Operasi Buru Kelompok Santoso Ganggu Perekonomian Warga

Keisyah Aprilia
2016.02.02
Palu
160202_ID_Poso_1000 Seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah bersiaga saat melaksanakan Operasi Tinombala di kawasan hutan pegunungan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, 18 Januari 2016.
BeritaBenar

Operasi pasukan TNI/Polri untuk memburu kelompok bersenjata pimpinan Santoso sejak setahun terakhir dinilai telah mengganggu perekonomian dan kehidupan sosial warga di Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Direktur Celebes Institute Sulteng, Adriany Badrah menyebutkan, Selasa 2 Februari, bahwa dari hasil pantauannya, warga Poso Pesisir dan sekitarnya sangat merasakan dampak operasi keamanan, karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat setempat adalah berkebun.

Dia menjelaskan bahwa secara geografis wilayah Poso Pesisir dikelilingi bukit, gunung yang berhutan dan laut, sehingga banyak warga menggantung perekonomian keluarga dengan berkebun.

“Warga yang beraktivitas di kebun kadang tak bekerja karena khawatir dan takut jika sewaktu-waktu terjadi kontak tembak antara kelompok sipil bersenjata dan aparat keamanan. Atau saat aparat keamanan berpatroli, tiba-tiba diserang sehingga terjadi baku tembak. Peristiwa  begini sudah sering terjadi," katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, operasi keamanan dan seringnya kontak senjata telah menyebabkan penurunan pendapatan warga yang mencari nafkah dengan berkebun.

“Peristiwa-peristiwa tersebut membuat warga dihantui rasa khawatir, cemas, takut dan saling curiga. Warga tertekan dan sering bertanya kapan ini akan berakhir, sebab operasi masih terus berlangsung di Poso," ujarnya.

Seperti diketahui rangkaian operasi untuk memburu Santoso alias Abu Wardah dengan sandi “Camar Maleo” berakhir 9 Januari lalu. Tapi Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng tetap melanjutkan operasi untuk mengejar sisa-sisa anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dengan sandi "Tinombala". Santoso diklaim mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Adriany mempertanyakan apabila Operasi Tinombala tak bisa menangkap Santoso dan kelompoknya, apakah operasi akan berlanjut sampai Santoso dan anak buahnya tertangkap? Dia juga bertanya apakah dampak serangkaian operasi keamanan di Poso menjadi perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

"Begitu banyak pertanyaan akan muncul berkaitan penanganan Poso atas pelbagai operasi yang diberlakukan dan dampaknya. Kami meminta kepada pemerintah, harus memberikan perhatian khusus untuk penanganan dampak operasi berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial warga pesisir Poso," imbuhnya.

Dampak 'tak terpikirkan'

Pendapat yang sama juga diungkapkan Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM)  Sulteng Muh Affandi. Dia menyebutkan bahwa tingkat keamanan di Sulteng, khususnya Poso, masih sangat memprihatinkan karena kehadiran kelompok bersenjata pimpinan Santoso.

"Operasi Camar Maleo I,II,III, hingga IV sangat berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat. Aktivitas masyarakat berkebun terganggu. Malah ada warga berprofesi sebagai petani di hutan pegunungan Poso harus berhenti berkebun karena mereka takut," jelasnya.

Dia mengkritik kemampuan pasukan gabungan yang tak mampu menangkap Santoso padahal selama Operasi Camar Maleo, 1.700 pasukan terdiri dari 700 personel TNI dan 1.000 anggota Polri dikerahkan.

“Dampak operasi itu bisa dibilang tak masuk dalam alur pemikiran pihak keamanan. Bahkan, karena tak mengetahui dampak buruk dari adanya operasi, pihak kemanan kembali melancarkan operasi dengan nama sandi Tinombala setelah Camar Maleo resmi berakhir,” ujar Affandi kepada BeritaBenar.

"Dalam operasi itu melibatkan pasukan elit TNI dari Kesatuan Kopasus, Marinir, Kostrad, dan Raider. Operasi Tinombala adalah operasi di bawah komando Polda Sulteng yang melibatkan sekitar 2.000 personel gabungan Polri-TNI,” tambahnya.

Polisi menjalankan tugas negara

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulteng, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hari Suprapto yang dikonfirmasi BeritaBenar menyatakan bahwa pengejaran Santoso adalah tugas negara. Jika operasi tak dilancarkan, masyarakat akan terus cemas karena kelompok Santoso belum tertangkap.

"Kalau dibilang Poso hanya dijadikan proyek industri keamanan, kami pikir itu sangat berlebihan. Operasi yang dilakukan Polri dan TNI sangat nyata hanya ingin mengejar dan menangkap kelompok Santoso,” tegasnya.

“Kalau dianggap seperti itu, saya pikir terserah mereka saja. Yang pasti operasi ini untuk menjaga agar masyarakat tetap aman dan kita berharap kelompok tersebut bisa segera tertangkap," tambah Hari.

Dia tidak memungkiri kalau ada masyarakat cemas dengan adanya operasi. Bahkan ada warga yang terpaksa harus berhenti bertani karena perkebunan mereka masuk wilayah titik operasi.

“Masyarakat sudah diberikan pendampingan oleh pemerintah terkait agar tetap bisa berpenghasilan. Mereka tetap mendapat penghasilan karena didampingi pemerintah setempat. Jadi kami anggap tidak ada warga sampai menderita karena ada operasi," pungkasnya.

Berdasarkan data intelejen terbaru, kelompok MIT kini tersisa 28 orang, termasuk Santoso, dua warga negara Uighur, dan tiga perempuan asal Bima. Mereka diyakini bersembunyi di hutan pegunungan Poso dan sulit keluar karena kawasan itu sudah dikepung pasukan TNI dan Polri.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.