprihatinan mereka tentang dugaan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Muslim Uighur.

“Saya mendorong Muhammadiyah terus bersuara menentang penindasan terhadap kelompok minoritas Uighur di China,” ujar Donovan.

Dia menambahkan AS sudah mengangkat isu tersebut kepada pemerintah Indonesia, tapi menolak untuk memberikan penilaiannya akan tanggapan pemerintah Indonesia.

“Saya tidak akan mengkarakterisasi tanggapan (pihak Indonesia). Tapi yang pasti, kami sudah menyampaikan keprihatinan kami tentang apa yang terjadi, bukan hanya di Xinjiang, tapi juga di Kazakhstan dan di tempat lainnya, atas insiden yang menimpa jutaan orang di sana," ujarnya.

Kementerian Luar Negeri Indonesia telah membantah tudingan Indonesia tidak memberikan perhatian mengenai masalah Uighur, dengan mengatakan pihaknya telah memanggil duta besar China pada bulan Desember 2018 untuk mencari penjelasan tentang tuduhan tersebut.

Pertengahan bulan ini, Indonesia diterima sebagai anggota Dewan HAM PBB 2020-2022, posisi ini diyakini akan membuat Indonesia berada dalam tekanan lebih besar untuk mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur.

Isu perdagangan dan Papua

Laporan lembaga think tank berbasis di Jakarta, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), yang dikeluarkan Juni lalu, menjelaskan mengapa Indonesia cenderung terlihat diam dalam menghadapi isu tersebut.

Analis IPAC, Deka Anwar, menyebutkan hubungan ekonomi yang kuat dengan China menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia kurang vokal menyuarakan isu pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.

“Yang lebih penting adalah Indonesia merasa tidak perlu mencampuri bagaimana China memperlakukan kelompok separatis sebagaimana juga Indonesia tidak akan menerima pihak luar mencampuri urusan Papua,” ujar Deka.

China juga telah melancarkan berbagai cara diplomasi mendekati kedua organisasi ini, salah satunya dengan mengundang pemuka-pemuka agama di Indonesia, terutama dari NU dan Muhammadiyah untuk mengunjungi Xinjiang pada Februari 2019 agar mereka dapat melihat tentang kebebasan beragama dilindungi dan Muslim di sana bebas untuk beraktivitas dan beribadah.

“Waktu saya ke sana, saya lihat sendiri mereka bebas untuk sholat,” ujar Said kepada wartawan.

‘Asrama kejuruan’

Sekitar 1,5 juta orang Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya yang dituduh memiliki pandangan-pandangan “keagamaan yang kuat” dan dinilai “tidak benar secara politis” telah dimasukkan dalam kamp-kamp di Xinjiang, China, sejak April 2017.

Sementara AS dan negara Barat lainnya telah mengecam dan melancarkan seruan untuk menjatuhkan sanksi terhadap China atas perlakuan mereka terhadap etnis Uighur, Dunia Muslim, dengan beberapa pengecualian, tetap diam.

Pemerintah China pada awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp itu, tahun ini Negara Tirai Bambu itu menyampaikan pernyataan yang berbeda dengan mengatakan fasilitas itu sebagai "asrama" yang menyediakan pelatihan kejuruan bagi orang Uighur. Program tersebut juga dikatakan sebagai upaya pemerintah dalam mencegah radikalisasi terorisme.

Namun, liputan dari Radio Free Asia, media yang berafiliasi dengan BeritaBenar, dan juga sejumlah media lain menunjukkan bahwa mereka yang berada di kamp-kamp itu telah dimasukkan di sana di luar kehendak mereka dan menjadi sasaran indoktrinasi politik. Selain menerima perlakuan kasar, fasilitas dalam kamp tersebut juga buruk, tidak bersih, dan penuh sesak.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.