Panglima: Hukum mati anggota TNI yang bunuh warga atas dugaan pemerasan
2023.08.28
Jakarta
Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Yudo Margono pada Senin meminta agar anggota militer yang diduga membunuh warga sipil atas dugaan upaya pemerasan dihukum berat, hingga hukuman mati, dan dipecat dari dinas ketentaraan, demikian kata pejabat di instansi terkait.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan Panglima prihatin atas dugaan penganiayaan dan pembunuhan seorang pedagang kosmetik asal Aceh yang tinggal di Tangerang, Banten, oleh tiga oknum anggota TNI, yang salah satunya anggota Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres).
"Panglima TNI akan mengawal kasus ini agar pelaku dihukum berat, maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup," kata Julius kepada BenarNews, Senin (28/8).
"Pasti dipecat dari TNI karena termasuk tindak pidana berat, melakukan perencanaan pembunuhan. Itu perintah terang dari Panglima TNI," tambah Julius.
Polisi militer telah menahan tiga anggota TNI yang diduga menganiaya Imam Masykur, 25, hingga meninggal. Salah satu personel TNI tersebut adalah Prajurit Kepala Rismandi Manik yang merupakan anggota Paspampres.
Sedangkan dua rekannya yakni Prajurit Kepala HS dari Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat dan Prajurit Kepala J dari Kodam Iskandar Muda, Aceh, kata Komandan Polisi Militer Daerah Militer Jayakarta Kolonel Irsyad Hamdie Bey Anwar.
“Semuanya sudah ditahan dan ditangani sesuai prosedur,” ujar kata Irsyad kepada BenarNews pada Senin.
Irsyad mengatakan bahwa Imam merupakan penjaga toko obat-obatan dan kosmetik yang sehari-sehari berjualan di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Menurut Irsyad, pelaku bersama dua rekannya sesama tentara pada 12 Agustus menganiaya korban karena mencurigai warga Aceh tersebut menjual obat-obatan terlarang.
Para oknum aparat keamanan itu mengancam akan melaporkan Imam kepada polisi jika tidak menyetor uang Rp50 juta.
Namun, Imam tidak dapat memenuhi permintaan itu sehingga para pelaku menyiksa korban hingga meninggal dunia.
“Motifnya adalah pemerasan (uang) karena diduga korban merupakan penjual obat-obatan terlarang,” jelas Irsyad.
Tuduhan pelaku bahwa Imam adalah penjual obat terlarang ditampik langsung oleh Fauziah (47) ibu kandung dari korban.
“Tidak ada dia menjual itu. Itu info yang tidak benar,” kata Fauziah yang meminta pemerintah menghukum para tersangka pembunuh anaknya semaksimal mungkin dan seadil-adilnya.
Perwakilan keluarga di Jakarta, kata Fauziah, telah melaporkan kasus pembunuhan ini ke Polda Metro Jaya pada 14 Agustus lalu.
“Kami keluarga tidak ada maaf kepada pelaku,” ucapnya saat dihubungi BenarNews.
Fauziah mengaku anaknya menelepon keluarga ketika masih disiksa oleh personel TNI.
“Dia menelepon, minta uang Rp 50 juta,” ujar Fauziah.
Video penyiksaan Imam oleh ketiga oknum anggota TNI menyebar di media sosial. Dalam video tersebut, Imam mengerang kesakitan karena punggungnya terus dipukul. Imam kemudian mengontak keluarganya di Bireun, Aceh, untuk meminta Rp50 juta sebagai uang tebusan.
Said Sulaiman, sepupu Imam, mengatakan video penyiksaan tersebut dikirim oleh para anggota TNI yang tengah melakukan penyiksaan pada 12 Agustus.
“Mereka mengirimnya kepada kami. Imam menelepon keluarga saat sedang disiksa,” ujar Said kepada BenarNews.
Kolenel Irsyad mengatakan jasad Imam dibuang di jembatan Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat dan ditemukan di Karawang pada tanggal 15 Agustus.
Pada 23 Agustus, jasad dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta untuk diautopsi, ungkap Irsyad.
Aktivis HAM kecam
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan yang dilakukan sejumlah anggota TNI tersebut.
Koordinator KontraS Dimas Arya mengatakan kekerasan yang berulang di institusi TNI terjadi karena tidak adanya mekanisme akuntabilitas hukum yang dapat memberi efek jera pada pelaku dan rasa keadilan bagi keluarga korban.
Dia mencontohkan kasus penculikan dan juga pembunuhan oleh TNI terhadap Theys Eluay, ketua Presidium Dewan Papua, sebuah organisasi resmi masyarakat kesukuan Papua, dan sopirnya, Aristoteles Masoka, pada 10 November 2001 tidak pernah diungkap secara jelas.
“Ini menjadi satu ironi yang kami rasa bukan satu hal asing kalau melihat sejarah yang memang masih belum pernah ada inisiatif atau upaya untuk melakukan perbaikan di tubuh TNI sendiri,” jelas Dimas kepada BenarNews.
Dimas mengatakan kasus pembunuhan aparat TNI kepada Imam merupakan kasus pidana umum dan layak diadili dalam peradilan umum.
Menurut dia, Undang-Undang TNI pasal 65 menyatakan tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer adalah segala macam tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Sementara tindak pidana militer jika kita kaji lagi konstruksinya adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer aktif dalam masa konflik bersenjata atau perang,” kata Dimas.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mengecam keras tindakan para anggota TNI membunuh warga sipil.
Mereka mendesak agar proses hukum terhadap oknum anggota Paspampres itu dilakukan dalam peradilan umum dan tidak dalam peradilan militer untuk memastikan pengadilan berlangsung dengan transparan dan akuntabel.
“Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dalam penyelesaian kasus ini sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya dapat terpenuhi,” ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional mewakili Koalisi dalam keterangan tertulis.
Selama ini, kata dia, terdapat kasus-kasus kekerasan dan kejahatan pidana lainnya yang melibatkan anggota TNI, namun hukuman yang dijatuhkan kepada mereka tergolong ringan, bahkan ada yang dibebaskan.
“Penghukuman yang tidak adil terjadi akibat oknum anggota TNI yang terlibat kejahatan diadili dalam peradilan militer yang sama sekali tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas,” ujar Usman.