Ribuan Protes RUU Cipta Kerja, Bank Dunia Khawatirkan RUU Rugikan Buruh, Lingkungan
2020.07.16
Jakarta
Ribuan aktivis, buruh, dan mahasiswa berunjuk rasa di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya, Kamis (16/7), menentang dipangkasnya hak-hak buruh dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang bertujuan untuk menarik investasi asing, sementara Bank Dunia mengatakan bahwa peraturan yang kerap disebut Omnibus Law itu berdampak buruk pada pekerja dan lingkungan.
Dalam laporan yang dirilis pada hari yang sama, Bank Dunia mengkhawatirkan perundangan tersebut dapat “berdampak buruk pada kesehatan dan keselamatan masyarakat, kekayaan alam, dan hak-hak pekerja", walaupun lembaga itu mengakui bahwa RUU tersebut merupakan "langkah potensial ke arah yang benar" dengan menghapus praktik diskriminatif terhadap investor asing dan merampingkan aturan ekspor-impor.
Merujuk pada laporan Bank Dunia, namun tidak merespons langsung kekhawatiran yang diutarakan lembaga pembangunan internasional itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan RUU Cipta Kerja adalah salah satu solusi pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
“RUU Cipta Kerja dibuat demi menerapkan reformasi struktural yang mendalam. Mengutip dari laporan Bank Dunia, regulasi ini adalah langkah yang tepat,” kata Airlangga dalam konferensi pers virtual Bank Dunia, Kamis, dikutip dari akun YouTube Indonesia Economic Prospects.
“Pemerintah dan DPR telah menyepakati sebagian besar poin dalam RUU Cipta Kerja, semoga RUU yang sedang dibahas parlemen ini bisa segera diratifikasi,” tukasnya.
Namun tidak demikian respons dari ribuan mahasiswa, buruh dan anggota organisasi massa lainnya yang berdemonstrasi di sekitar gedung DPR RI di Jakarta dan di beberapa kota di Indonesia pada hari itu. Mereka menentang RUU yang dinilai sangat pro-investor tapi merugikan buruh dan mengancam kelestarian lingkungan itu.
“Wakil rakyat tidak lagi melindungi rakyat, mau tidak mau kita harus turun ke jalan,” kata Nining Elitos, dari Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Seluruh Indonesia (KASBI), di depan gerbang Gedung DPR RI.
Pengunjuk rasa terpantau berkumpul sejak pukul 09.30 WIB dan mengatakan akan membubarkan diri saat Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang IV Tahun 2019-2020 yang digelar DPR berakhir.
“Jika disahkan, karyawan kontrak makin susah diangkat jadi karyawan tetap. Hitungan upah minimum kabupaten/kota juga menjadi tidak jelas,” kata Nining, dalam pidatonya di depan kompleks DPR Jakarta.
Nining juga menyoroti masalah nilai pesangon karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam RUU Cipta Kerja yang bakal lebih rendah dibandingkan dengan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
“Di masa pandemi seperti sekarang ini pemerintah seharusnya memperkerjakan kembali pekerja yang terkena PHK, bukan malah membuat tambah sulit,” sebutnya.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, ratusan massa gabungan juga mengepung Gedung DPRD di Jl. Urip Sumoharjo dan menuntut pemerintah menghentikan dan mencabut RUU Cipta Kerja, yang sebelumnya disebut Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).
“Omnibus Law Cilaka jika diterapkan jelas akan menyengsarakan banyak orang. Makin menderita kita. Buruh apalagi,” kata salah satu demonstran kepada media lokal.
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan dirilis Rabu mengindikasikan sebanyak 52 persen masyarakat Indonesia mendukung dan memahami RUU Cipta Kerja.
"Sebesar 37 persen menyatakan tidak mendukung, dan itu cukup banyak juga," kata Direktur Riset SMRC, Deni Irvani.
Serikat pekerja tarik diri
Pada Selasa (14/7), sejumlah konfederasi dan serikat buruh memutuskan mengundurkan diri dari tim teknis RUU Cipta Kerja yang dibentuk Kementerian Ketenagakerjaan bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang Industri (Kadin).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Iqbal Said Apindo/Kadin tidak menerima konsep RUU dari serikat pekerja menyebabkan perwakilan buruh mundur dalam unsur tripartit itu.
“Unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari serikat pekerja dan tidak mau menyerahkan usulan mereka secara tertulis,” kata Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
Tim teknis awalnya dibentuk untuk mencari jalan keluar atas buntunya pembahasan ketenagakerjaan, termasuk menindaklanjuti kebijakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Ketua DPR RI yang menunda pembahasan RUU Cipta Kerja untuk bagian yang masih diperdebatkan.
Said menyebut tim ini baru pertama kali bertemu pada Rabu (8/7). Namun dari pertemuan tersebut, Kadin dan Apindo langsung mengembalikan draf yang diajukan serikat buruh.
“Ini menunjukkan Apindo/Kadin tidak memahami esensi pembahasan tripartit,” kata Iqbal.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani maupun Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani tidak memberikan respons terkait hal ini.
RUU HIP
Selain para buruh dan mahasiswa yang berunjuk rasa menentang pengesahan RUU Cipta Tenaga Kerja, terdapat sejumlah organisasi massa lain yang juga turun ke jalan untuk mengecam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menjadi salah satu RUU yang disepakati DPR untuk masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas 2020).
Di Jakarta, sekitar 2000-an massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti-Komunis (ANAK) NKRI meminta legislatif untuk membatalkan RUU HIP yang mereka sebut berbau komunisme.
“Kita akan menuntut siapapun, apapun, partai/ormas yang ingin mencoba untuk mengganti Pancasila dengan apapun untuk dibubarkan,” ucap salah satu orator yang tergabung dalam aliansi diklaim beranggotakan 174 ormas termasuk di dalamnya Persaudaraan Alumni (PA) 212, Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF).
Di Kediri, Jawa Timur, ratusan orang dari lintas ormas juga melakukan aksi penolakan RUU HIP di depan Gedung DPRD di Surabaya. Massa, menuntut pembatalan RUU HIP serta mendesak pengusutan inisiator di balik rancangan tersebut.
Tidak ada pengesahan
Di Senayan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa DPR tidak akan mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam rapat paripurna hari itu.
“Supaya masyarakat maupun tokoh dan alim ulama mengecek dulu isu yang beredar di tengah masyarakat sehingga membuat situasi tidak kondusif,” tukasnya.
Ketua DPR Puan Maharani menyebut rapat diikuti 96 anggota secara fisik dan 226 secara virtual, sementara 253 anggota dewan lainnya dinyatakan absen.
Salah satu agenda yang dibahas adalah laporan Badan Legislasi terhadap hasil evaluasi prolegnas RUU Prioritas tahun 2020 dilanjutkan dengan pengambilan keputusan.
Rapat berakhir pada sekitar pukul 18.00 WIB dengan keputusan memasukkan 37 RUU ke dalam Prolegnas tahun 2020, diantaranya RUU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Ibu Kota Negara, Ketahanan Keluarga, HIP, Cipta Kerja dan KUHP.
Dalam rapat, DPR juga memutuskan untuk menghapus 16 RUU dalam Prolegnas 2020, di antaranya RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Pertanahan, Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Kefarmasian, serta Kependudukan dan Keluarga Nasional.