Belasan Ribu Nahdliyin Protes ‘Full Day School’
2017.08.24
Solo
Belasan ribu warga Nahdlatul Ulama (NU) se-Solo Raya melancarkan aksi long march di Solo, Jawa Tengah, Kamis, 24 Agustus 2017, untuk memprotes kebijakan pemberlakuan sekolah lima hari atau full day school yang dinilai bisa mematikan madrasah.
Massa Nahdliyin dari berbagai wilayah seperti Surakarta, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, dan Klaten yang membawa berbagai bendera organisasi dan spanduk meneriakkan yel-yel, “Mau jadi apa Indonesia tanpa madrasah?”
Pengunjuk rasa memadati Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di Kota Solo mulai dari Sriwedari hingga Glagag sepanjang satu kilometer. Aksi damai itu diisi dengan orasi tokoh NU yang dilanjutkan dengan istighosah (doa untuk meminta pertolongan Allah) di Masjid Agung Surakarta.
Koordinator NU Solo Raya, KH Mubarok, menuntut pemerintah agar mencabut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomer 23/2017 tersebut yang dikeluarkan Juni tahun ini tentang Program Penguatan Pendidikan Karakter yang mengatur tentang lima hari sekolah per minggu dengan delapan jam per harinya (full day school), dari sebelumnya enam hari sekolah per minggu dengan waktu belajar enam setengah jam per hari.
“Aturan full day school sama artinya pemerintah menjauhkan anak-anak dari pesantren. Kondisi ini sangat mengancam karena moralitas generasi penerus bangsa bisa merosot,” ujar Mubarok.
Ketua pelaksana aksi, Muhammad Mahbub, menyebutkan di Solo Raya terdapat sekitar 400 madrasah diniyah yang terdaftar, sementara yang tidak terdaftar mencapai 4.000 lembaga.
“Kalau tidak dicabut maka bisa memberangus madrasah diniyah yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Mahbub mengklaim jumlah massa yang mengikuti aksi unjuk rasa itu mencapai 25.000 orang. Tetapi sumber polisi yang ditanya BeritaBenar menyatakan pengunjuk rasa lebih dari 10.000 orang.
Tunggu Perpres
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, enggan berkomentar banyak. Ia memilih menunggu Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengganti peraturan menteri tersebut, yang dijadwalkan akan terbit awal September seperti dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Didik Sunardi di laman Kompas.com.
“Tunggu Perpresnya saja,” katanya melalui pesan singkat saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Saat ditanya apakah kebijakan itu akan dilanjutkan meski ada protes terutama dari NU, Muhadjir hanya menjawab, “Tetapi yang setuju, diam saja.”
Melalui laman Facebook resminya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pernah mengimbau masyarakat tidak merisaukan soal wacana sekolah lima hari.
“Yang selama ini bersekolah enam hari dalam seminggu, silakan lanjutkan. Tidak perlu berubah sampai lima hari. Begitu juga yang sudah menerapkan lima hari sekolah. Kalau memang diinginkan oleh semua pihak, diinginkan masyarakat dan ulama, ya silakan,” tulis Jokowi, 14 Agustus lalu.
Namun demikian, NU ingin kebijakan tersebut tetap dicabut karena walaupun ada sekolah yang tetap memberlakukan enam hari sekolah, peserta madrasah tetap berkurang sebagai dampak dari peraturan tersebut.
Di Solo Raya, tidak semua sekolah memberlakukan sekolah lima hari. Awal dimunculkan ide full day school, Pemerintah Kota Solo sempat menolak. Tetapi akhirnya menyatakan siap menerima program itu meski berharap pelaksanaannya bertahap.
“Kebijakan ini sudah melalui kajian yang matang dan harapannya bisa meningkatkan kualitas pendidikan,” ujar Wakil Walikota Surakarta, Achmad Purnomo.
Plt. Bupati Klaten Sri Mulyani, menyatakan di daerahnya sekolah lima hari telah diterapkan di tingkat SMP dan SMA.
Sedangkan, tingkat Sekolah Dasar (SD) masih belum dengan pertimbangan usia anak-anak yang belum mampu jika harus berada di sekolah selama delapan jam.
Dalam rapat kerja DPR bulan Juni lalu, Menteri Muhadjir Effendy mengatakan bahwa kebijakan full day school ini adalah untuk meningkatkan kinerja guru. "Karena setelah puluhan tahun berjalan kriteria penilaian terhadap kinerja guru dianggap kurang sesuai di lapangan," ujarnya saat itu seperti dikutip di JawaPost.com.
Kebijakan itu juga, seperti dikutip di laman yang sama, dikatakan untuk mendukung peraturan pemerintah Nomor 19/2017 tentang revisi beban kerja guru yang disesuaikan dengan aparatur sipil negara lainnya, yaitu lima hari kerja.
Pro dan kontra
Sejak full day school diberlakukan pada tahun pelajaran yang dimulai Juli lalu, Siswanti (45) terpaksa memaklumi jika putrinya yang bersekolah di salah satu SMA di Klaten, tak mau membantunya mengerjakan tugas-tugas rumah.
Padahal saat masih duduk di bangku SD dan SMP, anak gadisnya rutin membantunya melakukan pekerjaan di rumah seperti mencuci piring, menyapu rumah dan mencuci pakaiannya sendiri.
“Alasannya capek, pulang sekolah sudah tidak mau melakukan apa-apa lagi, belajar juga tidak,” ujar Siswanti kepada BeritaBenar.
Selama lima hari sekolah, putrinya berangkat sekitar pukul 06.15 WIB dan baru pulang sekitar pukul 16.30 WIB. Sementara hari Sabtu, sekolah memang tidak memiliki jadwal pelajaran, tapi kadang diisi sekolah dengan kegiatan ekstra.
Sementara hari minggu jika tidak ada acara dengan teman-temannya, putrinya bangun siang. Siswanti yang suaminya bekerja sebagai sopir dan dia sendiri sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan juga terpaksa menambah uang saku anaknya menjadi dua kali lipat.
Ernawati (40), seorang peserta aksi yang anaknya bersekolah di salah satu SD di Solo mengaku kasihan membayangkan anaknya harus sekolah sampai sore dan kemudian tidak bisa lagi ikut mengaji bersama di TPA dekat rumahnya.
“Interaksi dengan keluarga juga tetangga nantinya pasti juga berkurang, kan,” ujarnya.
Berbeda dengan Wahyuni (47) yang putranya bersekolah di salah satu SMA favorit di Klaten. Menurutnya, setelah full day school diberlakukan, anaknya justru sudah tidak dibebani lagi dengan PR dari sekolah. Dia juga tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk les mata pelajaran.
“Sekarang tidak perlu les tambahan yang dulu pulangnya justru bisa sampai malam, sekarang jam 16.00 WIB sudah di rumah, makan, mandi, tidur,” tuturnya.